Apakah Anda cenderung berpikir sekolah dapat mendewasakan anak Anda? Apakah Anda berpikir sekolah akan membentuk kepribadian dan membangun potensi dirinya? Apakah benar bahwa sekolah yang sangat tinggi kedisiplinan ilmunya akan membawa keberhasilan dalam kehidupan mereka sesungguhnya?
Sampai sejauh ini sekolah formal pada umumnya menerjemahkan kurikulumnya ke dalam sejumlah mata pelajaran. Sekolah Dasar setidaknya memiliki 5 mata pelajaran, SMP 10 mata pelajaran dan SMA 14 mata pelajaran. Dari sekian banyak mata pelajran itu, saya bisa kelompokan menjadi lima bidang pelajaran: bahasa, ilmu eksakta (sains), ilmu sosial, Agama & Kewarganegaraan, dan Seni & Teknologi.
Dalam pandangan lain, kebanyakan sekolah formal - khususnya sekolah swasta, apalagi sekolah nasional plus dan internasional - mengedepankan keunggulan sekolahnya baik dari sisi fasilitas, sumber daya manusia maupun program tambahannya. Yang terakhir ini dapat berupa program akademik atau non-akademik. Ada sekolah yang mengunggulkan kewirausahaan, ada juga pendidikan karakter, keterampilan hidup, dll. Namun yang jelas, program-program ini hanyalah berupa tambahan dan bukan merupakan kurikulum inti. Percaya atau tidak, menurut pengamatan saya, kebanyakan siswa yang terlibat aktif dalam program tambahan ini cenderung lebih berhasil dalam hidupnya. Atau setidaknya mereka dapat lebih siap dalam menghadapi dan menyelesaikan tantangan-tantangan hidup mereka.
Mari kita bandingkan dengan apa yang menjadi isi kurikulum pada mulanya. Plato, yang disebut sebagai pendiri sekolah pertama dengan Akademos-nya, menempatkan matematika, humanity(kemanusiaan) dan kesusasteraan sebagai pusat kurikulumnya (Knight: 1998; p.45). Sedangkan muridnya, Aristoteles, yang mendirikan sekolah Lyceum, menempatkan lebih banyak bidang ilmu dalam kurikulumnya, khususnya bidan sains dan matematika (Knight:1998; p.49). Di Timur, Konfusius menempatkan kebijaksanaan dan aturan ketatalaksanaan sebagai pusat kurikulumnya(Sathern:).
Di Indonesia sendiri, khususnya di jawa, Padepokan, Pawiyatan dan Paguron telah dikenal sebagai tempat belajar para siswa pada waktu itu. Adapun kurikulum inti yang diajarkan lebih banyak kepada keterampilan dalam tugas hidup sehari-hari, seperti mencuci piring, menghidangkan makanan dan melayani guru bagi siswi dan keterampilan yang lebih sentral dalam kehidupan waktu itu bagi para siswa, mulai dari mencari kayu bakar, asisten guru, hingga bertapa/semedi. Selain itu materi pelajaran dalam pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan dan bersifat umum meliputi antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan, kanuragan, kaprajuritan, pertanian, titi mongso, pananggalan, adat istiadat, tata krama dan perbintangan (Dwiarso: 2008).
Dari sini, saya mengajak Anda untuk merefleksikan dengan kebutuhan siswa di masa selepas sekolah. Ia akan dihadapkan oleh dunia pekerjaan/profesinya dan dunia berkeluarga. Suatu dunia yang lebih banyak berbicara tentang kemandirian, tanggung jawab, manajemen waktu, keterampilan mengelola keuangan, keberanian mengambil resiko, ketekunan, keterampilan membangun hubungan, dll.
Jelas sekolah telah dengan teliti mempersiapkan para siswa untuk masuk dalam dunia pekerjaan/profesinya. Namun jika kita mau jujur, seberapa banyak usaha yang dilakukan oleh sekolah untuk mempersiapkan siswa ke dalam dunia keluarga? Dunia keluarga yang mencakup tahap pranikah, pernikahan dan pascanikah. Jika ini bukan tanggungjawab sekolah, dan memang sebaiknya seperti itu, maka hal ini merupakan tanggung jawab keluarga.
Pertanggungjawaban orang tua terhadap masa depan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat (Life Skill) anak-anaknya adalah salah satu peran orang tua yang utama. Orang tua perlu merumuskan kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya untuk mendidik anak-anaknya dalam perkara ini. Sejauh pengamatan saya, pendidikan terhadap hal-hal yang menyangkut life skill diajarkan secara informal dalam keluarga. Diturunkan dari orang tua kepada anak melalui teladan, pelatihan, pengalaman dan refleksi atas kehidupan. Jika orang tua mengajarkan semua 'mata pelajaran' kehidupan ini tentunya setiap anak akan hidup bahagia dan aman.
Kenyataan berkata lain, seperti yang saya bisa kutip dari tulisan saya sebelumnya mengenai Who Will Take This Task? Generasi sekarang tengah mengalami kehancuran moral dan fisik dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini bersumber dari cacatnya keluarga dan lumpuhnya peran orang tua dalam mendidik anak. Kejadian ini tidak boleh terulang, para orang tua sekarang harus belajar kembali bagaimana menjadi orang tua yang efektif. Orang tua yang efektif yang akan menyelamatkan generasi yang baru. Oleh karena itu saya anggap perlu untuk dibentuk suatu lembaga pendukung keluarga yang akan memfasilitasi dan melatih orang tua dalam mendidik anaknya dan mengelola keluarganya secara utuh dan sadar. Utuh berarti mencakup jasmani dan jiwani, sedangkan sadar berarti ada upaya terstruktur dan sistematis dalam membangun keluarganya.
Lembaga ini akan menjadi mitra keluarga untuk melakukan upaya-upaya pemulihan dan pembangunan hubungan & kualitas kehidupan. Di sini, para orang tua akan belajar mengenai membangun komunikasi yang efektif dan intim antara suami istri, mengelola keuangan keluarga, mengelola konflik, merencanakan pendidikan anak, manajemen waktu, mengajarkan anak untuk memiliki jiwa wira usaha dan etos kerja yang baik, mengelola media, dll. Apakah lembaga ini akan berdiri sendiri atau juga bermitra dengan sekolah akan memiliki kelemahan dan kekuatannya masing-masing.
Nah, apakah pendapat Anda?