WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

UU BHP Part Three

>> Thursday, February 26, 2009

BHP yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah memiliki dua fungsi utama:
1. fungsi penentu kebijakan umum terti
2. fungsi pengelolaan pendidikan
;sedangkan BHP yang menyelenggaraan pendidikan tinggi memiliki dua fungsi tambahan:
1. fungsi kebijakan akademik
2. fungsi audit bidang non-akademik

Struktur dan fungsi anggota oraganisasi dalam BHP bisa dikatakan hampir sama dengan apa yang telah dijalankan oleh lembaga pendidikan swasta pada umumnya, yang dikenal sebagai yayasan pendidkan. Keanggotaan BHP maksimal 1/3-nya anggotanya melibatkan tenaga pendidik (guru), hal ini berlaku bagi BHP penyelenggara pendidikan dasar/menengah dan tinggi. Masa jabatan pun dibatasi 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Keunikan BHP yang akan menaungi sekolah-sekolah negeri sekarang ini adalah beranggotakan birokrat pemda dan pemerintah pusat yang berkedudukan sebagai wakil pendiri dalam struktur BHP.

Hal yang menarik, khususnya yang terdapat dalam struktur BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi adalah terdapatnya fungsi audit non-akademik. Hal ini adalah salah satu isu yang menjadi polemik saat ini. Seolah-olah, lembaga pendidikan ditempatkan seperti perusahaan yang perlu melalui proses audit. Saya sendiri tidak mengetahui sampai sejauh mana transparansi finansial PT sebelum UU ini berlaku. Saya tidak pernah mendengar atau melihat laporan audit PT di masa saya kuliah dulu. Jika ini diundangkan tentunya menjadi sesuatu yang baik, mengingat di pasal lainnya (yang akan dibahas di posting berikutnya) menyatakan bahwa BHP dapat membentuk unit-unit usaha untuk membiayai kebutuhan dananya. Ini adalah sesuatu yang positif. Sekolah dimana saya mengajar pun selalu diaudit oleh auditor independen setiap tahun, padahal yayasan kami tidak memiliki unit usaha. Hal ini baik untuk prfesionalisme kerja dan peningkatan mutu sekolah, khususnya dari sisi non-akademik yang akan berdampak pada wilayah akademik.

Hal lain yang ditegaskan dalam UU BHP ini adalah tentang pelarangan pimpinan satuan pendidikan memiliki jabatan rangkap. Ia tidak boleh merangkap sebagai pimpinan di satuan pendidikan lain, memiliki jabatan di lembaga pemerintah pusat atau daerah dan jabatan lainnya yang meninmbulkan konflik kepentingan. Hal pelarangan rangkap jabatan ini juga berlaku bagi anggota BHP yang memimpin fungsi/departemen dalam organisasi BHP.

Give Your Mouth and Ears...

>> Wednesday, February 25, 2009

Kemarin, setelah seharian bekerja, badan terasa penat, pikiran terasa padat dan hati terasa berat. Memarkir motor di garasi, melepaskan alas kaki, berganti pakaian, mencuci tangan lalu menyeruput segelas air; rasanya hal yang terbaik yang bisa dilakukan berikutnya adalah berbaring dengan nyaman di tempat tidur sambil memutar musik.

Kenyataan berkata lain. Sebelum saya bisa menghabiskan air di gelas saya, dua orang perempuan di rumah saya meminta perhatian saya. Yang satu dengan berteriak meminta keinginannya dipenuhi: menonton video di HP saya, yang satunya meminta telinga saya untuk mendengar berita hangat seputar isu-isu keluarga kami dan bertetangga. Hal ini berlanjut hingga jarum jam menunjuk lebih dari jam 9 malam, tanpa henti. Hanya diselingi beberapa 'perang' kecil antara kedua perempuan ini untuk merebut telinga dan perhatian saya. Seperti yang bisa diduga, perempuan yang kecil selalu kalah 'perang' dan mencari aktifitasnya sendiri. Sedangkan perempuan yang besar seolah tidak menyadari apa yang terjadi, tetap melanjutkan hasrat hatinya berbicara. Sampai saya harus mengingatkan yang besar, bahwa yang kecil belum mendapat bagiannya sedari saya pulang kerja. Akhirnya dia mengalah...

Di sekolah, guru 'memberikan' mulutnya untuk memenuhi kebutuhan siswanya. Di rumah, ia harus 'memberikan' telinganya bagi pasangan dan anaknya...

Love Is to Give And to Sacrifice...

"I'm sorry, i think Su Min can't have another lesson with you. She is very stubborn!"
Kalimat itulah yang disampaikan Mrs. Ahn, beberapa saat setelah saya berada di ruang tamunya. Ia mengalami kesulitan dan mengatur anaknya. Telah beberapa kali terjadi 'perang' orang tua-anak sejak saya mulai memberikan les privat kepada kedua anaknya beberapa bulan terakhir ini. Seringkali anaknya yang 'memenangi' peperangan, demikian juga dengan yang terakhir ini. Anaknya meminta tidak diberikan pelajaran tambahan sepulang sekolah. Yang pertama, ia berhenti dari les piano, lalu kali ini les bahasa inggris. Saya tidak terlalu terkejut dengan pernyataan ibu ini, mengingat saya pun pernah mencoba 'membantu' mengatasi perlawanan anak TK besar ini.

Yang pertama, ibunya berkata demikian, "I'm afraid this is the last time you will have lesson with her. She is upstair and doesn't want to come down. You better asked her to study. If she doesn't want, it means this is the last day for her." Setelah menyanggupi permintaannya, saya segera naik ke kamar orang tuanya untuk membujuknya. Tanpa kekerasan saya membawanya turun ke ruang belajar setelah 30 menit berbicara dengannya.

Yang kedua, saat saya tiba di rumahnya dan duduk di ruang belajar, anak tersebut tidak segera muncul seperti biasanya. Hal ini terjadi kemarin lusa. Saya meminta kakaknya, yang sedang sibuk bermain lego untuk memanggil adiknya. Kakaknya berteriak memanggil adiknya. Suaranya sangat keras, dan saya yakin pasti terdengar oleh ibunya yang berada di dapur yang letaknya persis di samping ruang tamu. Namun adiknya tidak datang dan ibunya pun tidak memberikan respon apa-apa. Akhirnya saya meminta kakaknya memanggil adiknya kembali. Kakaknya melakukannya berulang-ulang dengan berteriak dari ruang tamu. Akhirnya muncul suara dari ruang belakang, tepatnya di kamar pembantu. Mereka bersahut-sahutan dalam bahasa korea... lima menit kemudian adiknya datang dengan wajah merenggut, alis nyaris menyatu dan tubuh yang gontai. Saya tidak menghiraukannya dan seperti biasay menyapa dan mulai menyiapkan materi pelajaran. Melihat dia yang memalingkan muka dan duduk sambil menundukkan muka, saya mengeluarkan HP saya dan bertanya, "do you want to see my daughter video? She is dancing in here. She loves to dance". Lima menit kemudian, kami telah memulai pelajaran dan menikmati waktu belajar bersama.

Saya sangat kagum pada kerja keras dan kegigihan orang tua korea dalam mendidik anak-anaknya. Bayangkan, anak seusia TK telah dijejali dengan berbagai les. Bahkan saya mengenal seorang remaja korea yang tidak berhenti belajar dari jam 7 pagi hingga jam 9 malam, dari senin hingga jumat... Saya belum mendalami filosofi apa yang diyakini para orang tua korea ini sehingga mereka sangat peduli pada pendidikan formal anaknya. Dalam beberapa keluarga korea yang saya temui, orang tua cenderung keras kepada anak-anaknya dalam hal pendidikan, khususnya mereka yang tinggal di Indonesia ini dan notabene adalah para orang tua dengan kelas ekonomi tinggi.

Namun dalam saat yang bersamaan saya juga melihat beberapa orang tua yang 'kalah' dalam 'pertempuran' dengan anaknya di rumah. Hal ini mungkin saja terjadi dalam beberapa kasus, dan tidak hanya terjadi pada orang tua korea, tapi juga sebagian orang tua di dunia. TApi bila hal ini terjadi dengan intensitas yang cukup banyak, saya pikir orang tua harus merendahkan diri dan mengevaluasi ulang tentang pola pendidikannya.

Saya sendiri mengalami hal ini dengan anak saya. Walau ia baru berumur 2,5 tahun, dalam beberapa kesempatan dia sempat menunjukkan bendera perang dan meminta keinginannya untuk dipenuhi dengan teriakan dan tangisan. Saya dan istri berkeputusan untuk tidak terpancing dengan kelakuannya ini, tapi tetap tegas tapi lemah lembut berdiri atas komitmen kami yang semula.
Kami berpikir, anak hanya tahu apa yang ia mau, tapi kami orang tua tahu apa yang terbaik bagi anak. Bukan kami bertujuan menjadi otoriter dan tidak pernah mendengar permintaan anak, tapi kami akan memberikan hanya yang terbaik bagi dia. Jika permnitaanya adalah baik bagi dia, kami pun tak segan untuk memenuhinya. Ini pekerjaan sulit, namun prinsipnya jika orang tua tahu yang terbaik bagi anaknya, ia akan berkorban demi anaknya.

Karena kasih adalah kerelaan untuk memberi walaupun harus mengorbankan diri sendiri. Lawannya adalah nafsu, yaitu keinginan untuk mendapat walaupun harus mengorbankan orang lain (anak/pasangan).

UU BHP Part Two

>> Monday, February 23, 2009

Fiuuh... akhirnya seluruh rangkaian kegiatan Book Week selesai sudah! kegiatan yang sangat menguras dan memeras energi... Bayangkan, mengurusi 800an siswa selama lima hari berturut-turut ditambah dengan mengelola keuangan yang terbatas dan membangun hubungan dengan pihak ketiga. Sangat merepotkan. Namun semuanya telah dilalui, semuanya berkat Tuhan dan kerjasama semua guru. Saya menaruhkan penghargaan besar pada rekan-rekan guru saya, mereka semua kompak dan bekerja dengan sungguh-sungguh. Tanpa mereka acara ini tidak akan jalan... Thanks a million... :D

Kembali lagi ke UU BHP...
Saya telah membaca dan berusaha mempelajarinya, sepintas lalu UU ini sangat baik, bila tidak bisa disebut istimewa. Roh yang diusung oleh UU ini adalah semangat kemandirian dan otonomi lembaga pendidikan. Hal ini termasuk dalam pengelolaan SDM, keuangan dan juga kurikulum.

Badan Hukum Pendidikan akan menaungi satu atau lebih satuan pendidikan, baik itu tingkat SD, SMP, SMA maupun perguruan tinggi. Khusus bagi sekolah negeri atau sekolah yang dibiayai oleh negara akan terhisap dalam BHP dan tidak lagi secara langsung dibawah garis komando pemerintah, dalam hal ini depdiknas. BHP memiliki otoritas penuh untuk mengembangkan satuan pendidikannya mulai dari tujuan, keuangan, hingga teknis implementasi kurikulum di sekolah. Setiap satuan pendidikan akan dinaungi oleh sebuah BHP pusat (BHPP) atau BHP pemda (BHPPD). Hal ini seolah-olah menempatkan seluruh sekolah dan perguruan tingi negeri di bangsa ini menjadi 'sekolah swasta', karena seluruh kebijakan dan pengelolaan sekolah dan PT negeri dialihkan dari pemerintah kepada BHPP atau BHPPD. Dari sisi ini, sekolah swasta yang sekarang sedang berjalan tidak mendapatkan perubahan terlalu signifikan akibat adanya UU BHP ini, mengingat sekolah swasta telah memiliki Yayasan yang fungsi dan keberadaannya tidak jauh berbeda dengan BHP. Ada pun BHP yang dikelola oleh masyarakat ini di beri nama BHPM.

Sampai di sini, saya pikir peng-otonomi-an sekolah atau pengalihtugasan pengelolaan sekolah dari negara ke BHP cukup baik, khususnya bagi sekolah negeri. Sekolah negeri atau Perguruan Tinggi Negeri akan lebih memiliki ciri khasnya masing-masing dan para stake-holder di BHP akan berpikir dan berjuang keras untuk meningkatkan kualitas satuan pendidikannya.

Namun, dibalik itu semua, perlu dipertanyakan kesiapan para guru dan pengelola sekolah yang berstatus PNS. Apakah mereka siap untuk mandiri dalam hal pembiayaan, perencanaan kurikulum dan peningkatan mutu pendidikan, yang notabene selama ini dikerjakan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas.

Pembentukan BHP ini saya pikir baik untuk satuan pendidikan, namun perlu dikaji lebih jauh apakah BHP sangat efektif untuk menjangkau lebih banyak generasi muda untuk bersekolah dan bersekolah dengan mutu yang lebih baik.

UU BHP part one

>> Monday, February 16, 2009

UU BHP... Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, isu yang satu ini sedang marak dibicarakan di kalangan dunia pendidikan. Tidak sedikit pihak-pihak yang kontra, khususnya kalangan mahasiswa, guru, pengamat dan praktisi pendidikan. Tentu saja pihak yang pro adalah pemerintah.

Sampai saat ini saya sendiri belum mengetahui detil tentang poin-poin pro kontra tersebut. TEntu saja, saya akan dengan segera mencari tahu... Let's see...

Parent Role...

>> Thursday, February 12, 2009

This is a great day...

Hari ini para siswa menggelar acara Valentine's Day. Mereka mengundang ortu untuk bisa mengekspresikan kasih sayang mereka. Memang sayang sekali orang tua yang hadir kuarng dari 10 pasang. Namun saat ada perwakilan dari ortu yang menyampaikan sedkit pesan-pesan mereka, saya memetik suatu hal yang berharga.

Ternyata ortu sangat concern sekali dengan masa depan anak-anaknya. Mereka lebih banyak berbicara mengenai nilai-nilai dalam kehidupan, karakter, tantangan hidup dan fondasi spiritual. Ini semakin meneguhkan hipotesa saya. Sekolah bukanlah tempat utama untuk mendidik karakter siswa, tetapi keluarga. Keluarga aadlah tempat membentuk, menggembleng dan membangun generasi muda yang kuat dan berakar dalam. Sekolah hanyalah pengkonfirmasi secara formal apa yang seharusnya dimiliki oleh seorang anak dan wadah pendidikan keterampilah dan pengetahuan.

Sekolah tidak bias dimintakan pertanggungjawabannya secara mutlak atas pendidikan karakter. Tetapi tuntutan itu harus diberikan kepada orang tua. tetapi sekolah secara mutlak harus bisa mempertanggungjawabkan segala keterampilan dan pengetahuan yang diajarkannya kepada siswa. Namun demikian peran sekolah dalam membina watak anak bukanlah tidak ada sama sekali. Ia juga penting, namun tidak semutlak peran orang tua, seperti yang tertera pada pernyataan berikut:

Didiklah anak pada jalan yang patut baginya, hingga pada masa tuanya pun ia tidak akan melenceng dari jalan itu.

I Learn When I Teach...

>> Wednesday, February 11, 2009

Ternyata guru tidak hanya harus pandai mengajarkan materi domainnya, tetapi mereka perlu menguasai, bagaimana mendidik karakter siswanya dan menguasai emosi dirinya.

Senin lalu dengan jelas saya meminta para siswa untuk membawa beberapa buku yang akan digunakan dalam acara book week dan sebuah foto diri mereka. Hingga saat ini ternyata tidak semua siswa melakukan tugasnya dengan baik. Di kelas 9 ada beberapa siswa yang tidak membawa buku. Hal ini membuat saya cukup marah, karena saya telah mengingatkan mereka berulang-ulang untuk membawa bukunya. Namun yang terburuk adalah ketika saya berhadapan dengan kelas 11. Hampir semua siswa tidak membawa perlengkapan yang saya minta. Hal ini membuat saya semakin 'panas'. Syukur kepada Tuhan, saya dimampukan untuk menguasai diri.

Saya sampaikan pada mereka bahwa saya kecewa degan sikap mereka. Hal berikutnya, saya menyatakan bahwa kejadian ini merefleksikan tingkat kedewasaan mereka dalam menerima tanggung jawab. Karena sebenarnya siswa kelas 11 telah mendapatkan satu hari ekstra untuk mereka bekerja, melengkapi tugas mereka. Namun mereka tidak melakukannya. Saya tandaskan bahwa mereka belum bisa menerima tanggungjawab yang lebhi besar dari sekedar membawa buku ysang saya minta.

Saya pikr, perkara ini lebih banyak mengajar saya dari pada siswa saya. Saya belajar untuk menguasai diri dan tidak emosional terhadap habit mereka. Saya juga belajar untuk menyampaikan teguran pada meerka dengan cara yang lebih 'manusiawi' namun tetap tepat sasaran.

Sekali lagi, tidak mudah menjadi guru.... Menegur itu bukan perkara mudah, apalagi menegur dengan menahan emosi...

nb. i love 10 graders, sebagian besar dari mereka melakukan apa yan saya minta...

Very Exhausted...

>> Friday, February 6, 2009

Sangat melelahkan mengurusi kegiatan Book Week, tidak hanya capek badan, tapi juga pikiran. Saya telah melalikan tugas utama saya untuk mengajar. Saya mengajar dengan tidak maksimal, persiapan yang minim dan administrasi yang terlambat... kinerja yang sangat buruk...

memang sebaiknya guru tidak dibebani tugas lain selain mengajar. Tapi kenyataannya tidak bisa. Realitas berkata lain, harus ada orang-orang yang mengerjakan hal-hal non-akademik. Dan saya ada di dalamnya. Saya tidak bisa bekerja setengah-setengah, tapi saya tidak bisa memberikan yang terbaik untuk lebih dari satu hal sekaligus. Salah satu harus saya korbankan... Maaf ya anak-anak, kalian menjadi korban...

God please help me to give the best in everyway...