WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

Government Status On 'UN'

>> Tuesday, December 1, 2009

Pemerintah telah membuat beberapa keputusan yang kontroversial dalam masa 100 hari masa kerjanya di departemen pendidikan. Walau telah diputus oleh MA, bahwa UN ditiadakan, namun pemerintah tetap ngotot mengajukan PK (Peninjauan Kembali) untuk tetap melangsungkan UN. Sementara itu, jadwal UN pun dimajukan satu bulan dari tahun sebelumnya, yaitu di bulan Maret 2010, dengan alasan soal sudah terlanjur dibuat.

Namun, pernyataan dari Menteri Pendidikan, M. Nuh sepertinya berlawanan dengan kenyataan di atas. Beliau menyatakan bahwa penentu kelulusan adalah guru dan UN hanya berfungsi sebagai alat pemetaan satuan pendidikan dan seleksi masuk ke satuan pendidikan yang lebih tinggi (baca: Mendiknas: UN Akan Berubah...).

Dua hal membingungkan ini sebaiknya segera ditegaskan oleh jendral departemen pendidikan, sehingga tidak menimbulkan opini publik yang terus menerus menyerang gerak gerik depertemen ini. Sepertinya belum ada kesesuaian keinginan pak menteri dengan para jajarannya. Mudah-mudahan demikian adanya. kita akan lihat beritanya beberapa minggu ke depan... jika tidak ada keputusan tegas yang mengarah pada perbaikan, maka penderitaan siswa yang terjadi di tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya aka terulang (baca: UN on the Fall)

National Education Leader

>> Wednesday, October 21, 2009

Presiden Terpilih 2009-20014, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menjatuhkan pilihan menteri Pendididikan Nasional kepada Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh, DEA. Beliau adalah mantan menteri komunikasi dan informatika pada kabinet sebelumnya dan juga seorang mantan rektor ITS.

Berikut adalah profil singkatnya yang dapat dilihat di situs wikipedia.com:

Mohammad Nuh adalah anak ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya H. Muchammad Nabhani, adalah pendiri Pondok Pesantren Gununganyar Surabaya. Ia melanjutkan studi di Jurusan Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dan lulus tahun 1983.

Mohammad Nuh mengawali karirnya sebagai dosen Teknik Elektro ITS pada tahun 1984. Ia kemudian mendapat beasiswa menempuh magister di Universite Science et Technique du Languedoc (USTL) Montpellier, Perancis. Mohammad Nuh juga melanjutkan studi S3 di universitas tersebut.

Nuh menikah dengan drg. Layly Rahmawati, dan ia dikaruniai seorang puteri bernama Rachma Rizqina Mardhotillah, yang lahir di Perancis.

Pada tahun 1997, Mohammad Nuh diangkat menjadi direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS. Berkat lobi dan kepemimpinannya, PENS menjadi rekanan terpercaya Japan Industrial Cooperation Agency (JICA) sejak tahun 1990.

Pada tanggal 15 Februari 2003, Mohammad Nuh dikukuhkan sebagai rektor ITS. Pada tahun yang sama, Nuh dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) bidang ilmu Digital Control SystemStartegi dan Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan spesialisasi Sistem Rekayasa Biomedika. Ia adalah rektor termuda dalam sejarah ITS, yakni berusia 42 tahun saat menjabat. Semasa menjabat sebagai rektor, ia menulis buku berjudul (disingkat Indonesia-SAKTI).

Selain sebagai rektor, Mohammad Nuh juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur,Pengerus PCNU Surabaya, Sekretaris Yayasan Dana Sosial Al Falah Surabaya, Anggota Pengurus Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya, serta Ketua Yayasan Pendidikan Al Islah Surabaya. Muhammad Nuh juga dikenal sebagai seorang Kiayi, sering memberi ceramah dan khutbah jumat di berbagai masjid di Surabaya dan dikenal sebagai Ulama.

Harapan warga dunia pendidikan Indonesia digantungkan pada Cak Nuh untuk lima tahun ke depan. Semoga tanggapan positif Rektor UI, Gumilar R. Somantri pada Kantor Berita Antara sungguh dapat menjadi jaminan. Beliau menyatakan, "Saya rasa bapak M Nuh memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, apabila beliau memang terpilih maka kita berharap ia akan menjalankan tugasnya dengan optimal."

Conflict Management

>> Friday, September 4, 2009

Entah mengapa saya menjadi tersinggung dengan komentar beberapa teman lama saya di Facebook. Rasa marah, rasa dikhianati dan kecewa bercampur jadi satu. Jantung saya mulai terasa berbeda detaknya, anggota tubuh agak gementar dan untuk sementara pikiran tidak dapat berkonsentrasi pada pekerjaan. Saya mencoba menenangkan diri, berdoa dan berpikir sejenak mengapa respon saya seperti demikian dan apa yang harus saya lakukan selanjutnya.

Dalam hidup ini masalah dan potensi konflik bisa masuk dalam hidup manusia tanpa ijin. Tiba-tiba saja dia datang dan sedikit banyak menggoyang akal budi dan hati kita. Sepanjang manusia masih hidup, ia tidak berhenti memiliki masalah. Pertanyaannya adalah berapa banyak orang yang tetap berbahagia dalam segala persoalan yang dihadapinya dan berapa banyak yang termakan oleh tantangan yang datang dan (kadang tidak) pergi seenaknya? Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa mereka demikian?

Persoalan tersinggung bisa dilihat dari kacamata yang berbeda. Ada yang menganggapnya angin lalu, ada juga yang berujung kepada kematian, tergantung pada kedewasaan dan kematangan kepribadian seseorang. Berapa banyak orang yang memiliki dendam tersembunyi kepada orang tuanya, berapa banyak mereka yang sakit hati karena dikecewakan saudara atau teman terbaiknya dan berapa banyak orang yang kepahitan dan marah karena perlakuan buruk orang lain? Hal ini begitu sering kita temukan dalam kehidupan manusia, tapi berapa sering kita diajar atau didorong untuk menyelesaikannya?

Pengelolaan konflik adalah suatu keterampilan dasar manusia yang sejak dini seharusnya dikuasai oleh seseorang. Bila sedari kanak-kanak keterampilan ini dimiliki, maka perjalanan hidupnya di tingkat usia lebih lanjut akan menjadi lebih baik, lebih berbahasia dan lebih unggul. Manusia adalah mahluk yang komunal atau sosial. Ia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Hal ini adalah sangat mendasar. Tapi mengapa sekolah tidak mencantumkan pelajaran pengelolaan konflik ini dalam kurikulum utamanya? Pertanyaan besar bukan?

Saya telah menulis ini dalam artikel saya yang sebelumnya (klik di sini), bahwa sekolah pada mulanya tidak dirancang untuk menjawab persoalan-persoalan yang berhubungan dengan karakter, moral dan etika. Ia dirancang untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan akademis saja.

Ini adalah tanggung jawab keluarga dan masyarakat untuk mendidik anak-anak hingga terampil dalam mengelola konflik yang akan ditemuinya di sepanjang hidupnya. Anak-anak yang ditempa dan dilatih ini akan menjadi manusia-manusia yang kuat, mampu berpikir lebih luas dan berjiwa lebih besar. Namun, mengingat tidak sedikit keluarga yang impoten dalam hal ini, maka sekolah perlu 'mengambil alih' peran ini. Sekolah perlu memikirkan bagaiamana cara terbaik dengan menggunakan sumebr daa terbaik demi terbangunnya menusia-manusia yang terampil dalam mengelola konflik.

Enterpreneurship In Indonesia

>> Tuesday, September 1, 2009

Pengusaha Ciputra mengatakan, akar musabab kemiskinan di Indonesia bukan semata akibat akses pendidikan, karena hal itu hanya sebagian, melainkan karena negara tidak menumbuhkembangkan entrepreneurship dan jiwa entrepreneur dengan baik pada masyarakatnya (Kompas, 2009). Dalam artikel yang sama, pengusaha di Indonesia hanyalah berjumlah 0,18 persen dari jumlah penduduknya. Bandingkan dengan AS 11,5 persen dan Singapura 7,2 persen (data tahun 2007). Untuk menjadi sebuah negara yang lebhi baik, ilmuwan AS mengatakan sebuah negara harus memiliki setidaknya 2 persen pengusaha dalam negaranya.

Dengan data di atas dapatlah kita simpulkan bahwa arah pendidikan di bangsa ini harus mengalami perubahan mendasar. Pendidikan haruslah juga berorientasi mengambangkan kewirausahaan. Pendidikan saat ini memang cenderung mengembangkan sisi pengetahuan dan keterampilan. Jiwa kewirausahaan sangat sedikit sekali di pupuk sejak dini. Sekolah cenderung menegmbangkan keterampilan-keterampilan berpikir untuk mengembangkan jiwa keilmuan.

Ini menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi menteri pendidikan selanjutnya. Akankah wajah sistem pendidikan Indonesia mengalami perubahan mendasar pada masa jabatan kedua SBY? Kita akan cermati langkah-langkahnya. Mengingat departemen pendidikan nasional menajdi salah satu departemen berbujet sangat besar (20 persen dari total APBN), ada kemungkinan permainan politik dibalik pemilihan menteri di departemen ini. Mari kita berharap dan terus berdoa untuk yang terbaik...

Writing...

Awal tahun ajaran memang merupakan waktu-waktu yang padat, kedisiplinan saya untuk menulis di sini diuji. Kali ini saya memaksakan diri untuk kembali menulis.

Syukur kepada Tuhan saya hampir menyelesaikan penulisan sebuah buku tentang parenting. Saya berharap setelah lebaran nanti bukunya dapat dinikmati oleh masyarakat. Masih ada beberapa hal teknis penting yang harus diselesaikan sebelum layak terbit. Melalui pengalaman menulis ini saya jadi menyadari betapa menulis adalah pekerjaan yang cukup rumit, khususnya penulis pemula. Proses penulisan buku dari gagasan hingga penertbitan buku adalah sebuah perjalanan yang panjang. oleh karena itu saya angkat topi kepada para penulis-penulis buku, Mereka adalah pejuang-pejuang sejati dari gagasan mereka.

Saya juga mulai bisa empati dengan para penulis yang buku-bukunya di bajak dengan mesin ajaib fotokopi atau lainnya. Satu sisi, menurut saya, penulis pasti senang bahwa bukunya bisa bermanfaat bagi banyak orang. Namun di sisi lain penulis meradang karena hak dan nafkahnya dicuri maling.

Memang ideal bila seorang guru setidaknya menulis satu buah buku dalam hidupnya. Dengan demikian gagasan dan kebijaksanaan yang diperolehnya dapat diturunkan pada generasi selanjutnya. Apakah Anda ingni menulis juga?

FACING THEGIANTS AND FAITH LIKE POTATOES

>> Monday, August 3, 2009

Dalam acara ucapan syukur seorang tetangga kami, para undangan yang adalah para tetangga di lingkungan kami, kami disuguhi dua buah film yang sangat mengesankan.

sambil mengobrol dan menikmati makanan, diputar dua buah film keluarga yanga sarat akan nilai-nilai unggul dalam kehidupan. Film pertama berjudul Facing The Giants, dan yang berikutnya adalah Faith Like Potatoes. Saya amat merekomendasikan dua film ini karena memang banyak pelajaran penting dalam kehidupan yang bisa ditarik. perlu diketahui, dua film ini diadaptasi dari kisah nyata.

Facing the Giants menceritakan tentang perjuangan seorang pelatih dan klub american football-nya yang terus terpuruk dalam suatu musim pertandingan. Sang pelatih dilanda persoalan yang ujungnya menyangkut akan hidup matinya klub ini. Persoalan bertambah berat saat keluarganya pun dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka kesulitan memiliki anak.

namun, dalam segala persoalan yang dihadapi itu, sang pelatih mengalami titik balik saat ia kembali mengingat Tuhan dalam hidupnya. Ia menyertakan Tuhan dalam segala aspek dalam hidupnya. Cerita pun mulai berubah suasana. Sejak ia terus membangun hubungan yang intim dengan Tuhannya, kerap kali ia mendapatkan inspirasi tentang bagaimana ia harus mengelola dan memimpin timnya. Ia berhasil pula menginspirasi dan memimpin timnya untuk tidak mudah menyerah dan melakukan yang terbaik saat pertandingan.

Jalan cerita dan penataan plot yang sangat baik telah dilakukan oleh sanga sutradara, sehingga banyak kali ditemukan adegan-adegan yang sarat nilai-nilai perjuangan dan pantang menyerah. Film ini layak ditonton berulang-ulang. Para penikmat film ini di acara ucapan syukur ini kerap kali mengatakan betapa hebatnya film yang diangkat dari kisah nyata ini.


Film yang kedua yang kami tonton secara beruntun dalam acara itu adalah Faith like Potato. cerita yang mengisahkan seorang petani yang amat bersandar dan percaya kepada Tuhannya. Berkali-kali ia mengalami tantangan dalam mengembangkan pertaniannya di Afrika demi kesejahteraan orang Zambia di lingkungan pertaninannya. Sebanyak ia melakukan usahanya untuk mengembangkan pertaniannya, sebanyak itu pula kegagalan ia alami.

Dalam kegalauan hatinya, ia kembali kepada Sang Khalik. Ia sadar bahwa tanpa penyertaanNya, tak mungkin ia berhasil dalam pekerjaannya itu. Kesadaran itu memimpinnya untuk mempelajari tentang apa pesan Tuhan bagi dirinya secara pribadi dan pekerjaannya. Perjalanan menuju keberhasilan tidaklah semudah yang dibayangkan. Walaupun ia telah 'bertobat' dari cara dan sikap hati yang salah, namun tantangan terus berdatangan. Namun, semakin besar tantangan yang dihadapinya, semakin besar mujizat yang terjadi dan yang dipertontonkan pada banyak orang. Kepercayaannya kepada Tuhan menjadi modal utama saat ia memutuskan untuk menanam kentang di suatu musim tanam yang sebenarnya dilanda kekeringan panjang. Tak satu tetes airpun mengalir di ladangnya, tetapi mujizat tetap terjadi karena iman percayanya telah menjadi air dan pupuk yang subur di ladangnya.

Suatu kisah nyata yang inspiratif dan menantang iman percaya kita juga. Kemustahilan adalah pintu yang Tuhan pakai untuk kita masuk dalam kebahagiaan, asalkan kunci iman itu kita gunakan untuk membukanya. Film ini sangat layak ditonton bersama rekan-rekan sekerja dan sekeluarga.

Dua film ini menggambarkan sekolah kehidupan yang dengan keras mendidik manusia. Selamat menikmati film yang berkualitas.

My Daughter's First Day Of School

>> Monday, July 27, 2009

Aahhh, tiba juga hari pertama sekolah, First Day of School!

Di hari ini pun anak saya masuk sekolah, kelompok bermain tepatnya. Dia sangat bersemangat sekali. Bahkan ia sempat sedikit merajuk ketika orang tuanya berlama-lama untuk berangkat dari rumah. Seragam lengkap dari topi hingga sepatu telah dipakaikan. Tas barunya telah melekat dipunggung. Dengan malu-malu ia menjawab pertanyaan tetangga sebelah yang bertanya padanya tentang hari pertama sekolahnya.

Tiba di sekolah, ia terlihat sangat bersemangat. Matanya bersinar, mukanya cerah, senyum tergantung di wajahnya sepanjang kami berjalan dari tempat parkir menuju kelasnya. Setibanya di sana, ia bertemu dengan temannya yang juga adalah tetangga kami. Ia segera menghampirinya, sayang sang teman tidak mau diajak bersama-sama. Baru habis menangis, kata bapaknya.

...

Sepulang sekolah, isteri saya bercerita tentang betapa anak kami sangat senang berada di lingkungannya yang baru, sekolah. sebgaian dari teman-teman sekelasnya memang masih ada yang belum bisa di tinggal oleh orang tuanya. Ada juga beberapa yang menangis karena orang tuanya tidak bersama mereka. namun, secara umum mereka menyukai lingkungan barunya ini.

Ini adalah fenomena umum anak masuk sekolah usia dini, mereka masih sangat bergantung pada orang tuanya di hari-hari awal pembelajaran mereka. Biasanya di minggu kedua atau setidaknya di akhir bulan pertama mereka sekolah, semua siswa sangat menyukai 'temapat bermain' mereka yang baru ini.

Sayangnya menurut penelitian, semakin anak bertumbuh besar, mereka cenderung mengaggap sekolah sebagai suatu beban. Apalagi bila ditambah guru, pelajaran atau suasana sekolah yang tidak mendukung, siswa akan cenderung malas belajar. Mungkin ada benarnya bila belajar dan bermain itu harus menjadi satu paket. Dengan kata lain belajar harus dibuat menyenangkan, agar siswa dapat terus termotivasi.

Our Children Challenges

>> Wednesday, July 15, 2009

Liburan yang memabukkan dan menyibukkan, maaf kepada para pembaca setia blog ini, saya tidak konsisten mempostingkan tulisan baru. mudah-mudahan tulisan berikut memenuhi rasa 'lapar' Anda...

Saya berusaha mendapatkan data-data mengenai kehidupan remaja dan anak-anak untuk memberikan kepada Anda gambaran yang lebih jelas mengenai tantangan-tantangan apa yang sedang digumuli oleh generasi muda kita. Sebagian data yang saya tampilkan ini adalah bukan berasal dari Indonesia. Namun saya telah memilah hal-hal yang memiliki kesesuain yang kuat dengan apa yang terjadi di bangsa kita.

Saya akan memulai dengan mengajak Anda mengingat beberapa film. Film telah menjadi sebuah monumen dan cermin bagi realita sosial yang terjadi pada jamannya. Film seringkali dipakai sebagai kritik sosial atau pengungkapan hal-hal yang mungkin tidak disadari terjadi di masyarakat.



Masihkah Anda ingat sebuah film yang diangkat dari kisah nyata seorang anak yang teraniaya oleh ibu tirinya di tahun 1980an? Ya, Arie Hanggara. Kisahnya begitu memilukan dan menggegerkan di tahun 1980an, sehingga kisahnya perlu diangkat sebagai sebuah film yang mencerminkan realita sosial pada jaman itu. Apakah menurut Anda kekerasan kepada anak tidak terjadi lagi hingga saat ini? Anda bisa bertanya kepada Komnas Perlindungan Anak. Dan Anda akan terkejut, bahwa kasus-kasus serupa, bahkan lebih parah semakin banyak. Anda juga dapat membaca buku MIF. Baihaqi, Anak Indonesia Teraniaya. Saya merinding dan sedih mendengar kisah-kisahnya.

Berikutnya adalah film Virgin di tahun 2004, sebuah kisah pergulatan remaja putri yang ingin menunjukkan eksistensinya dengan cara menjual diri. Koran-koran lokal dan beberapa surat kabar beroplag kecil tidak sedikit mengangkat berita-berita mengenai remaja-remaja SMA atau ‘ayam-ayam’ kampus dengan pesan berita serupa film ini. Pada Majalah Tempo, Ketua Perhimpunan Obsterik dan Ginekolog Indonesia Nurdadi Saleh berkata, menurut penelitian WHO, di Indonesia telah terjadi 2.500.000 kasus aborsi per tahun! Yang tidak terdata tentunya lebih banyak lagi.

Belum lagi kisah ‘perdagangan’ anak yang diangkat di layar lebar dengan judul Sepuluh di tahun 2008. Kita dapat melihat bahwa anak-anak menjadi korban dalam peradaban masyarakat yang katanya semakin maju.


Pada tahun 1980an, saat saya masih di bangku sekolah. Kenakalan anak dan remaja yang umum terjadi adalah membolos untuk nongkrong bareng teman, berkelahi (satu lawan satu), makan permen karet, ngobrol di dalam kelas, menyontek, dll. Bandingkan dengan apa yang terjadi setelah dekade itu: tawuran, pornografi, membolos untuk main PS atau permainan games on-line, penganiayaan (senior pada yunior), menyogok guru untuk hasil UN yang baik, seks bebas, aborsi, dll.

Mari kita bandingkan dengan data statistik tahun 1992 di majalah Fortune mengenai apa yang terjadi di Amerika setiap hari:

· 1.000 remaja wanita menjadi ibu tanpa nikah

· 1.106 remaja wanita melakukan aborsi

· 4.219 remaja mengidap penyakit yang tertular secara seksual

· 500 remaja mulai memakai narkoba

· 1.000 remaja mulai mengkonsumsi alkohol

· 135.000 anak-anak membawa sebuah pistol atau senjata lain ke sekolah

· 3.610 remaja dilecehkan; 80 diperkosa

· 2.200 remaja berhenti dari sekolah menengah

· 7 remaja dibunuh

· 7 remaja ditangkap karena pembunuhan

· 6 remaja bunuh diri

Dengan data-data di atas dapatkah kita berkata, memang benar generasi anak muda kita berada dalam bahaya? Tidak! Generasi kita tidak sedang dalam bahaya, tetapi SANGAT BAHAYA!

Positive and Negative

>> Monday, June 22, 2009

Wah, liburan itu memang enak...! Waktu dihabiskan bersama orang-orang yang terkasih: istri dan anak. Inilah salah satu keuntungan menjadi guru, kala anak libur, guru juga ikut. Walau tidak sebanyak siswanya, tetapi tetap menguntungkan. Hampir saja saya libur menulis di blog ini akibat atmosfir libur. Saya berharap saya tetap konsisten menulis.

Sejak sebelum libur, kami sudah merencanakan hal-hal yang akan dikerjakan selama libur. Kami berencana berenang sekeluarga, membantu istri berbenah rumah dan juga menolongnya membuat makanan-makanan ringan. Seru! Saya pribadi mengagendakan sebuah proyek perdana saya, mudah-mudahan target dapat tercapai. Terima kasih buat isteri dan beberapa rekan yang mendukung. Selain itu, saya berkomitmen untuk lari pagi setiap hari selama liburan ini.

Ada hal menarik yang terjadi ketika saya memulai lari pagi di wilayah perumahan saya. Jarak yang saya tempuh tidak begitu jauh, hanya berkeliling satu blok saja. Setiap hari saya berniat menambah satu jumlah putaran. Namun sepertinya tidak sanggup. Sesudah empat hari saya memulai ini saya masih bertahan di dua putaran saja. Mungkin ini karena usia.

Dalam dua hari pertama saya berlari pagi, saya lari tanpa disertai pemandangan lain kecuali rumah-rumah yang masih tertutup dan orang-orang yang masih terlelap di tempat tidurnya. Terkecuali warung di dekat rumah yang tengah bersiap-siap menyambut pelanggannya. Namun pada hari ketiga ketika saya bangun sedikit kesiangan untuk memulai aktifitas saya ini, saya berjumpa dengan tetangga-tetangga saya yang sudah mulai keluar rumah di pagi itu.

Mereka tersenyum ramah dan dan memberikan beberapa komentar berikut:
"Wah, pak Rudi sudah mulai tua ya? jadi olahraga pagi?"(dengan melempar senyum lebar)
"Lari pagi pak? ini acara rutin setahun sekali ya?" (sambil tertawa)
"Pak Rudi larinya setahun sekali, waktu liburan sekolah aja" (sambil tertawa juga)

Tidak ada masalah dengan komentar mereka yang spontan itu, karena memang kenyataannya saya jarang berolah raga. Sekalinya saya kedapatan berolah raga, saya bertemu dengan mereka ini. Saya pun mungkin akan berespon yang sama bila melihat seseorang melakukan hal yang sama seperti saya. Inilah kecenderungan spontan manusia untuk berkomentar negatif, walaupun sebenarnya bermaksud berbasa-basi atau bercanda.

Dalam Buku Quantum Learning karangan Bobbi de Porter, penulis menunjukkan sebuah hasil survey yang menarik. SEdari kecil seorang anak hanya menerima rata-rata tujuh komentar negatif dari delapan komentar mengenai diri atau perbuatannya setiap hari. Tidak heran kita menjadi terlatih untuk melemparkan komentar-komentar negatif bahkan dalam bentuk bercanda dan basa-basi. Ekstremnya, ada sebagian orang yang melihat sisi negatif lebih cepat dan mudah dari pada sisi positif.

Dalam hal inilah, baik kepada siswa maupun orang lain, kita perlu belajar sungguh-sungguh untuk berpikir, berkata-kata dan bertindak dengan positif. Mengapa sungguh-sungguh? karena yang baik itu harus dilatih, sedangkan yang tidak baik tidaklah perlu demikian. Kata teman saya, untuk menjadikan ruangan itu bersih kita perlu mengusahakannya. tetapi untuk menjadikan sebuah ruangn berdebu kita cukup membiarkannya saja.

Mari kita berusaha melakukan yang baik dan positif demi kebaikan orang lain...

The End of 2009/2010 Acedemic Year

>> Friday, June 12, 2009

Hmmm, akhirnya tiba juga akhir tahun ajaran 2009/2010. Hal pertama yang muncul di pikiran saya: Waktu begitu cepat berlalu... terlalu cepat bahkan. Banyak hal yang saya belum bisa lakukan di tahun ajaran ini. Banyak 'hutang' yang masih harus ditebus tahun ajaran depan. Saya masih belum juga bisa maksimal dalam mempersiapkan pelajaran, mengajar dan penilaian hasil belajar siswa. Saya menilai apa yang saya buat di area ini di tahun ini mengalami penurunan mutu. Sangat menyedihkan.

Di sisi lain, ada beberapa hal yang saya anggap saya patut bersyukut atas pencapaian saya. Konsisten menulis dan mengembangkan di blog ini adalah salah satunya. Lainnya adalah berjalannya kegiatan non-akademik yang saya pegang dan koordinasi bidang mata pelajaran saya. Walau belum bisa dikatakan sangat memuaskan di bidang-bidang itu, namun saya menilai telah memiliki kemajuan.

Inilah yang menjadi sumber keprihatinan saya: tugas utama saya sebagai guru, yaitu mempersiapkan pelajaran, mengajar dan menilai hasil kerja siswa, menjadi terlantar. Saya tidak menginginkan hal ini terulang kembali di tahun ajaran mendatang. Saya harus bisa lebih mengorganisasi diri, khususnya dalam berbagi tugas-tugas non-akademik pada rekan-rekan saya dan mempersiapkan lebih matang dalam tugas mengajar saya.

Ada satu pertanyaan dalam pikiran saya: apakah kebanyakan guru-guru juga seperti saya, menelantarkan tugas utamanya dan lebih menekankan tugas sekundernya?

Jadi teringat sebuah pernyataan... jangan banyak orang yang menjadi guru, karena pertanggungjawabannya sangat berat. Karena saya terpanggil menjadi guru, saya pikir saya perlu merefleksi ulang diri saya atas pernyataan tersebut.

National Examination Proposal

>> Wednesday, June 10, 2009

Saking sibuknya beberapa hari menjelang akhir tahun ajaran, saya tidak memiliki waktu yang cukup untuk menulis di sini. Sebenarnya selepas saya menulis ini pun ada dua pekerjaan besar yang saya harus selesaikan. Namun dalam waktu yang sempit ini saya ingin mengomentari satu hal yang sedang hangat yaitu mengenai UN ulangan.

UN ulangan atau UN pengganti yang dilakukan di beberapa sekolah di jawa tengah baru-baru ini sangatlah memiriskan hati. Masa depan siswa dipermainkan hanya karena pelaksanaan UN yang dicurigai berbau kecurangan. Kecurangan ini tentu saja patut diselidiki. Namun bila kita mau jujur, bukan hanya sekolah di Jawa Tengah itu saja yang patut di ulang ujiannya, namun hampir semua sekolah di Indonesia! Kecurangan pelaksanaan UN ini terjadi di mana-mana, sayangnya sekolah-sekolah yang mengulang UN itu sedang apes, merekalah yang jadi tumbal. Silahkan baca artikel saya yang menyinggung hal ini di 'UN on the Fall'.

Pelaksanaan UN yang sudah jelas-jelas memancing terjadinya praktek-praktek kecurangan seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah mengenai keefektifan pelaksanaanya. Walau saya belum memiliki kecenderungan untuk memilih pasangan Mega-Pro yang mengusung program penghapusan UN, saya setuju dengan programnya yang satu ini.

Atau setidaknya UN dapat tetap berjalan namun bukanlah salah satu penentu kelulusan siswa. Guru dan sekolahlah yang memahami kemampuan siswa, merekalah yang telah memproses anak didiknya. Oleh karena itu baiklah sekolah secara otonomi yang menentukan kelulusan siswa. Sedangkan UN dapat dipakai sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional atau sebagai alat sekolah yang lebih tinggi untuk menyeleksi siswa/mahasiswanya. Hal ini dilakukan pada era orde baru dan saya pikir cukup efektif.

Dengan demikian penyakit-penyakit yang selama ini menjangkiti UN dan yang membuat berdosa siswa, guru, sekolah dan aparat dapat dikurangi. Saya pikir setidaknya sebagian guru di Indonesia mengharapkan dihentikannya UN dengan sistem yang sekarang ini.

Parents' Partner

>> Tuesday, June 2, 2009

Apakah Anda cenderung berpikir sekolah dapat mendewasakan anak Anda? Apakah Anda berpikir sekolah akan membentuk kepribadian dan membangun potensi dirinya? Apakah benar bahwa sekolah yang sangat tinggi kedisiplinan ilmunya akan membawa keberhasilan dalam kehidupan mereka sesungguhnya?

Sampai sejauh ini sekolah formal pada umumnya menerjemahkan kurikulumnya ke dalam sejumlah mata pelajaran. Sekolah Dasar setidaknya memiliki 5 mata pelajaran, SMP 10 mata pelajaran dan SMA 14 mata pelajaran. Dari sekian banyak mata pelajran itu, saya bisa kelompokan menjadi lima bidang pelajaran: bahasa, ilmu eksakta (sains), ilmu sosial, Agama & Kewarganegaraan, dan Seni & Teknologi.

Dalam pandangan lain, kebanyakan sekolah formal - khususnya sekolah swasta, apalagi sekolah nasional plus dan internasional - mengedepankan keunggulan sekolahnya baik dari sisi fasilitas, sumber daya manusia maupun program tambahannya. Yang terakhir ini dapat berupa program akademik atau non-akademik. Ada sekolah yang mengunggulkan kewirausahaan, ada juga pendidikan karakter, keterampilan hidup, dll. Namun yang jelas, program-program ini hanyalah berupa tambahan dan bukan merupakan kurikulum inti. Percaya atau tidak, menurut pengamatan saya, kebanyakan siswa yang terlibat aktif dalam program tambahan ini cenderung lebih berhasil dalam hidupnya. Atau setidaknya mereka dapat lebih siap dalam menghadapi dan menyelesaikan tantangan-tantangan hidup mereka.

Mari kita bandingkan dengan apa yang menjadi isi kurikulum pada mulanya. Plato, yang disebut sebagai pendiri sekolah pertama dengan Akademos-nya, menempatkan matematika, humanity(kemanusiaan) dan kesusasteraan sebagai pusat kurikulumnya (Knight: 1998; p.45). Sedangkan muridnya, Aristoteles, yang mendirikan sekolah Lyceum, menempatkan lebih banyak bidang ilmu dalam kurikulumnya, khususnya bidan sains dan matematika (Knight:1998; p.49). Di Timur, Konfusius menempatkan kebijaksanaan dan aturan ketatalaksanaan sebagai pusat kurikulumnya(Sathern:).

Di Indonesia sendiri, khususnya di jawa, Padepokan, Pawiyatan dan Paguron telah dikenal sebagai tempat belajar para siswa pada waktu itu. Adapun kurikulum inti yang diajarkan lebih banyak kepada keterampilan dalam tugas hidup sehari-hari, seperti mencuci piring, menghidangkan makanan dan melayani guru bagi siswi dan keterampilan yang lebih sentral dalam kehidupan waktu itu bagi para siswa, mulai dari mencari kayu bakar, asisten guru, hingga bertapa/semedi. Selain itu materi pelajaran dalam pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan dan bersifat umum meliputi antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan, kanuragan, kaprajuritan, pertanian, titi mongso, pananggalan, adat istiadat, tata krama dan perbintangan (Dwiarso: 2008).

Dari sini, saya mengajak Anda untuk merefleksikan dengan kebutuhan siswa di masa selepas sekolah. Ia akan dihadapkan oleh dunia pekerjaan/profesinya dan dunia berkeluarga. Suatu dunia yang lebih banyak berbicara tentang kemandirian, tanggung jawab, manajemen waktu, keterampilan mengelola keuangan, keberanian mengambil resiko, ketekunan, keterampilan membangun hubungan, dll.

Jelas sekolah telah dengan teliti mempersiapkan para siswa untuk masuk dalam dunia pekerjaan/profesinya. Namun jika kita mau jujur, seberapa banyak usaha yang dilakukan oleh sekolah untuk mempersiapkan siswa ke dalam dunia keluarga? Dunia keluarga yang mencakup tahap pranikah, pernikahan dan pascanikah. Jika ini bukan tanggungjawab sekolah, dan memang sebaiknya seperti itu, maka hal ini merupakan tanggung jawab keluarga.

Pertanggungjawaban orang tua terhadap masa depan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat (Life Skill) anak-anaknya adalah salah satu peran orang tua yang utama. Orang tua perlu merumuskan kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya untuk mendidik anak-anaknya dalam perkara ini. Sejauh pengamatan saya, pendidikan terhadap hal-hal yang menyangkut life skill diajarkan secara informal dalam keluarga. Diturunkan dari orang tua kepada anak melalui teladan, pelatihan, pengalaman dan refleksi atas kehidupan. Jika orang tua mengajarkan semua 'mata pelajaran' kehidupan ini tentunya setiap anak akan hidup bahagia dan aman.

Kenyataan berkata lain, seperti yang saya bisa kutip dari tulisan saya sebelumnya mengenai Who Will Take This Task? Generasi sekarang tengah mengalami kehancuran moral dan fisik dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini bersumber dari cacatnya keluarga dan lumpuhnya peran orang tua dalam mendidik anak. Kejadian ini tidak boleh terulang, para orang tua sekarang harus belajar kembali bagaimana menjadi orang tua yang efektif. Orang tua yang efektif yang akan menyelamatkan generasi yang baru. Oleh karena itu saya anggap perlu untuk dibentuk suatu lembaga pendukung keluarga yang akan memfasilitasi dan melatih orang tua dalam mendidik anaknya dan mengelola keluarganya secara utuh dan sadar. Utuh berarti mencakup jasmani dan jiwani, sedangkan sadar berarti ada upaya terstruktur dan sistematis dalam membangun keluarganya.

Lembaga ini akan menjadi mitra keluarga untuk melakukan upaya-upaya pemulihan dan pembangunan hubungan & kualitas kehidupan. Di sini, para orang tua akan belajar mengenai membangun komunikasi yang efektif dan intim antara suami istri, mengelola keuangan keluarga, mengelola konflik, merencanakan pendidikan anak, manajemen waktu, mengajarkan anak untuk memiliki jiwa wira usaha dan etos kerja yang baik, mengelola media, dll. Apakah lembaga ini akan berdiri sendiri atau juga bermitra dengan sekolah akan memiliki kelemahan dan kekuatannya masing-masing.

Nah, apakah pendapat Anda?

Becoming A Professional Teacher...

>> Monday, June 1, 2009

Do you see a man [who] excels in his work? He will stand before kings; He will not stand before unknown [men]. (NKJ Version)

Observe people who are good at their work--skilled workers are always in demand and admired; they don't take a back seat to anyone. (TMB version)

Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina.


Ini adalah hari-hari terakhir sekolah. Sejak pertengahan bulan lalu kesibukan sudah melanda pekerjaan saya. Mulai dari pembuatan soal, memeriksa hasil ulangan siswa, memasukkan nilai ke daftar nilai siswa dan tugas-tugas tambahan lainnya. Pikiran saya dibuat penat olehnya. Memang pekerjaan administratif selalu menjadi momok bagi saya. Sebagai seorang yang tidak 'berbakat' dalam pekerjaan di belakan meja, saya cenderung menumpuk pekerjaan. Hal ini mengkibatkan kepenatan yang luar biasa...

Seharusnya saya tidak perlu mengalami ini, jika saja saya hanya bertugas untuk mengajar. Namun dikarenakan tugas 'sampingan' yang juga menuntut perhatian, saya pun tidak bisa menolak untuk mengerjakannya: Persiapan graduation day, program magang dll.

Seorang trainer terkemuka yang juga menjadi mentor saya pernah berkata demikian: menjadi professional berarti melakukan dengan benar dan sungguh-sungguh hal minimal yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai guru, mempersiapkan pengajaran, mengajar, membuat sistem penilaian dan merekam semua hasil belajar siswa adalah hal minimal yang harus dikerjakan seorang guru. Adalah tidak profesional untuk membuat alasan apapun yang 'membolehkan' seorang guru untuk tidak mengerjakan hal-hal yang menjadi tanggung jawab minimalnya. Saya setuju atas pernyataan mentor saya itu. Walau kenyataannya saya masih belum bisa memenuhi definisi yang dibuatnya, namun ini adalah sebuah idealisme yang harus saya penuhi.

Di sisi lain, atas kepercayaan sekolah yang menjadikan saya sebagai team leader bagi teman-teman seperjuangan dan mengkoordinasi kegiatan non-akademik, maka saya pun dituntut profesional. Sekalipun ini adalah tugas tambahan, tetapi yang satu ini pun memerlukan profesionalitas.

Maka, inilah tuntutan atas perkerjaan saya: profesional dalam tugas utama saya sebagai guru dan team leader. Saya bisa saja melihatnya sebagai sebuah dilema, namun saya belajar untuk menjadikannya sebuah tanggungjawab tunggal.

A Teacher's Satisfaction

>> Thursday, May 28, 2009

Tidak ada kepuasan yang dapat mengalahkan berkembangnya kemampuan siswa dalam proses pembelajaran.

Tiga tahun lalu saya mewawancarai anak ini ketika mendaftar sebagai siswa di sekolah kami. Setelah dinyatakan diterima, saya baru sadar ternyata anak tersebut memiliki kelemahan dalam berbahasa inggris. Semakin saya melewati waktu bersamanya, semakin saya mengetahui bahwa untuk meresponi pertanyaan sederhana dalam bahasa inggris pun ia mengalami kesulitan. Terhadap hal ini, saya dan rekan-rekan berusaha menaruh perhatian khusus terhadapnya.

Singkat cerita, ia saat ini telah melewati Ujian Nasional. Menurut prediksi kami, ia lolos dengan hasil yang cukup. Hal ini membuat kami lega, karena kami dibuatnya cukup kuatir akan kemampuannya. Keraguan kami menjadi semakin sirna saat kami mengujinya dalam ujian praktek kemarin. Walau masih dengan terbata-bata dan dengan kosa kata yang terbatas, namun ia memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk mempresentasikan laporannya dalam bahasa Inggris di depan kami, para guru penguji. Ketenangan, kepercayaan diri dan senyumnya terus melekat padanya sepanjang sesi tanya jawab. Kami dibuatnya kagum, bahkan teman-temannya yang menyaksikan presentasi itu mengupahinya dengan tepuk tangan panjang di akhir presentasi... sungguh membahagiakan.

Dan upah bagi kami sebagai guru adalah melihat dan mendengar kemajuan kemampuannya berbahasa inggris...

Teachers' Mass Divorce

>> Wednesday, May 20, 2009

Rabu, 20/05/2009 13:51 WIB
Bandung - Angka perceraian pegawai negeri sipil (PNS) khususnya guru di Bandung cukup tinggi. Wali Kota Bandung Dada Rosada mengaku hampir setiap hari menerima surat permohonan izin bercerai dari PNS. Mayoritas adalah para guru.

Sebelumnya dalam harian lokal hari ini, Dada menyatakan sejak Januari hingga Mei 2009, hampir setiap hari dia menerima satu hingga dua pengajuan izin bercerai dari PNS. Mayoritas berasal dari Dinas Pendidikan Kota Bandung.

Kutipan artikel di atas saya dapatkan dari detikBandung. Sungguh menyedihkan kondisi keluarga para guru ini. Menyedihkan karena mereka bercerai, menyedihkan juga karena sebagai role model bagi siswa, mereka gagal menjadi teladan.


Apakah perceraian kini menjadi hal yang biasa? Jika ya, maka setiap kita perlu mengevaluasi diri, pergeseran nilai apa yang telah terjadi dalam diri kita. Jika kita bandingkan beberapa dasawarsa silam, perceraian merupakan hal buruk yang sekuat mungkin ditutupi oleh pihak keluarga. Mereka tidak ingin menanggung malu karena berpisahnya kedua insan itu. Jika ini hal ini telah menjadi biasa seperti mengganti baju, maka pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga terkait perlu memberikan perhatian lebih seirus terhadap hal ini.

Selain untuk membawa anak dan siswa kepada masa depannya yang terbaik, keluarga dan sekolah juga turut bertanggungjawab atas keberhasilan kehidupan berkeluarga mereka. Keluarga yang harmonis dan sehat akan mendukung karir, usaha, panggilan hidup seseorang. Perceraian menimbulkan terlalu banyak dampak negatif.

Suatu penelitian di Amerika menyatakan, bahwa perceraian mengakibatkan dampak pada kesehatan, keuangan, kehidupan sosial dan kejiwaan seseorang. Dr. Kenneth Batema dari Amber University mengeluarkan hasil penelitiannya yang menyatakan buruknya dampak yang dihasilkan oleh perceraian.

Penyebab perceraian beranekaragam, mulai dari perzinahan/perselingkuhan, maslah keluarga hingga gila kerja. Berikut ini adalah hasil penelitian
DivorceMagazine.com pada tahun 2004 dan 2003 (dalam kurung) (link):

* Extramarital affairs - 27% (29%)
* Family strains - 18% (11%)
* Emotional/physical abuse - 17% (10%)
* Mid-life crisis - 13% (not in 2003 survey)
* Addictions, e.g. alcoholism and gambling - 6% (5%)
* Workaholism - 6% (5%)

Apapun penyebabnya, semua berakar dari hilangnya cinta kasih yang sejati. Hawa nafsu telah menggantikan cinta kasih itu. Ed Cole berkata, hawa nafsu adalah keinginan untuk memuaskan diri sendiri walaupun harus mengorbankan orang lain. Sedangkan cinta kashi adalah keinginan untuk memuaskan orang lain (pasangan) walaupun harus mengorbankan diri sendiri. Pertanyaannya sekarang, seberapa banyak para suami atau isteri telah sungguh-sungguh mempraktekkan cinta kasih yang sejati itu. Semua penyebab yang terdeteksi dari penelitian di atas berakar dari tergantikannya cinta kasih dengan hawa nafsu.

Sekolah dan keluarga perlu mendisain kurikulum dan program yang khusus untuk mempersiapkan anak-anaknya menuju lembaga masyarakat terkecil ini. Pengabaian terhadap hal ini akan berdampak besar kepada moralitas dan kualitas hidup masyarakat sekitarnya. Siswa perlu belajar mengenai hubungan antar pribadi, pengelolaan konflik, pemecahan masalah, pengendalian diri, keterampilan berkomunikasi, dll. Apakah anda melihat adanya mata pelajaran seperti itu di sekolah? Apakah Anda mengajarkan anak Anda mengeani hal-hal tersebut di rumah? Ini adalah sebuah pekerjaan besar.

Teach your children to be a great person, not only a good one.

Who Will Take This Task?

>> Tuesday, May 19, 2009

"Gue sudah macarin 17 orang cewek, 7 diantaranya gue lecehkan secara seksual."
"Tujuh? Emang umur elo berap sekarang?"
"17 tahun."

"Gue kecanduan games on-line. Gue pernah sakit gara-gara dua hari penuh gue main di warnet."
"Emang elo sakit apa?"
"Ambeien. Gue juga pernah diseret pulang bokap gue, karena bolos buat maen games."

"Kapan terakhir kali elo masturbasi?"
"Kemarin malem, sebelum gue berangkat ke sini."
"Dari kapan elo ngelakuinnya?"
"Dari SMP"

"Gue suka nonton film porno. Gue juga pengedar film-film begituan. Kemana gue pergi, gue selalu bawa film untuk gue bagi-bagiin."
"Maksud elo? Elo ga jualin film itu?"
"Nggak, gue cuma bagi-bagiin aja"

"Orang tua gue sudah cerai sejak gue kecil. Bokap gue kawin lagi. Suatu hari, waktu gue SD, bokap gue bilang mau balik lagi sama keluarga. Dia emang balik lagi. Tapi ternyata dia cuma ngambil harta nyokap gue, dan dia balik lagi sama istrinya yang kedua. Jadi sampe sekarang gue benci banget sama bokap gue."

"Gue pernah pacaran sama cewek, tapi di tengah jalan cewek itu nyakitin gue dan akhirnya gue putusin. Sejak saat itu gue kalo berhubungan sama cewek gue sering nyakitin mereka. Gue belajar ilmu untuk bikin cewek cepaet lengket sama gue. Gue kasih permen atau kepulin asap rokok ke muka dia, dia pasti langsung nempel."
"Maksudnya elo guna-gunain dia?"
"Iya. Kalo gue sudah puas, gue sakitin dia dan gue tinggalin itu cewek."

_____

Ini semua adalah sedikit dari ratusan pengakuan laki-laki usia muda tentang hidup mereka yang hancur di sebuah acara yang saya ikuti. Hidup mereka hancur, tapi mereka tidak bisa keluar dari sana. Mereka sadar mereka salah, tapi mereka tidak mampu untuk bebas. Saat mendengarkan semua pengakuan itu, hati saya bergetar, dada saya sesak dan pikiran saya merenung: betapa hancurnya generasi muda saat ini.

Sebuah penelitian di majalah Tempo di awal tahun 2000-an menyatakan setidaknya ada dua juta kasus aborsi dalam setahun. Ini pun yang terdata. Data lainnya menyatakan, lebih dari 75% generasi muda di kota-kota besar di indonesia telah kehilangan keperjakaan dan keperawanannya sejak usia SMA mereka.

Masa depan bangsa ini sedang diancam oleh kehancuran hidup generasi mudanya. Televisi, Narkoba, rokok, pornografi, permainan internet on-line, dll telah mencuri waktu mereka dari hal-hal yang lebih bernilai untuk hidup mereka. Ada suatu 'kekuatan laten' yang menginginkan generasi muda sekarang ini jatuh ke berbagai hal yang hanya berpusat pada menyenangkan diri sendiri. Semua hal di atas itu dilakukan hanya untuk melampiaskan kemarahan yang tersembunyi dengan rapi.

Mereka marah dengan lingkungannya, keluarganya, orang tuanya. Mereka marah karena mereka tidak melihat sebuah contoh yang berintegritas, sebuah model yang dapat dipanut. Mereka marah karena mereka di-dua-kan. Harapan yang mereka gantungkan pada orang terdekat mereka dicabut sehingga meninggalkan luka kekecewaan yang tidak mampu mereka atasi dan berujung pada kemarahan dan kepahitan. Kemarahan dan kepahitan adalah kekuatan atau modal yang cukup bagi mereka untuk lari dari orang-orang yang mengecewakan mereka. Mereka berlari kepada tawaran-tawaran di dunia ini yang senantiasa memanjakan dan meninabobokan ego mereka. Mereka butuh kepuasan setelah sekian lama ego itu tidak pernah terpuaskan.

Apa jadinya masa depan dengan orang-orang yang hanya berpusat pada ego masing-masing? Apa jadinya bangsa ini dengan orang-orang yang menyimpan kemarahan tersembunyi?

Apa yang dapat negara, masyarakat, sekolah dan keluarga lakukan bagi mereka.? Mereka yang seharusnya menjadi kebanggaan di masa tua kita, telah terperangkap dalam jebakan 'kekuatan laten'. Pemerintah telah mengusahakan pendidikan budi pekerti; tidak sedikit masyarakat yang mengembangkan program-program pendidikan karakter; sebagian sekolah-sekolah pun menjual 'nilai-nilai unggul'; dan sebagian keluarga telah berusaha dengan keras mendidik anak-anaknya di jalan yang lurus, namun kenyataannya terlalu banyak yang terjebak daripada yang bisa ditangani.

Ini adalah tugas pendidikan sesungguhnya: memastikan generasi muda hidup benar dan memaksimalkan potensi mereka.

Dan ini yang jadi perenungan saya: Siapa yang sanggup mengemban tugas berat ini? dan Bagaimana?

A Priority: Mother Language

>> Thursday, May 14, 2009

JAKARTA, KOMPAS.com - Institusi pendidikan yang menggunakan konsep dwibahasa (bilingual) harus didukung penuh oleh sekolah, guru, serta kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. Jika tidak, selain berakibat pada sisi akademis dan keterampilan siswa, longgarnya ikatan terhadap penggunaan bahasa nasional bisa berpengaruh buruk pada nasionalisme mereka.

Hal tersebut dikatakan oleh Antarina S.F. Amir, Ketua High/Scope Indonesia, kemarin (13/5) dalam jumpa pers dan seminar "Dual Language Essentials for Teachers and Administrastors" di Jakarta. Acara sosialisasi konsep dual language tersebut menghadirkan pembicara Dr. David Freeman dan Dr. Yvone Freeman, "pasutri linguistik" dari Universitas Arizona, Amerika Serikat.

Untuk itulah, tambah Antarina, keinginan orang tua membekali anak-anaknya dengan Bahasa Inggris sebaiknya harus dengan berbagai pertimbangan matang. Khususnya, ketika mereka membidik sekolah-sekolah favorit yang menawarkan konsep tersebut. Alasannya, konsep dwibahasa tidak sekedar mengubah bahasa pengantar dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris.

Antarina mengatakan, aplikasi konsep tersebut harus didukung penuh oleh sekolah, guru, serta kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. "Kalau tidak akibatnya bisa berpengaruh besar pada sisi akademis dan keterampilan siswa. Selain itu, kian minimnya penggunaan bahasa nasional atau Indonesia juga akan berpengaruh buruk pada nasionalisme siswa terhadap bahasa ibunya sendiri," tandas Antarina.


Saya sendiri setuju dengan pernyataan sang nara sumber pada berita di atas. Tanpa penguasaan yang kuat terhadap bahasa ibu, anak akan mengalami kesulitan dalam masa dewasanya nanti.

Contohnya saya sendiri, saya teringat dengan kejadian beebrapa tahun lalu. Saya dan beberapa orang teman yang berada dalam forum 'think tank', bermaksud mendirikan sebuah organisasi nirlaba untuk kemajuan lingkungan kami. Dalam masa-masa perumusan visi dan misi, kami banyak sekali mengalami benturan dengan penggunaan bahasa. Apa yang ada di benak kami dan apa yang menjadi cita-cita kami, kami coba tuangkan dalam rumusan visi, misi dan strategi. Ternyata pekerjaan ini tidak mudah. Membutuhkan waktu berminggu-minggu sampai akhirnya rumusan visi dan misi ini tertulis dengan baik.

Dalam kesempatan lain saya dipercaya oleh atasan untuk memimpin sebuah kegiatan. Dalam kegiatan ini kami ingin melibatkan pihak ketiga sebagai sponsor acara ini. Saya pun akhirnya tidak bisa menunjuk orang lain untuk membuat isi proposal kegiatan. Saya harus mengerjakannya sendiri. Saya mendapati, ternyata ntuk memnyusun kata-kata dan kalimat-kalimat yang efektif dan formal tidaklah mudah. Proposal bisa diselesaikan dalam waktu beberapa hari.

Walaupun saya adalah seorang yang mampu berbahasa inggris, bahkan sebagai guru bahasa inggris, namun penguasaan bahasa ibu tidak bisa dikesampingkan. Saya masih harus banyak belajar. Dengan menulis di blog ini saya harap pembelajaran saya dapat terus berlangsung.

My Limp Eye Glasses

>> Tuesday, May 12, 2009

Memasuki hari-hari terakhir mengajar kepala saya semakin pusing. Beberapa ujian siswa masih teronggok di depan meja saya, menanti untuk diperiksa. Beberapa pekerjaan administrasi lainnya masih menunggu: memasukkan nilai ke daftar nilai siswa, membuat ujian akhir semester, menyiapkan rencana pengajaran untuk beberapa minggu ke depan, membuat materi pembelajaran, dll.

Hal bertambah ruwet dengan patahnya tangkai kacamata saya. Secara pribadi saya tidak memiliki masalah, ini hanya masalah kenyamanan saja. Tetapi saya harus berdiri dan lalu lalang di hadapan ratusan siswa dan rekan sekerja yang terkadang melihat saya dengan wajah heran, ini yang membuat saya terganggu. Belum lagi saat di rumah, kedekatan kami antar tetangga membuat 'kecacatan' penampilan saya menjadi semakin populer. Sabtu lalu, saya dan isteri menyempatkan diri untuk pergi ke toko optik dan membuat kacamata baru. Syukur kepada Tuhan, saya mendapatkan yang terbaik dengan harga yang relatif murah. Dengan membayar DP terlebih dahulu kami dijanjikan untuk mengambil kacamata dalam waktu seminggu.

Tanpa kacamata saya tidak dapat bekerja dengan efektif, namun dengan kacamata yang 'tidak lengkap' ini juga saya tidak dapat konsentrasi. Mengapa penampilan menjadi masalah? Menurut Harry K. Wong dalam bukunya The First Day Of School, penampilan adlah hal yang penting bagi seorang guru. Ia bahkan menuliskan satu bab khusus tentang bagaimana seorang guru harus berpakaian.

Ia menyatakan bahwa Anda tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk membuat kesan pertama! Sebagaimana Anda berpakaian, demikian Anda akan dipandang dan sebagaimana Anda dipandang, demikianlah Anda akan diperlakukan. Roxette dalam lagunya di era 90-an mengatakan dengan tepat: Dressed for Success!

Dengan kata lain, siswa Anda akan memperlakukan Anda dengan baik, bilamana Anda juga bersikap dengan baik pada mereka. Dan hal ini dimulai dengan mengenakan pakaian yang tepat. Saya tentunya tidak perlu membicarakan dengan detil tentang pakaian apa yang cocok untuk mengajar. Prinsipnya adalah perlakukan diri Anda sendiri dengan memakai kacamata siswa. Guru seperti apa mereka bisa banggakan dalam hal berpakaian. Bandingkan dengan ini: Tidak ada pengemis jalanan berpakaian necis dan rapi. Tidak ada seorang perenang memakai pakaian yang menghalangi gerak tubuhnya. berpakaianlah sesuai dengan fungsi Anda sebagai guru. Berpakaianlah dengan pemikiran: Saya akan berhasil dalam mengajar anak-anak hari ini, seperti seorang salesman yang akan bertemu dengan klien terbesarnya.

Penampilan saya masih harus seperti ini setidaknya sampai seminggu ke depan. Terima Kasih Tuhan atas 'ujian' ini, saya belajar untuk menahan rasa malu...