WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

Look Forward On January 2011!

>> Saturday, November 20, 2010

Shout, Sweat and Sweet...

>> Wednesday, October 13, 2010

Anak muda itu sedang membacakan buku seri Olivia (seekor babi), anak-anak terlihat antusias mendengarkan walaupun saya pikir mereka agak terganggu dengan proses penterjemahan yang berulang-ulang antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sang pembaca terus membacakan dengan antusias denagn keringat bercucuran dan hiruk pikuk suara orang dewasa yang mengelilingi dan menunggui anak-anak yang sedang mendengarkan cerita itu. Sang penerjemah pun seperti sudah kehabisan suara dan tenaga untuk menterjemahkan cerita dari buku tesebut. Saya pikir ia telah atau nyaris berteriak dalam membacakan buku. Ketika buku selesai dibacakan, ia menyerahkan 'tugas' pada saya. "Gantian pak, capek nih!" katanya. Saya hanya tersenyum, dan menyambut tugas itu dengan senang hati. Dan selama lima belas menit berikutnya saya melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan dengan buku bertajuk Pesawat Terbang. Berteriak dan berkeringat...

Sudah lebih dari tujuh bulan kegiatan membaca ini berjalan dan sepanjang waktu itu begitu banyak kejadian menarik yang terjadi. Saya masih ingat betul ketika satu kali saya membacakan buku hanya kepada dua orang anak balita, teman-temannya kebetulan sedang dibawa oleh orangtuanya plesir. Saya berpikir ini adalah tantangan dan dinamika yang harus dilalui. Mereka berdua pulang dengan gembira setelah mendengarkan cerita. dan saya pun puas. Pada kesempatan yang lain, anak-anak yang lebih besar menonton versi film dari buku yang telah selesai kami baca: The Tale of Desperaux. Mereka sangat gembira. Saya lebih gembira lagi, karena seorang dari mereka bertutur ia lebih menyukai versi bukunya dari pada versi film.

Kejadian diawal tulisan ini terjadi hari minggu lalu, kami kedatangan tamu dari Amerika. Mereka mampir di lingkungan kami untuk melakukan kerja sosial. Dan teman saya mendaftarkan kegiatan membaca yang biasanya kami lakukan dalam jadwal kegiatan mereka. Setelah selesai kegiatan membaca hari itu, mereka membagi-bagikan buku cerita secara gratis. Anak-anak tentu saja langsung kalap mengambil buku pilihannya.

Satu hal yang paling berkesan dari semua kegiatan membaca ini adalah keterlibatan para orangtua. Tidak sedikit mereka yang menyumbangkan makanan kecil untuk dinikmati setelah selesai membaca. Bahkan baru-baru ini seorang tetangga saya, yang anaknya aktif menjadi anggota di Bee Readers Club membuatkan sebuah papan nama, lengkap dengan jadwal kegiatan dan tempatnya. Sangat manis dan menyentuh. Saya sangat terkejut dan tidak menyangka. Hal-hal seperti ini menjadi sebuah bensin untuk saya secara pribadi meneruskan apa yang saya percaya: mencetak pemimpin adalah menabur kecintaan pada membaca pada anak-anak...

May I Copy Your Thesis?: The Lack of Students' Research Culture

>> Friday, October 1, 2010

Beberapa bulan lau seorang teman mendatangi saya dan bertanya apakah saya maih menyimpan skripsi saya. Saya menjawab masih ada dan bertanya padanya untuk keperluan apa dia menanyakan hal ini. Ia menjawab dengan enteng untuk dipakainya sebagai skripsinya. Saat itu saya kaget luarbiasa, dengan halus mencoba menolak permintaanya dengan menanyakan apa kesuliatannya membuat skripsi. Lalu ia menggambarkan kesulitannya dan saya mencoba memberikan beberapa masukan dan bahkan menawarkan diri saya untuk membantunya membimbing tugas akhirnya itu.

Saya kembali mencoba mengingat pengalaman saya dulu, saat saya masih di bangku kuliah di semester akhir. Saya mengalami kecemasan yang mungkin tidak jauh berbeda dengan teman saya ini. Skripsi adalah barang baru bagi saya. Hal ini adalah seperti menjelajah ke dunia antah berantah yang mencekam. Di tambah lagi dengan kemampuan matematika saya yang kurang baik, saya berpikir mengolah data hasil penelitian adalah hal yang mustahil. Untunglah saya seorang yang gemar membaca dan memiliki dosen statistik yang baik hati, sehingga saya lulus sidang skripsi dengan lancar.

Itu adalah pengalaman lebih dari 10 tahun lalu, kini saya memiliki sudut pandang yang berbeda tentang mengerjakan skripsi. Bahkan saya memili keberanian untuk membimbing pembuatan skripsi teman saya tadi. Mengapa hal ini terjadi pada saya? Yang pasti keberanian itu muncul karena banyak faktor, salah satunya adalah karena saya telah belajar dan berlatih untuk membuat penelitian. Dalam profesi saya sebagai guru dikenal sebagai Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Jujur, di Indonesia budaya penelitian di bangku sekolah belum terasa. Jangankan di daerah, di jakarta saja budaya penelitian di sekolah-sekolah favorit belum tentu meresap pada diri setiap siswa. Sekolah masih cenderung mebudidayakan hafalan, pengulangan atau baling baik pemahaman. Penelitian membutuhkan tingkat kemampuan kognitif yang lebih tinggi. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom, mengadakan sebuah penelitian membutuhkan kemampuan kognitif yang tertinggi: Mencipta (Creating/C6). Sejak sekolah dasar siswa di sekolah-sekolah Indonesia tidak dibiasakan untuk terlibat dalam penelitian, hal ini mengakibatkan banyaknya 'korban' dalam penelitian di tingkat pendidikan tinggi. Para mahasiswa tidak siap, bahkan menganggapnya menjadi suatu kengerian, saat menghadapi skripsi.

Salah satu penjelasan terbaik dan termutakhir mengenai kondisi atau akibat tidak dibiasakannya budaya penelitian sejak dini terdapat pada koran Kompas, Jumat, 1 Oktober 2010, di halaman muka bertajuk 'Praktek Koruptif di Balik Gelar Mentereng'. Ulasan dalam artikel ini menunjukkan betapa kotor dan buruknya bisnis-bisnis di balik pembuatan skripsi. Tumbuhnya 'wirausahawan' dalam ceruk pasar yang baru ini dipicu oleh gagalnya pemerintah merancang kurikulum nasional dan dalam melatih para tenaga pendidiknya. Para mahasiswa yang terjebak dalam kesulitan pembuatan skripsi mengambil jalan pintas dengan menyerahkan pembuatannya kepada kelompok-kelompok 'wirausahawan' ini sepenuhnya dan menggantinya dengan sejumlah uang. Modus ini tidak lebhi baik dari pembelian gelar yang prakteknya juga banyak di negara ini.

Dalam artikel yang sama, Pak Fasli Jalal mengatakan hal yang benar bahwa kita harus lebih mengedepankan kompetensi dari pada gelar. Namun demikian dalam kenyataan yang ditemui sekarang ini apakah memang berlaku pernyataan demikian? Dan seharusnya Kemendiknas perlu segera melakukan langkah perbaikan untuk menghindari praktek-praktek tidak terpuji ini. Tidak heran, terdapat lebih dari dua juta pengangguran bergelar sarjana di negeri ini. Mereka adalah sarjana-sarjana yang lulus tanpa isi yang didiluluskan oleh mental ketidakjujuran dan mental 'segalanya dapat dibayar dengan uang'.

Study To Be Unemployed?

>> Monday, September 6, 2010

Selamat kepada 8000-an lulusan Universitas Indonesia yang baru saja diwisuda minggu lalu(26/08/2010). Indonesia telah meluluskan puluhan bahkan ratusan ribu mahasiswa yang (seharusnya) siap digelontorkan ke lapangan kerja. Sayangnya, meurut situs dikti.org, terdapat 60% dari lulusan yang menganggur!

Sedangkan ketua Kadin Jatim menyatakan :

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Erlangga Satriagung di Surabaya, Rabu (14/1) mengatakan, lapangan kerja rata-rata hanya menyerap 37 persen lulusan perguruan tinggi. Bahkan, beberapa tahun ke depan diperkirakan daya serap itu menurun karena pengaruh resesi. (portalhr.com)

Telah banyak wacana dan diskusi yang melontarkan ide-ide yang sangat baik untuk meningkatkan daya serap dunia kerja. Namun, hingga saat ini belum ada perubahan signifikan pada para lulusan di bangsa ini. Kebanyakan dari mereka harus termangu dalam perjuangannya mencari pekerjaan.


Apakah hal ini berarti sistem pendidikan di Indonesia telah mengalami kegagalan? Inilah pertanyaan yang sedang saya renungkan, karena saya juga berada dalam sistem ini. Bagaimana opini Anda?

Character Building Failed...(again)

>> Monday, August 23, 2010

Kejadian yang mennimpa para anggota paskibra sungguh memprihatinkan. Ternyata budaya kekerasan dan otoritarian masih menguasai para teruna-teruna ini. Saya jadi teringat pengalaman beberapa tahun lalu saat masih menjadi 'freshman' di bangku SMP, SMA dan kuliah. Perlakuan yang saya terima dari para senior waktu itu memang memiliki nada yang sama dengan para anggota paskibra itu, walau memang tidak pernah diminta bertelanjang atau berhanduk hanya untuk pergi ke WC. Hal paling buruk yang pernah saya terima adalah ditampar senior, karena berbuat kesalahan.

Entah sejak kapan, gelombang anti-kekerasan pada yunior ini mulai berkurang dalam beberapa tahun setelahnya. Bahkan, saat di bangku kuliah, yang saya pikir akan menjadi puncak kesialan para yunior tidaklah seseram yang saya bayangkan waktu itu. Saya diminta untuk membawa beberapa atribut dan melakukan hukuman fisik akibat kesalahan saya.


Entah mengapa di organisasi yang disegani dalam urusan baris-berbaris ini justru masih menyimpan jejak budaya STPDN. Pertanyaan besarnya adalah: buat apa? untuk apa? mengapa para senior melakukan itu? Apakah karena suatu 'kutuk' turun temurun yang janggal kalu tidak dilakukan? Apakah untuk idealisme kedisiplinan? Apakah untuk membuat 'akrab' senior dan yunior (alasan yang paling sering saya dengar setelah event berlangsung)?

Apapun jawaban yang bisa diberikan, jelas kejadian yang menimpa para anggota paskibraka itu tidak layak untuk mereka alami. Mereka berhak diperlakukan sebagai manusia dan mendapatkan pendidikan mental yang lebih layak daripada sekedar telanjang ke kamar mandi.

Tidak heran dalam harian Kompas beberapa hari lalu mengangkat isu, bahwa pelajaran moral dan karakter dalam sistem pendidikan Indonesia masih dalam taraf teori. Prakteknya para siswa belum sepenuhnya mengalami moral dan karakter ideal yang diharapkan, bahkan dalam organisasi yang terkenal disiplinnya seperti PPI dan Paskibraka.

The First Day Of School!

>> Monday, July 26, 2010

Besok adalah hari pertama masuk sekolah di sekolah kami. Harapan, semangat dan kegairahan memenuhi hampir setiap warga sekolah setelah satu bulan lebih melewati masa libur.

Setelah berjuang selama dua minggu lebih mengikuti pelatihan guru, ini saatnya untuk mengaplikasikan seluruh keterampilan dan ilmu ayng didapat. Learning without doing is nothing... well, mudah-mudahan besok menjadi hari yang tak terlupakan... dan hari hari mengisi catatan ini akan lebih banyak...

Lambok P. Tampubolon, We Honor You...

>> Thursday, May 27, 2010

Kira-kira dua bulan yang lalu, saat saya baru menyelesaikan makan siang, seorang sahabat datang menyapa dan kami berbincang-bincang ringan. Perbincangan menuju pada apa jenis kelamin anak dalam kandungan isteri saya. "Laki-laki," jawab saya. Dia tersenyum dan menceritakan harapannya bahwa ia juga menginginkan seorang anak laki-laki. Dua anak perempuan yang dimilikinya sekarang bukan membuat dia tidak bahagia, tapi sebagai seseorang bersuku Batak, anak laki-laki memang tetap menjadi kebanggaan. "Nanti dua atau tiga tahun lagi lah," katanya, saat saya mendesak dia untuk segera memiliki anak lagi. Itu adalah perbincangan terakhir kami...

Belum sempat impiannya terwujud, ia telah dipanggil Tuhan pada hari Rabu 26 Mei 2010 pk. 07.50. Dalam usianya yang masih 35 tahun, ia meninggalkan isteri dan dua orang anaknya yang baru berusia 3 dan 1 tahun. Komplikasi penyakit paru dan hati menyerangnya dengan hebat, sehingga ia harus menderita dan berjuang melawan penyakit ini selama dua bulan.

Sepanjang yang saya tahu ia terkenal pekerja keras. Tidak cukup ia menafkahi keluarganya di sekolah tempat kami bekerja, ia mengajar les di beberapa tempat. Ia berharap dapat membahagiakan isteri dan anak-anaknya. Pergi ke kantor pagi-pagi dan pulang malam hanya dengan kendaraan roda dua, rutinitas ini tidak pernah ia keluhkan, setidaknya pada saya. Rokok dan kopi menjadi penopangnya untuk dapat mempertahankan aktifitasnya ini.Dan mungkin ini juga yang menjadi penyebab penyakitnya.

Rutinitas dan kebiasaan ini saya duga berbahan bakar kecintaan pada anaknya. Dalam album foto di akun Facebook-nya, hampir semuanya adalah foto Indah, anaknya yang paling besar. Kami, para sahabatnya senag menggodanya saat Indah masih dalam kandungan. Saat almarhum sedang mencari nama untuk anaknya, beberapa teman kami mengusulkan beberapa nama, salah satu yang paling sering kami usulkan adalah Bella karena dapat berakronim Betty (nama isterinya) dan Lambok. Namun saat bayi lahir, ia puas dengan nama Indah dan bangga atasnya.

Saya terharu dan simpati pada kedua anaknya yang masih kecil. Mereka masih belum mengerti bahwa papanya yang sangat menyayangi mereka telah pergi. Saat berada di rumah duka kemarin, teman saya menggendong Indah, dan ia bertanya, "Papaku ada di situ?" sambil menunjuk ke peti mati dengan foto papanya di depan peti. "Iya, papa lagi bobo" jawab salah seorang teman kami. "Papaku di dalam situ?" tanyanya sekali lagi, saya melihat dengan jelas sorot matanya yang penuh kebingungan. Teman-teman kami yang berkerumun di sekitar Indah dan Helga tidak bisa berkata apa-apa. Salah satu orang tua murid yang kebetulan berada di dekat kami menyatakan,"Iya, papa lagi bobo sama Tuhan Yesus, ya?" "kenapa begitu?" tanyanya.Sekali lagi kami terdiam. Dada saya agak sesak menyaksikan pemandangan ini. Segera teman-teman kami mengalihkan pembicaraan dan mengganti pakaiannya yang basah karena keringat.

Banyak cerita mengharukan lainnya yang saya tidak bisa sampaikan di sini, namun di balik semua kisah yang memancing simpati, banyak pelajaran yang saya amati dapat diambil dari hidupnya dari perbincangan dengan teman-teman. Yang pertama, saya dan teman-teman mengakui bahwa sahabat kami ini adalah sosok guru yang dicintai oleh murid-muridnya. Sejak jenasah belum masuk ke dalam peti di rumah duka, gelombang siswa berdatangan. Bukan hanya mereka yang masih menjadi siswanya saat ini, tetapi juga para alumni dari berbagai daerah menyempatkan diri untuk memberikan penghormatan terakhir pada guru kesayangan mereka ini. Bahkan ada satu orang siswa yang baru tahu kabar duka ini di sore hari memutuskan untuk langsung meninggalkan kotanya di Bandung dan berangkat menuju rumah duka di Cikini, Jakarta. Ratusan siswa yang datang menunjukkan totalitasnya dalam mengajar anak-anak dengan penuh ketulusan.


Almarhum juga saya kenal sebagai seseorang yang murah hati. Tidak sedikit teman-temannya yang diajak untuk mengajar di sekolah kami sebagai guru part-timer. Ia memberikan kesempatan untuk meraih taraf hidup yang lebih baik. Tidak hanya itu, seorang teman saya bercerita, suatu hari tiba-tiba ia mendapatkan kiriman mie ayam dari almarhum. Sesaat sebelumnya mereka terlibat perbincangan di kantin bersama teman-teman lain. Teman saya menggodanya untuk mentraktir mie ayam. Ternyata, ia memang mengirimkan tiga mangkok mie untuk makan siang mereka.

Rasa Humornya yang unik, membuat kami terkadang geli, sebal tetapi juga senang. Ada beberapa orang tertentu yang mejadi sasaran empuk bercandaanya. Bahkan di saat-saat yang sangat serius dalam rapat atau pertemuan lainnya, ia menyempatkan diri melontarkan celetukan-celetukan yang memecahkan suasana yang beku dan tegang. Kini, humor-humor itu tiada lagi...

Selamat jalan Lae, seperti kata teman saya di status Facebooknya: Anda telah mengakhiri pertandingan... Istri dan anak-anak yang ditinggalkan tidak akan menunjukkan penyesalan, tetapi syukur, karena mereka memiliki suami dan ayah yang dapat mereka teladani. Demikian juga dengan kami para sahabat, rekan sekerja dan siswanya menaruh rasa syukur dan hormat atas hidup yang telah dibagi...

A Porridge Pot, A Mouse and A Habit

>> Monday, May 24, 2010

Langit mendung, waktu menunjukkan kira-kira pk.15.30, saya agak cemas. Berharap hujan tidak datang berujung pada kenyataan: hujan! Memang bukan hujan deras, tapi cukup membuat seseorang malas beranjak dari tempat tidur. Satu SMS masuk berkata: maaf anak saya tidak bisa datang hari; membuat pertanyaan semakin tajam, akankah anak-anak datang hujan-hujan begini. Bersiap-siap dan menunggu hingga hampir pk.16.30, belum ada satu orang anak pun yang datang, sedang anak saya telah duduk manis siap menyambut teman-temannya datang. Saya duduk di sofa, sambil menunggu saya mengobrol dengan anak saya yang berusia 4 tahun bulan Juli nanti.

Tiba-tiba anak saya berkata, "Jessica!", saya menengok keluar. Seorang anak, ditemani pembantunya datang ke rumah kami. Sambil membawa payung dan sebuah tempat pinsil, ia melangkah terburu-buru masuk ke rumah kami. Pembantunya meminta agar payungnya digunakan dengan semestinya dan bukan hanya dijinjing. Namun sang anak tetap menjinjing payungnya sampai di muka pintu dan segera berbincang-bincang dengan kami, mempromosikan isi tempat pinsilnya.

Tidak lama, beberapa anak lain menyusul. Saya tidak menyangka, ruang tamu kami yang sempit, kini dipenuhi dengan setengah selusin anak usia TK dan beberapa anak usia SD. Anak-anak yang lebih besar ini seharusnya datang 30 menit kemudian, tapi mereka meminta untuk diijinkan mengikuti sesi membaca untuk adik-adik mereka. Walu di luar hujan dan terasa dingin, temperatur udara di ruangan kami berkumpul terasa seperti di atas panci. Saya mulai membacakan buku "The Magic Porridge Pot" dengan bertanya siapa yang suka bubur. Semua mengangkat tangan, kecuali satu, katanya dia lebih suka ayam. Lalu saya bertanya siapa yang sedang lapar, semua mengangkat tangan, kecuali satu, katanya dia sudah makan. Setelah itu saya mengajak anak-anak untuk membaca cerita dan bertanya apakah mereka sudah siap. Semua menjawab sudah, dan satu anak yang tadi menyatakan, "Cerita nenek sihir ya?" Lalu kami tertawa, sebab minggu lalu sepanjang saya membacakan cerita, ia kerap kali mengalihkan pertanyaan saya dengan bercerita tentang Buto Ijo. Anak sang penjinjing payung ini memang seorang pemecah suasana.

Setelah selesai bercerita, semua anak bertepuk tangan dan saya membagikan beberapa makanan ringan hasil sumbangan salah satu orang tua. Mereka pun meninggalkan rumah kami dan kini giliran anak yang lebih besar untuk dibacakan cerita. Kali ini adalah pertemuan ketiga bagi mereka. Kisah tentang seekor tikus yang jatuh cinta pada seorang putri raja manusia ternyata membuat mereka tertarik. Saya tidak menyangka kisah "The Tale of Desperaux" ini membuat mereka selalu penasaran di akhir sesi. Buku setebal 200-an halaman saya bacakan dengan berkeringat, tentu saja saya harus membaginya menjadi beberapa kali pertemuan. Kali itu cerita dimulai dari sang tikus yang sedang beretmu dengan sang putri raja dan bagaiamana orang tua sang tikus tepaksa menghukum anaknya sendiri karena telah melanggar peraturan masyarakat tikus, bertemu dengan manusia.

"Yaaah!" seru mereka saat saya menyatakan cerita ini harus berhenti sampai di sini. Mereka pun meninggalkan rumah saya dengan membawa rasa penasaran kelanjutan cerita ini. Satu demi satu dari hampir sepuluh anak usia SD ini meninggalkan rumah dengan berkeringat. Salah seorang ibu yang ikut hadir menemani anaknya mendengarkan cerita berkisah. Ia mengenal seseorang yang mengeluh padanya mengapa anaknya tidak suka membaca. Ia mengetahui belakangan ternyata orang tua itu tidak suka membaca. Ia menandaskan bagaimana meminta anak suka membaca bila orangtuanya tidak memberikan teladan? Ini juga adalah pertanyaan bagi Anda, orangtua. Warisan paling berharga yang harus ditinggalkan pada anak-anak kita adalah teladan, salah satunya adalah kebiasaan membaca.

Salah satu dari anggota klub membaca kami dengan polos menyatakan bahwa dia tidak memiliki sebuah buku pun di rumah dan ia hampir tidak pernah membaca. Saya bersyukur dia salah satu anggota yang paling rajin hadir. Saya berharap membaca menjadi kebiasaanya di waktu-waktu mendatang. Karena membaca adalah jantung dari pendidikan dan pembelajaran, demikian kata Jim Trellease, seorang penulis buku "Read Aloud Handbook". Dengan berinvestasi waktu untuk membacakan buku bagi anak, seseorang sedang mengumpulkan 'makanan' untuk masa depan anak-anaknya. Seperti seekor lebah yang rajin mencari madu dan mengumpulkannya demi kelangsungan hidup koloninya. Bee Readers, demikian saya menamai kelompok ini.

UN 2010, Repeating Cases

>> Wednesday, April 28, 2010

Saya hampir tidak bersemangat untuk mengulas topik ini. Nadanya cenderung hampir sama dari tahun ke tahun. Mulai perencanaan, penyelenggaraan dan pengumuman hasil, isu seputar UN ini selalu disorot berbagai media dan cenderung bernada pesimis, negatif dan buruk.

Khusus untuk UN SMA, yang pesertanya lebih dari 1,5 juta siswa lebih dari 10%-nya tidak lulus. Ketidak lulusan 100% terjadi di 267 sekolah. Respon birokrat di bidang pendidikan cenderung aneh, setidaknya menurut Anita Lie (Kompas, 2010), pemerintah mendikotomikan kejujuran dan ketidaklulusan UN. "Jadi, kalau hasil ujian para siswa gagal dianggap jujur, sementara kalau hasilnya bagus menjadi tidak jujur, buat saya itu aneh. Maunya apa sebenarnya dengan UN ini?" ujar Anita Lie kepada Kompas.com di Jakarta.

Walaupun Menteri Pendidikan Nasional, Muhamad Nuh, menyatakan UN tidak akan mempengaruhi kelulusan karena ada faktor lainnya, namun di lapangan, setidaknya secara psikologis telah mempengaruhi kepala sekolah, guru dan siswa itu sendiri terhadap UN. Menurut beberapa pakar pendidikan, yang saya juga setuju, memang sebaiknya UN tidak dimasukkan sebagai satu-satunya atau salah satu faktor dalam kelulusan siswa.  Saat ini, masih terjadi dualisme, disatu sisi UN dipakai sebagai salah satu instrumen kelulusan, di sisi lain dipakai sebagai alat pemetaan. Menurut saya hal ini tidak bisa berjalan dengan baik.

Sebagai guru, saya mengenal betul psikologis para siswa dalam menghadapi UN. Mereka berharap lulus, orang tua mereka pun demikian. Harapan ini begitu tinggi sehingga mereka dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam program drilling atau latihan soal-soal UN. Ini adalah sebuah pembodohan. Siswa datang ke sekolah bukan untuk bisa mengerjakan soal, tapi lebih dari itu. Di titik inilah banyak siswa dan guru di berbagai sekolah berkompromi dengan dosa. Demi kelulusan yang telah ditarget oleh atasan masing-masing, mereka melakukan berbagai cara yang tidak etis. Mulai dari pembocoran soal hingga penyuapan.

Pada artikel saya di bulan Januari 2009, saya merujuk laporan hasi UN tahun 2008 dari puspendik (yang kini tidak lagi bisa diakses, entah kenapa). Di sana tercatat denagn jelas bahwa ada satu sekolah di kabupaten Bekasi ini yang hasil nilai UN-nya mencengangkan. Saya sendiri baru mengenal nama sekolah tersebut dari rekan saya. Hasil UN-nya lebih tinggi daripada beberapa sekolah favorit di Jakarta. Apa yang sebenarnya terjadi?

Hasil UN cenderung tidak valid dan memiliki latar belakang pencapaian yang tidak jujur. Saya berharap Pak Nuh mau berbesar hati dan berpikir lebih luas untuk meniadakan saja UN ini atau setidaknya tidak menjadikan UN sebagai salah satu faktor kelulusan apalagi satu-satunya. Biarlah kita kembali pada pola EBTANAS dahulu, dimana nilai hasil ujian dipakai sebagai salah satu faktor penerimaan siswa baru di jenjang pendidikan berikutnya. Dengan cara yang demikian pun, sekolah dapat berlomba-lomba meningkatkan kualitasnya untuk membawa siswanya ke sekolah favorit. Tujuan pemetaan pun masih dapat dilakukan dengan cara yang demikian. Lebih ekstrem, biarkan sekolah membuat ujian dan nilai akhirnya sendiri untuk para siswanya. Pemerintah cukup membuiat sejenis SAT yang dilakukan oleh pemerintah AS.

Kartini, A Girl Who Reads and Brings Light...

>> Wednesday, April 21, 2010

Hari ini, sambil disengat dengan sinar matahari pagi yang cukup terik, kami melangsungkan upacara bendera dengan tema memperingati hari kartini. Dengan posisi peserta upacara yang nayris menghadap ke timur, keringat saya tak berhenti bercucuran sepanjang upacara berlangsung sedangkan para siswa pun tak berhenti bergoyang dan bergerak sepanjang upacara karena kepanasan. Namun, apa yang disampaikan rekan saya, sang pembina upacara dalam pidatonya sangatlah menarik.

Ia membacakan biografi singkat tentang Raden Ajeng Kartini, yang lahir lebih dari satu abad yang lalu di Jepara. Selama ini, yang saya pahami tentang Kartini adalah seorang pejuang emansipasi wanita. Dia dipercaya sebagai seorang pelopor pembela hak-hak kaum perempuan. Dengan segala kesantunan dan penundukan diri yang total pada orang tua dan suaminya, ia berusaha mewujudkan impiannya untuk menyadarkan dan membangun perempuan Indonesia. Dan ia berhasil.

Namun pagi ini, saya mendengar sesuatu yang baru yang menyadarkan saya tentang awal perjuangan Kartini. Satu hal yang memicu dan membantunya mewujudkan impiannya adalah karena ia membaca.  Ia bersekolah hingga usianya yang 12 tahun, karena setelah itu, sesuai budaya Jawa saat itu, ia dipingit untuk dipersiapkan dalam pernikahan. Dalam masa pingitan ini, Kartini memang tidak pergi ke sekolah lagi, tapi ia menyekolahkan dirinya sendiri dengan mengumpulkan buku-buku pelajaran dan bacaan. Ia membaca dan mempelajari semuanya. bahkan diantaranya adalah buku-buku berbahasa Belanda. Ia membaca...

Saya berpikir, betapa hebatnya kekuatan buku dan kegiatan membaca ini. Dan betapa kuatnya hasrat Kartini untuk tetap membaca demi mewujudkan impiannya. Jika sebagaian besar siswa Indonesia berusia 12 tahun memiliki kebiasaan yang sama bahkan lebih jauh lagi semangat yang sama dengan Kartini, saya percaya wajah bangsa ini akan berubah. Membaca adalah jantung perubahan dalam kehidupan Kartini. Buku adalah cahaya yang membawanya dari gelap kepada terang...

Terima Kasih Kartini....

FREEDOM WRITERS

>> Tuesday, April 20, 2010

Hillary Swank berperan dengan sangat menyentuh sebagai Erin Gruwell dalam film Freedom Writers (2007). Sebagai seorang guru bahasa di sebuah kelas yang siswanya sama sekali tidak tertarik pada sekolah, Gruwell menempuh banyak kesulitan dalam menaklukan siswa-siswanya itu.

Siswa yang berasal dari berbagai ras, negro, hispanik dan asia ini tidak hanya sangat rasis, tapi juga hidup dalam kekerasan. Mereka sangat merendahkan Gruwell dan tidak peduli pada pelajaran. Hanya undang-undang saja yang masih membuat mereka tetap berada di dalam kelas di jam sekolah. Kebrutalan para siswa tidak terkendali sehingga memungkinkan terjadinya tawuran dan penembakan. Dalam kelas Gruwell harus berjuang untuk mendapatkan perhatian dan kehormatannya di mata mereka. Gruwell nyaris putus asa.


Dalam film yang diangkat dari kisah nyata ini, Gruwell akhirnya menemukan bahwa ia harus melakukan sesuatu pada sistem pergaulan dan gaya hidup mereka itu sebelum ia dapat mengajar mereka. Dengan cara-cara yang kreatif, berani dan bahkan terlalu nekat, Gruwell berjuang dalam 'pertempuran' sengit dengan para siswanya.

Para siswanya akhirnya harus menyadari bahwa Gruwell bukan hanya sekedar pengajar, tetapi pahlawan mereka. Secara perlahan dan penuh pengorbanan, bahkan hingga kehilangan suaminya, Gruwell menggiring para siswa brutal dan tak bermasa depan di kelasnya menjadi siswa terbaik di kotanya. Dengan sangat agresif, ia menunjukkan bahwa belajar bahasa, sastra, membaca dan menulis dapat menjadi sangat menyenangkan, personal, menyentuh bahkan mampu mengubah hidup mereka.

Film ini akan menampar setiap orang yang berprofesi guru, menjewer para administrator sekolah dan membentak setiap orang tua. Mereka akan dipaksa untuk menyadari bahwa tidak ada siswa yang bodoh, nakal bahkan brutal yang tidak dapat berubah. Anak-anak adalah nafas kita di masa datang. Mereka perlu diperhatikan dan teladan, mereka perlu seseorang yang memerdekakan mereka dari ikatan ketertolakan dan kepahitan hidup mereka sendiri. Mereka hanya butuh seseorang yang rela berkorban. Bukankah yang rela berkorban itu disebut pahlawan?

Sungguh sebuah film yang tidak boleh dilewatkan oleh siapapun!

Kill to Play!

>> Wednesday, April 14, 2010

Seorang anak di Rusia membunuh ayahnya sendiri karena dilarang bermain games (detik.com). Ini merupakan salah satu berita terburuk dari dampak negatif bermain games. Kesaksian dari berbagai sumber yang saya dapatkan, para pemain yang cederung masih berusia sekolah mengalami penurunan prestasi belajar, terkena berbagai penyakit seperti dehidrasi, sakit kepala, ambeien, maag dan lainnya, tidak sedikit yang mengalami social disorder atau kesulitan dalam membangun hubungan sehat dengan sesama, pertengkaran dengan orangtua dan persoalan-persoalan lainnya.

Saya telah menemukan banyak berita tentang anak-anak, khususnya laki-laki yang kecanduan beramin games. Lebih dari 90% gamers adalah anak laki-laki. mereka menghabiskan waktu rata-rata 4-5 jam per hari untuk bermain games. Di warnet games on-line, seseorang dapat bermain dengan mengeluarkan uang rata-rata Rp 4000 per jam. Sedangkan untuk permainan Play Station keluaran Sony, yang cenderung lebih populer di pinggiran kota, seorang anak dapat bermain di tempat penyewaan dengan biaya yang sama. Belum lagi beberapa warnet menyediakan paket-paket bermain murah atau voucher. Hal ini sangat menguras keuangan keluarga dan berpotensi menimbulkan konflik dalam keluarga. Seorang teman saya berkisah, ada temannya yang kuliah di sebuah PTS di jakarta kecanduan dengan games. Ia sampai merelakan diri 'berhemat' demi membiayai kecanduannya, bahkan uang SPP-nya ia korbankan untuk kesenangannya itu.

Lyto, Sebuah perusahaan distributor games on-line di Indonesia mengaku memiliki pengguna sebesar 6juta orang (detik.com), jika kita dapat tambahkan dengan sumber-sumber lain, saya pikir angka pemain games di Indonesia secara total tentunya akan lebih besar. Dari total 79,4 juta anak-anak di Indonesia (usia 8-18 tahun, 2009), bisa diperkirakan lebih dari 30% atau lebihdari 25 juta anak (wikimu.com)!

Permainan games yang berisi pendidikan justru sangat sedikit sekali jumlah peminatnya. Para gamers cenderung berminat dengan permainan yang penuh dengan konten seksualitas, kekerasan dan kejahatan. Baru-baru ini sedang hangat berita tentang pencekalan sebuah games yang mengumbar ketiga konten tersebut pada skenario gamesnya. GTA, Grand Theft Auto telah banyak dicekal oleh banyak instansi. Namun, walaupun mengalami pencekalan, GTA merupakan salah satu games yang membukukan penjulan yang menakjubkan dalam waktu seminggu saja, Rp 4,6 trilliun (wikimu.com)!

Sungguh memprihatinkan nasib generasi muda saat ini. Walau dengan teknologi yang maju pesat, namun kekuatan atau daya tahan untuk berhadapan dengan teknologi itu sendiri tidak dimiliki oleh anak-anak. Kekuatan teman sebaya atau peer pressure telah mengalahkan ikatan dalam keluarga. orang tua telah kehilangan pengaruh dan kepercayaan anak. Seorang teman saya menceritakan betapa ia mengalami jalan buntu untuk mengontrol anaknya bermain games. Mulai dari bujukan halus, berdoa hingga ancaman, tidak menggoyahkan kecanduan anaknya. Seorang teman saya yang lain mengeluhkan tingkah sepasang orangtua kaya yang terbujuk pada rayuan anaknya untuk membuat sebuah warnet games on-line di dekat lingkunganya tinggal. Ia berkata, apakah tidak ada jenis usaha lain yang dapat dikerjakannya selain membuka warnet dan mengakibatkan anak-anak binaannya malas belajar.

Tidak hanya konten games itu sendiri yang perlu diperhatikan secara serius, tetapi perilaku anak terhadap games itu sendiri yang juga perlu ditinjau lebih serius. Apa pun gamesnya, anak cenderung meninggalkan tanggungjawabnya yang utama, entah itu belajar atau tanggungjawab lain.mereka juga cenderung belajar menjadi egois, membuang-buang waktu, melawan orangtua dan lainnya. Kisah anak yang membunuh ayahnya sendiri di atas harusnya dapat membuat orang tua, guru dan pemerintah sadar, bahwa anak-anak sedang digiring untuk peduli dengan kesenangannya sendiri dengan mengorbankan orang lain (bahkan dirinya sendiri juga!).

Pertanyaan ini hanya berlaku di jaman Romawi Kuno, tidak di jaman ini: Haruskah seseorang membunuh untuk bermain?

Hectic Month...

>> Friday, March 26, 2010

Saking sibuknya beberapa minggu belakangan, saya sampai meninggalkan penulisan di blog ini.Dua acara penting sangat menyita waktu, tenaga, pikiran dan emosi saya. Khususnya yang kedua, membuat kepala saya mau pecah rasanya...

Bermula dari pelaksanaan Book Week di awal bulan ini telah menyibukkan saya dan seluruh sekolah dalam merayakan kegiatan membaca. Seluruh siswa dari Playgroup hingga SMA mengambil bagian dalam kegiatan ini. dari dua kali penyelenggaraan sebelumnya, panitia telah mengemas acara Pekan Buku tahu ini dengan sedikit berbeda, namun tetap menyenangkan bagi siswa. Dan bagi kami, walaupun pekerjaan sangat berat, kami menjalaninya masih dengan penuh tawa yang larut dalam kegembiraan berlangsungnya Book Week ini.

Mengambil tema dari buku karangan Mark Twain: The Prince and The Pauper, sekolah kami mengadakan beberapa program seperti Read Aloud, SSR Session, Watching the Movie Version, Book Fair, Reading Buddy dan yang tak kalah seru adalah acara puncak: Work Like A Pauper, Eat Like A Prince. Dalam kegiatan puncak, siswa mengadakan kegiatan 'bersih-bersih' di dalam dan di sekitar sekolah dengan pakaian gembel dan pada sesi kedua di hari itu, mereka menyiapkan perjamuan makan dengan berpakaian prince atau princess serta makan dengan menggunakan table manner.

Book Week, bukan hanya satu-satunya sumber kesibukan yang membuat saya hampir tidak menulis di bulan ini. Hal lainnya juga adalah program sertifikasi guru. Yang satu ini benar-benar menguras pikiran dan emosi. berulang kali saya dan teman-teman merasa gugup, parno, naik darah, bingung, marah-marah bahkan kesal dibuatnya. sayangnya saya tidak dapat merincinya di sini sekarang. Pastinya, mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan untuk program ini sangatlah merepotkan. Tugas utama hampir-hampir terbengkalai, sangat jauh berbeda emosi yang saya alami kali ini dibanding dengan penyelenggaraan Book Week. Perlu ada perbaikan dalam mempersiapkan dan merampungkan dokumen sertifikasi guru ini, baik dari pemerintah, maupun dari sisi saya secara pribadi.

Memang benar sepertinya kata sebuah buku yang saya baca, pekerjaan adalah tempat seseorang menunjukkan dan membentuk karakter sebenarnya. Di dunia kerjalah, karakter seseorang diuji. Nampaknya, saya maih perlu banyak belajar dalam hal ini.

Well, sepertinya sampai di sini dulu... semangat!

THE FIRST EDUCATOR_PART THREE

>> Sunday, February 28, 2010

Ini adalah bagian terakhir tulisan saya tentang Pendidik Utama...

__________

Orangtua yang Berfungsi
Kegagalan pendidikan anak bukan hanya diakibatkan karena ketiadaan atau ketidakhadiran orangtua, tetapi juga karena adanya orangtua ‘mandul’ di dalam keluarga. Orangtua memang hadir secara fisik dan berada di dekat anak, tetapi mereka tidak berfungsi menjalankan tugas pendidikan pada anak-anaknya.

Orangtua memang berada di dekat anak saat di rumah, tetapi baik anak maupun orangtua melakukan aktifitasnya masing-masing. Sang anak bermain games, sang ayah sibuk dengan laptop-nya dan sang ibu tidak bisa lepas dari Blackberry-nya. Orangtua memang duduk satu meja di restoran, tetapi hampir tidak ada pembicaraan berkualitas di meja makan. Masing-masing sibuk dengan makanannya, handphone-nya atau majalahnya. Orangtua memang hadir secara fisik, tetapi tidak berfungsi.

Memang, tidak sedikit anak-anak yang lahir tanpa orangtua atau anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya, berhasil dalam hidupnya dan unggul dalam kepribadiannya. Hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor, salah satunya adalah adanya karunia khusus Tuhan atas hidup anak itu. Namun, secara umum sebagian besar anak-anak lahir dari orangtua yang lengkap dan mereka dibesarkan dengan ayah dan ibu yang sama sejak mereka lahir.

Orangtua tidak berfungsi dalam tugas-tugas pendidikan, karena mereka cenderung belajar dari kesalahan masa lalu, Thomas Gordon, seorang psikolog Amerika, dengan tepat menggambarkannya:

Para orangtua masa kini hampir selalu percaya pada metode yang sama dalam membesarkan anak-anak dan menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga, metode yang telah digunakan oleh orangtua mereka, oleh kakek dan nenek mereka, oleh orangtua dari kakek nenek mereka. (Gordon:1975)

Orangtua perlu meningkatkan kemampuannya dan pemahamannya mengenai pendidikan anak secara konsisten. Menjadi orangtua memang secara alamiah terjadi ketika seseorang memiliki anak, tetapi menjadi orangtua yang berfungsi membutuhkan usaha.

Orangtua yang berfungsi adalah orangtua yang setidaknya melakukan dua hal. Pertama, ia adalah yang mengerti betul mengelola pernikahannya, yaitu hubungannya dengan pasangannya. Kedua, ia adalah orangtua yang terus menerus belajar dan mempraktekkan apa yang ia telah pelajari mengenai pendidikan anak.

Orangtua Pemelihara Pernikahan
Orangtua adalah otoritas di dalam keluarga dan anak adalah wujud kasih suami isteri dan objek kasih orangtua. David Code menyatakan pesan yang jelas isi bukunya melalui judulnya: To Raise Happy Kids, Put Your Marriage First (Untuk Membesarkan Anak yang Bahagia, Utamakanlah Pernikahan Anda). Anak tidak boleh menjadi pusat dalam keluarga.

Keberadaan suami dan isteri mendahului keberadaan anak. Hubungan suami isteri adalah sumber kehidupan anak. Tanpa hubungan yang kuat antara suami isteri, bagaimanapun kerasnya orangtua mendidik anak, anak-anak tidak akan bertumbuh secara maksimal dan sehat.

Suami isteri yang tidak harmonis akan dengan mudah dilihat oleh anak. Walau mereka tidak dapat mengatakannya, namun mereka mampu menerjemahkannya sebagai: ayah dan ibuku tidak sayang padaku lagi. Ya, anak-anak akan tergoncang jiwanya melihat orang tuanya yang tidak sejalan. Saat suami memarahi isteri, atau saat isteri mengacuhkan perkataan suami, anak-anak akan menjadi bingung dan mereka akan berusaha keras memahami dan memaklumi kejadian itu. Tetapi pada dasarnya mereka mulai mengurangi kepercayaan, hormat dan cinta mereka pada orang tua.

Berdamai dengan dengan pasangan sebelum meminta anak melakukan sesuatu adalah hal yang bijak yang orangtua dapat lakukan. Melakukanlah terlebih dahulu pada pasangan hal-hal yang ingin anak lakukan juga merupakan hal yang baik untuk dipraktekkan. Orangtua adalah mata air bagi anak. Anak adalah seperti sungai. Jika mata airnya kotor, kotor pula sungai yang mengaliri airnya, tapi bila mata airnya bersih, jernih pula air yang melalui sungai itu.

Bayangkan sebuah payung dengan tudung bocor atau tangkai yang patah, percumalah siapapun yang berteduh di bawah payung itu. Anak-anak akan diserang oleh hujan dan terik panas tantangan dunia ini bila suami isteri tidak sepakat, sehati dan intim. Oleh karena itu, dengan mengevaluasi secara terus menerus dan memastikan hubungan antara suami isteri telah kokoh, Orangtua dapat mulai mendidik anak dengan penuh integritas dan percaya diri.

Orangtua Pembelajar
Orangtua yang berhenti belajar adalah orangtua yang ‘mandul’, tidak efektif. Orangtua kerap disalahkan atas keabnormalan perilaku anak, tetapi orangtua tidak pernah belajar dari kesalahan, seperti yang ditandaskan Thomas Gordon:
Orangtua disalahkan, tetapi tidak dilatih...(Gordon:1975)

Ya, orangtua perlu dilatih. Orangtua bukanlah pribadi yang maha tahu, maha mampu atau maha segalanya, sehingga ia tidak pernah belajar menjadi orangtua yang berfungsi. Berapa jumlah waktu yang orangtua sediakan untuk belajar ‘menjadi orangtua’ tiap harinya? Hampir tidak ada. Hal ini sangat memprihatinkan.

Pembelajaran dapat dimulai dari diskusi bersama pasangan. Diskusi mengenai pandangan masing-masing dalam mendidik anak sangatlah bernilai. Diskusi ini akan bermuara pada kesatuan dan kesepakatan pandangan dalam mendidik anak. Pandangan akan bertambah kaya dengan berkonsultasi dengan rohaniwan, pakar pendidikan anak atau lainnya.

Setelah kesepakatan dicapai, orangtua perlu membuat cetak biru pendidikan anaknya. Hal ini amat jarang dilakukan orangtua pada umumnya. Cobalah bertanya pada pasangan, teman dekat, tetangga atau saudara yang telah menikah, berapa banyak di antara mereka yang memiliki tujuan, visi dan misi, rencana atas pendidikan anak-anak mereka. Sebagian besar dari mereka membutuhkan waktu lama untuk menjawabnya dan tidak sedikit yang menjawab “Hmm, apa ya?”

Seorang ayah atau suami yang menjabat sebagai manajer di perusahaan tentunya tahu benar bahwa tanpa perencanaan yang matang, analisa potensi yang jeli dan pemahaman yang tajam akan konsumen, perusahaan dapat bangkrut dalam waktu singkat. Untuk pekerjaan atau profesi di perusahaan yang bukan milik sendiri, seorang ayah dapat membuat rencana atas perusahaan itu; tidakkah untuk keluarganya sendiri ia perlu melakukan hal yang sama?

Seberapa banyak waktu dalam setahun yang digunakan orangtua untuk duduk bersama pasangannya berdiskusi dan bahkan berdoa mengenai rencana pendidikan anak mereka di tahun itu. Seberapa banyak waktu dalam sebulan yang digunakan orangtua untuk mengadakan evaluasi atau refleksi dari perkembangan anak-anak mereka. Seberapa banyak waktu dalam seminggu yang orangtua sediakan untuk belajar menjadi orangtua yang lebih baik, yang lebih berfungsi. Seberapa banyak waktu dalam sehari yang orangtua sediakan untuk berada bersama-sama anaknya.

Saya mengusulkan, setidaknya orangtua perlu menyediakan waktu untuk mempelajari ketiga area berikut:
1. Pondasi Menjadi Orang Tua (Parenting Foundation), yang meliputi tujuan pernikahan, tujuan pendidikan anak, ilmu komunikasi dan nilai-nilai berkeluarga
2. Pengelolaan Sumber Daya Keluarga (Resources Management), yang meliputi pengelolaan waktu, pengelolaan keuangan, dan pengelolaan keahlian dan potensi
3. Strategi Perawatan dan Pengembangan Diri Anak (Child Nurturing and Development Strategies), bagian yang satu ini sangatlah luas, namun bagian ini dapat difokuskan kepada dua hal yaitu tentang perawatan tumbuh kembang anak dan pengembangan pola pikir, mental dan karakter anak.

Dengan menguasai ketiga area di atas bukan berarti orangtua telah menjadi orangtua yang sempurna, karena memang tidak ada orangtua yang sempurna. Berikut pernyataan Steve Chalke, seorang praktisi pelatih orangtua:

Namun, sebenarnya keluarga bahagia yang sempurna benar-benar tidak ada… bahkan tidak ada jaminan bahwa keberhasilan pada satu anak di suatu waktu akan berhasil di waktu lain pada anak yang sama atau anak lainnya. Menjadi orangtua lebih seperti berimprovisasi dalam musik, tidak seperti matematika. Ada prinsip-prinsip umum yang sangat penting, tetapi sebagian besar adalah masalah bakat dan gaya individu…
Menjadi orangtua sempurna tidak hanya di luar kemampuan Anda, tetapi di luar kemampuan semua orang. Secara sederhana, untuk menjadi orangtua yang sempurna, Anda haruslah orang sempurna dan tidak seorang pun yang seperti itu di dunia ini. (Chalke:2009)


Dengan memahami bahwa tidak ada orangtua yang sempurna, orangtua di manapun dapat dengan penuh percaya diri terus menerus belajar hanya untuk menjadi orangtua yang lebih baik dari hari sebelumnya. Inilah makna sesungguhnya dari pendidikan dalam keluarga: orangtua yang belajar dan anak yang terdidik dalam keluarga.
Semakin dini orangtua menerima anak apa adanya dan menjadi teladan bagi mereka, semakin banyaklah kesempatan orangtua untuk menemukan, membentuk dan mengembangkan jati diri atau karakter anak. Saat anak harus terjun ke dunia luar, baik itu di sekolah atau di lingkungan sekitar dan saat anak bertumbuh dewasa, ia menjadi anak panah yang siap melesat menuju sasaran yang Tuhan telah tetapkan, karena mereka telah dididik dengan benar oleh pahlawan mereka, orangtua.

Referensi:
• Chalke, Steve. How To Succeed as a Parent: Panduan Praktis Mengasuh Anak dengan Sukses. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2009.
• Drost, SJ. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: Penerbit Grasindo, 1999.
• Drost, SJ. Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orangtua? Jakarta: Penerbit Grasindo, 2000.
• Gordon, Thomas. P.E.T. Parent Effectiveness Training. New York: A Plume Book, 1975.
• Harefa, Andrias. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2000.
• Harefa, Andrias. Pembelajaran di Era Serba Otonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
• Knight, George H. Philosophy Education. Michigan: Andrews University Press, 1998.
• Wolterstoff, Nicholas P. Educating For Life. Michigan: Baker Publishing Group, 2002.
• www.tamansiswa.org
• www.detik.com
• www.ycab.org
• www.google.co.id/trends
• catatan-guru.blogspot.com

Children Literature: A Dream...

>> Monday, February 22, 2010

Sabtu kemarin, saya terpaku di depan layar notebook, tidak tahu lagi apa yang harus saya ketik untuk melanjutkan penyelesaian makalah saya bertemakan ‘Membaca pada anak-anak’. Saya membutuhkan referensi lebih banyak mengenai topik yang saya coba tulis.

Tepat di sebelah kiri saya berdiri satu-satunya rak buku di rumah saya. Saya menoleh dan mencoba memperhatikan satu demi satu buku yang tersusun di rak itu. Pandangan saya tertuju pada buku ‘Membuka Masa Depan Anak-anak Kita’, sebuah kumpulan essay mengenai pendidikan terbitan Kanisius. Saya telah lama memiliki buku itu. Kira-kira sepuluh tahun lalu saya membelinya dan membacanya hingga habis dalam waktu yang cukup singkat. Isinya sangat berbobot, karena para penulis adalah pakar pada bidangnya masing-masing. Saya tidak pernah membacanya lagi sejak saat itu.

Saya mulai melihat-lihat lagi daftar isi buku itu. Mata saya langsung tertuju pada judul esai Murti Bunanta berjudul ‘Perjuangan untuk Bacaan Anak yang Layak’. Beliau adalah seorang doktor yang berkonsentrasi pada isu sastra anak. Saya mulai membuka halaman yang terkait. Entah mengapa tulisan ibu Murti yang sepuluh tahun lalu saya baca, saat itu seperti membelah isi kepala saya dan membanjiri dengan jawaban segala pertanyaan yang ada di benak saya selama ini. Bahkan tidak berhenti sampai di sana, hati saya merasa antara terkoyak, tersulut dan ingin meledak saat membaca tiap baris tulisannya.

Apa yang ibu Murti tuliskan sepuluh tahun lalu, itulah yang saya rasakan saat ini. Saya sangat bisa memahami kerisauan sang penulis mengenai kondisi bahan bacaan atau ia menyebutnya sastra anak di Indonesia. Bukan hanya sastra anak secara sempit berupa buku bacaan anak, tetapi secara menyeluruh, mulai dari penulis naskah anak, proses produksi  hingga kritikus sastra anak.

Perhatikan beberapa petikan dari tulisannya ini yang menunjukkan kerisauannya:
-    Gerakan meningkatkan dan memelihara kebiasaan dan minat membaca masyarakat belum dikonsep dengan baik oleh pemerintah yang terdahulu maupun pemerintah yang sekarang yang sedang mengatur negara ini. Kalau tumbuh minat membaca pada bangsa Indonesia, itu karena dia tumbuh sendiri melalui pengalaman dan kesadaran pribadi.
-    Saya tidak sepaham dengan pendapat yang menyatakn bahwa seorang pengarang cerita anak harus mempertimbangkan tingkat intelektualitas dan daya imajinasi anak-anak sebagai pembacanya.
-    …tema-tema (sastra anak) yang ditulis masih diutamakan untuk kepentingan ‘mendidik’ saja (dalam arti sempit), kepentingan financial, dan kepentingan ideologis.
-    …perpustakaan sekolah, apalagi perpustakaan umum, bukanlah akses bagi anak untuk mendapatkan dan membaca cerita. Paling banyak adalah yang membeli buku sendiri, termasuk pula bagi mereka yang jarang-jarang dibelikan buku.
-    Penelitian saya menunujukkan bahwa waktu luang atau libur kebanyakan digunakan untuk pergi ke mal dari pada ke toko buku atau ke perpustakaan. Orang tua belum menjadi idola sebagai pembaca buku sastra. Ibu membaca buku masak dan majalah, sedangkan ayah membaca koran.
-    Jadi, tidaklah heran kalau sejak 2 April 1966 sampai dengan 13 Februari 2000, saya dapat mengumpulkan 40 artikel tentang komik, tetapi tidak satu pun artikel mengenai ilustrasi (untuk sastra anak).


Mengapa saya tertarik untuk menulis makalah tentang membaca pada anak-anak, karena saya bekerja dalam lingkungan yang justru kaya akan karya sastra anak, tetapi semuanya adalah produk impor. Setelah kurang lebih 5 tahun saya bergulat dengan sastra anak, saya menyadari bahwa masyarakat Indonesia telah tertinggal jauh dalam hal minat dan kebiasaan membaca. Saya memiliki impian yang boleh dikatakan kebetulan hampir sama dengan apa yang tertulis dalam esai ibu Murti:
“Saya berandai-andai. Setiap hari, di semua saluran televise dan radio di Indonesia ada cerita-cerita yang dibacakan dan dibahas. Cerita yang dipentaskan oleh teater anak dan sinetron diambil dari buku sastra anak. Penghargaan untuk penulisan dan penelitian sastra anak diselenggarakan oleh banyak lembaga yang bergengsi untk menghargai pengarang. Media masa banyak yang membuat resensi buku yang kritis. Universitas pendidikan menyelenggarakan kuliah sastra anak untuk calon guru yang diberikan oleh pengajar yang berkualitas. Ada jurnal ilmiah dan seminar akademis yang cukup. Ada lomba untuk meningkatkan gairah membaca anak didik. Ada pelatihan untuk para pengarang. Ada cukup dana untuk membeli buku-buku lokal yang bermutu dan menerjemahkan buku asing berkualitas yang dipilih oleh tim ahli di bidang sastra anak untuk mengimbangi buku-buku yang ada di pasaran yang kurang layak dikonsumsi.”

Saya sampai berdoa, dari mana saya bisa memulai? Sekali lagi, sang penulis memberikan jawaban: dari mana saja. Yang penting, memulainya.

THE FIRST EDUCATOR_PART TWO

>> Sunday, February 21, 2010

Ini adalah bagian kedua tulisan saya dengan judul Pendidik Utama.

__________

Batu Penjuru Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan yang dijalankan oleh orangtua haruslah bersumber dari pengertian yang benar. Pendidikan yang educere atau membawa keluar adalah pendidikan yang menerima anak apa adanya dan yang memberi teladan. Pengingkaran akan dua hal ini akan berdampak buruk pada diri anak saat dewasa.

Pater Drost menyatakan bahwa kebanyakan orangtua tidak menerima anak apa adanya. Anak telah dipaksakan untuk seperti yang orangtua mau. Harus begini dan begitu, dileskan ini dan itu. Orangtua terlambat menyadari bahwa anak harus diterima apa adanya.

Masalah-masalah dalam pendidikan anak dimulai dengan kenyataan bahwa orang tua pada umumnya tidak menerima kenyataan dari anaknya sendiri… jadi orang tua itu tidak menerima anak mereka sebagaimana adanya. Anak dipaksa menjadi manusia rekaan orang tua. (Drost:1999)

Tuhan telah menjadikan pribadi anak yang demikian adanya, karena itu anak harus diterima apa adanya oleh orangtua. Anak adalah pemberian Tuhan. Setelah anak diterima apa adanya, barulah dimulai proses pendidikan. Orangtua harus memfasilitasi dan mendidik anak bukan seperti yang ia mau, tetapi seperti yang Tuhan mau. Tentang bagaimana mengetahui apa yang Tuhan mau bagi anak, perlu disampaikan dalam tulisan tersendiri atau dengan merujuk pada buku-buku yang sesuai.

Hal yang kedua adalah menjadi teladan. Orangtua yang menabur teladan yang baik pada anak-anaknya akan menuai anak-anak yang berbahagia. Orangtua yang membuang sampah pada tempatnya, tanpa harus berbicara, memberi pesan kepada anaknya: “Nak, beginilah kamu harus menjaga kebersihan.” Orang tua yang mengaku merusak barang pecah belah di toko swalayan memberi pesan kepada anaknya: “Nak, kejujuran itu penting.” Orangtua yang meminta maaf pada orang yang dirugikan olehnya, memberi pesan kepada anaknya: “Hormatilah hak orang lain dan peliharalah hubungan baik.” Tanpa perlu kata-kata, anak merekam semua itu dalam memorinya dan ia akan meniru apa yang telah mengesankan hatinya dari teladan yang dilihatnya setiap hari.

Kebalikannya, bila anak melihat orangtua yang senantiasa saling bertengkar satu sama lain, maka anak mendapat pesan: “Perasaanmu tidak sepenting rasa berharga kami.” Bila orangtua menggosipi tetangganya dan bermuka manis di depan mereka, mengirimkan pesan pada anak: “Nak, menjadi munafik adalah hal yang biasa.” Orangtua yang terlalu sibuk mencari uang dan tidak memiliki waktu berkualitas bersama anak, mengirim pesan pada anaknya: “Uang lebih penting dari kamu, kehadiran saya dapat diganti oleh uang.” Rekaman video kehidupan ini tersimpan baik dalam pikiran anak-anak, di mana suatu saat nanti ia akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih buruk dari yang ia alami.

Menjadi teladan adalah yang tersulit. Bila anak berbuat kesalahan atau kegagalan, marilah dengan besar hati, orang tua mengaku: “Ini terjadi karena saya tidak menjadi teladan yang terbaik.” Bila anak cenderung nakal, bersikap tidak sopan, berkarakter buruk, malas, atau lainnya: “Ini terjadi karena saya tidak tekun memberi contoh dengan tekun.” Orangtua adalah teladan pertama dan yang paling berpengaruh. Oleh karena itu, orang tua perlu berusaha keras menjadi teladan terbaik bagi anaknya, bahkan hingga orangtua dapat menjadi cerminan pribadi Tuhan bagi anak-anaknya.

Jika orangtua gagal menerima anak apa adanya dan gagal menjadi teladan yang terbaik bagi anaknya, orangtua sedang menambahkan jumlah kerusakan generasi penerus bangsa. Telah banyak korban berjatuhan akibat orangtua yang secara sengaja ataupun tidak menjadi perusak diri dan masa depan anak. Perhatikan data berikut ini:

1. Kidia mencatat bahwa pada tahun 2004, hanya terdapat 15% acara yang aman untuk anak-anak. Padahal anak-anak menghabiskan waktu 30-35 jam minggu atau 4-5 jam per hari untuk menonton TV.
2. Lyto, sebuah penerbit game online di Indonesia menyatakan bahwa penggunanya telah melebihi angka enam juta orang pada tahun 2009. Dari keterangan siswa-siswa saya, seorang anak dapat menghabiskan waktu rata-rata 3 jam untuk bermain dengan mengeluarkan uang Rp 4000 per jamnya.
3. Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), sebuah LSM yang bergerak dalam bidang pencegahan penggunaan narkoba, melakukan penelitian pada tahun 2007 di enam kota di Indonesia. Usia rata-rata pengguna narkoba ternyata adalah 14 tahun! Dan alasan terbesar mengapa mereka mengunakannya hanya karena untuk coba-coba (72%), sisanya karena frustrasi dalam masalah keluarga dan hubungan.
4. Google, sebuah mesin pencari tersohor di dunia maya menyatakan data yang mencengangkan pada tahun 2009. Indonesia adalah Negara peringkat keempat terbesar di dunia pencari konten seksual atau pornografi. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa terbanyak yang digunakan dalam pencarian situs-situs porno.
5. Komnas Perlindungan Anak menyatakan hasil yang mengejutkan dalam penelitiannya tentang seks bebas di 33 provinsi pada tahun 2008. Sebanyak 63% remaja wanita SMP sudah tidak perawan, bahkan sebanyak 21% telah mengaku melakukan aborsi. Bahkan WHO menyatakan telah terjadi setidaknya dua juta kasus aborsi per tahun di Indonesia!
Serangan-serangan televisi, permainan elektronik, narkoba, pornografi dan seks bebas akan mudah mempengaruhi dan merasuki anak-anak, bila orangtua tidak menyadari dan mengambil komitmen untuk menerima anak mereka apa adanya dan menjadi teladan bagi mereka. Generasi muda yang hancur selalu dengan mudah diketahui akar persoalannya, yaitu orangtua tidak menerima anak apa adanya dan tidak menjadi teladan terbaik bagi anaknya.

Di dalam proses pendidikan, orangtua dapat berperan sebagai pelatih dan pengajar anaknya. Di sinilah pengajaran dan pelatihan mendapat bentuk sebagai bagian integral dari pendidikan. Di irisan ini pulalah, orangtua berinteraksi dengan guru. Mengingat keterbatasan orangtua dalam mengajar dan melatih anaknya, guru dapat menjadi mitra orangtua dalam ‘mendidik’ anak, yaitu dalam memfasilitasi aplikasi dan refleksi proses pendidikan orangtuanya dan dalam mengajar dan melatih anak-anak dalam pengetahuan dan keterampilan.

Setelah membuat komitmen untuk menerima anak apa adanya dan menjadi teladan bagi mereka, inilah saatnya orangtua untuk mulai berfungsi dalam mendidik anak. Saya memperhatikan beberapa orangtua saat di pusat perbelanjaan. Mereka menemani anaknya bermain di arena bermain, makan bersama di restoran capat saji atau sekedar berkeliling sambil menuntun anak mereka. Apakah hal ini telah menunjukkan perhatian orangtua pada pendidikan anak? Saya pikir mungkin juga demikian, tetapi pendidikan anak yang sebenarnya tidak hanya melulu berada di dekat anak.

Berada di dekat anak adalah hal yang baik dan penting. Namun, apa yang orangtua katakan, lakukan dan teladankan saat bersama anak, itu jauh lebih penting.

Awaken The Nasionalism

>> Wednesday, February 17, 2010

Pagi tadi saya mendapatkan kehormatan sebagai inspektur upacara pada upacara bendera bulanan di sekolah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya menjadi seorang inspektur upacara.Sungguh suatu pengalaman menarik.

Dulu, saat upacara berlangsung saya berdiri di barisan peserta upacara. Dengan hikmat saya mengikuti jalannya upacara. selain karena takut dihukum guru bila tidak tertib, saya mengikuti upacara juga karena suatu kesadaran yang penuh bahwa saya adalah seorang warga negara Indonesia yang memiliki nasionalisme. Saya juga melihat rekan-rekan saya menunjukkan kesadaran dan semangat yang sama saat mengikuti upacara bendera.

Namun, saya cukup prihatin dengan generasi saat ini. Apakah mereka memiliki rasa nasionalisme yang sama dengan para pendahulu mereka? Deddy Mizwar, dalam perannya sebagai Nagabonar dalam Nagabonar jadi 2, telah menunjukkan cermin kepada kita. Nasionalisme para generasi penerus kemerdekaan sangat berbeda jauh dengan para pejuang kemerdekaan.

Keprihatinan bertambah dengan para pemimpin di bangsa ini yang tidak memberikan contoh sebagai pemimpin dan bapak-bapak bangsa. Mereka sibuk dengan istilah-istilah kursi, posisi, jabatan, uang dan kekayaan dari pada rakyat, pengorbanan, peduli atau pemberdayaan. Berbagai contoh praktek korupsi, politik kotor atau sekedar ketiadaan kesantunan dalam berbicara di depan umum telah menjadi contoh yang buruk bagi generasi penerus. Bangsa ini memang telah merdeka dari penjajahan asing, tetapi sekarang tengah digerogoti oleh bangsanya sendiri oleh karena keegoisan mereka.

Sejak ditiadakannya pelajaran Pendidikan Pancasila dan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan, ada perubahan atmosfir nasionalisme, terlebih sejak era reformasi. entah mengapa era reformasi malah cenderung menadirkan cita rasa nasionalime dalam pendidikan di sekolah. Terlebih lagi pada sekolah-sekolah swasta dan nasional plus, wawasan kebangsaan telah bergeser kepada wawasan sebagai warga negara global, yang malah cenderung kebarat-baratan.

Pemerintah dan masyarakat perlu mengambil sikap dan tindakan untuk mengembalikan pendidikan kewarganegaraan yang memiliki cita rasa nasionalisme yang kental. Ini adalah tugas berat para pendidik. Siapa yang mau turun tangan?

Meet The Reading Bug-gers...

>> Monday, February 15, 2010

Sambil menyeruput jus alpukat, saya duduk menunggu tamu terhormat. Agak sedikit gugup, karena tidak bisa membayangkan perbincangan seperti apa yang akan terjadi setelah saya bertemu mereka. Tidak lama, sebuah pesan singkat masuk dan menyatakan bahwa mereka telah tiba di lokasi. Saya pun semakin tidak sabar.

Perbincangan selama dua jam terasa kurang. Sebenarnya masih banyak yang dapat dibicarakan, tapi waktu memang terbatas. Saya sangat terkesan dengan tim dari Reading Bug yang memulai karyanya di bangsa ini sejak 2008 lalu. Hampir semuanya adalah ibu yang telah memiliki anak. dalam kesibukan dalam ruamah tangga dan karirnya, mereka masih menyempatkan diri untuk berbagi pada anak-anak bangsa ini. Saya telah bertemu dengan orang-orang hebat di negeri ini yang serius untuk berpikir mengenai peningkatan SDM Indonesia. Ini adalah sebuah kehormatan bagi saya.

Pertemuan sabtu lalu mencatatkan beberapa hal penting:
1. Membaca mudah ditularkan kepada anak-anak, khususnya usia di bawah 12 tahun.
2. Membacakan buku sulit ditularkan pada orangtua dan guru.
3. Orangtua cenderung berkata tidak ada waktu saat diminta untuk membacakan buku pada anak. Hal ini sebenarnya adalah bentuk halus dari keegoisan orangtua.
4. Tidak ada buku yang terlalu 'berat' bagi anak untuk dibacakan, yang ada hanyalah guru atau orangtua yang terlalu 'berat' untuk mencoba membacakan.
5. Membacakan buku pada anak adalah hal yang penting dan bernilai yang dapat orang tua lakukan untuk perkembangan anak baik dari sisi pengetahun, sosial maupun kepribadian anak.
6. Untuk 'menyelamatkan' anak Indonesia dari kekurangan pembaca, perlu dibentuk lembaga-lembaga dan komunitas-komunitas sebagai katalisator atau pemicu kebiasaan membaca.
7. Kepala Sekolah berperan penting dalam meningkatkan kebiasaan membaca para siswanya.
8. Jumlah buku karangan penulis Indonesia yang bermutu masih berjumlah sedikit, ini mengakibatkan buku impor masih menjadi pilihan utama.
9. Read Aloud (membaca lantang) adalah salah satu cara yang paling efektif untuk membentuk independent reader (pembaca mandiri).
10. Pekerjaan Rumah yang harus dilakukan orang atau kelompok yang memahami pentingnya membaca ini masih besar dan perlu bersinergi untuk membuat strategi yang lebih efektif.

THE FIRST EDUCATOR_PART ONE

>> Sunday, February 14, 2010

Ini adalah essay saya tentang Pendidikan Keluarga yang saya kirim ke Lomba penulisan tentang pendidikan di SDH Daan Mogot, Jakarta. Silahkan menikmati bagian pertama tulisan ini...
__________

Pendidik utama ialah orangtua dan mereka mendidik anak muda lewat proses yang dinamakan pendidikan dan semua pendidikan adalah proses informal, tidak ada pendidikan formal. (Drost:2000)

Sebagian besar masyarakat masih mengasosiasikan pendidikan dengan sekolah atau guru. Hal ini tidaklah salah, tetapi mengapa pendidikan tidak lebih dulu diasosiasikan dengan keluarga? Pendidikan atau education dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin educere, yang secara bebas bermakna membawa keluar. Pendidikan dapat berarti membawa keluar jati diri atau karakter yang Tuhan telah tetapkan secara istimewa pada diri anak. Pengertian ini menjadi kontras dengan apa yang sekolah dan khususnya guru lakukan di dalam kelas. Guru cenderung melakukan yang sebaliknya dengan apa yang disebut educere atau membawa keluar. Di ruang-ruang kelas, tugas utama guru adalah ‘membawa masuk’ ilmu pengetahuan dan keterampilan ke dalam diri anak.

Belajar dari Sejarah
Sepanjang sejarah, sekolah tidak pernah diperuntukkan terutama sebagai lembaga pendidikan. Sekolah adalah lembaga pengajaran dan pelatihan terbaik yang pernah ada. Perhatikanlah sekelumit sejarah sekolah berikut.

Plato, yang disebut sebagai pendiri sekolah pertama dengan Akademos-nya, menempatkan matematika, humanity (kemanusiaan) dan kesusasteraan sebagai pusat kurikulumnya (Knight: 1998). Sedangkan muridnya, Aristoteles, yang mendirikan sekolah Lyceum, menempatkan lebih banyak bidang ilmu dalam kurikulumnya, khususnya bidang sains dan matematika (Knight: 1998). Di Timur, Konfusius menempatkan kebijaksanaan dan aturan ketatalaksanaan sebagai pusat kurikulumnya (Sathern: 1997). Sekolah formal menemukan bentuk seperti yang sekarang ini dimulai kira-kira sejak abad ke 13 di Eropa oleh kaum skolastik (Harefa: 2001). Sekolah mulai memiliki standar kelas, kurikulum, pengajar dan fasilitas.

Di Indonesia sendiri, khususnya di Jawa, Padepokan, Pawiyatan dan Paguron telah dikenal sebagai tempat belajar para siswa pada waktu itu. Adapun kurikulum inti yang diajarkan lebih banyak kepada keterampilan dalam tugas hidup sehari-hari, seperti mencuci piring, menghidangkan makanan dan melayani guru bagi siswi dan keterampilan yang lebih sentral dalam kehidupan waktu itu bagi para siswa, mulai dari mencari kayu bakar, asisten guru, hingga bertapa/semedi. Selain itu materi pelajaran dalam pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan dan bersifat umum meliputi antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan, kanuragan, kaprajuritan, pertanian, titi mongso, pananggalan, adat istiadat, tata krama dan perbintangan (Dwiarso: 2008).

Sekarang, sekolah formal Indonesia menerjemahkan kurikulumnya ke dalam sejumlah mata pelajaran. Sekolah Dasar setidaknya memiliki 5 mata pelajaran, SMP 10 mata pelajaran dan SMA 14 mata pelajaran. Dari sekian banyak mata pelaajran itu, saya bisa kelompokan menjadi lima bidang pelajaran: bahasa, ilmu eksakta (sains), ilmu sosial, Agama & Kewarganegaraan, dan Seni & Teknologi. Semua mata pelajaran di sekolah adalah bidang ilmu dan keterampilan yang hanya menyentuh ranah kognitif dan psikomotorik.

Dari riwayat sekolah ini, kita dapat melihat bahwa sekolah selalu membimbing siswanya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan tertentu. Sekolah selalu dimaksudkan sebagai lembaga pengajaran dan pelatihan untuk memperlengkapi siswanya agar dapat bereksistensi secara sosial dan menjadi profesional dalam dunia usaha, karir dan kerja mereka nanti.

Pendidikan, Terjadi dalam Sekolah atau Keluarga?
Adapun sekolah terus menerus berusaha untuk masuk dalam ranah afektif ditengarai karena keprihatinan atas mutu siswa dan lulusan yang kurang bermoral dan berakhlak mulia. Pelaksanaan berbagai program dan pelajaran karakter atau budi pekerti oleh sekolah sebenarnya kurang tepat dan sudah terbukti kurang efektif. Anak yang taat, disiplin dan sopan hampir tidak pernah datang dari pengajaran di ruang kelas. Demikian juga dengan inisiatif, kerendahan hati atau keberanian.

Guru dan lingkungan sekolah dapat menjadi sumber inspirasi pembentukan karakter anak. Namun, seberapa banyak guru yang memiliki kemampuan untuk mendidik anak dengan baik di saat ia harus mengajar? Guru cenderung telah dipenjara oleh kurikulum dan rutinitasnya dalam sekolah.

Karakter atau budi pekerti tidak dapat dipelajari secara formal seperti mata pelajaran sekolah pada umumnya. Karakter atau budi pekerti hanya diperoleh melalui jalur pendidikan, dan bukan pengajaran. Dengan kata lain, anak akan beroleh pendidikan di dalam keluarga. Sedangkan di sekolah, anak-anak lebih banyak mempraktekkan dan merefleksikan hasil didikan orangtua mereka itu.

Seperti yang dikatakan oleh Pater Drost, sekolah sebenarnya tidak bisa menjadi lembaga pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan tidak pernah menempuh proses yang formal di ruang-ruang kelas dengan mata pelajaran tertentu dan dengan bentuk ujian tertentu. Pendidikan selalu mengambil tempat yang Andrias Harefa menamainya sebagai Universitas atau Sekolah Besar Kehidupan (Harefa:2000).

Sekolah dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan hanya karena ia bermitra dengan orangtua. Orangtua memberikan pada guru dan sekolah sebagian dari tanggung jawabnya sementara anak berada di sekolah. Bahkan kalimat ini pun kurang tepat, karena orangtua selalu menjadi pendidik anak kapan dan di mana pun. Sekolah tidak pernah menjadi penanggung jawab utama pendidikan anak. Orangtualah penanggung jawab utamanya.

Nicholas P. Wolterstoff, professor filsafat dari Calvin College menyatakan:

Guru-guru memang mempunyai hak terkait pendidikan anak – menurut saya terutama hak untuk menerapkan kompetensi profesional mereka dalam mengajar. Tetapi guru tidak mempunyai hak apapun untuk menentukan ciri-ciri pendidikan anak. Orangtualah yang mempunyai hak dan tanggung jawab itu. (Wolterstoff:2007)

Pernyataan Wolterstoff ini adalah penegasan, bahwa orangtualah kepala dari lembaga pendidikan anak dan keluarga adalah lembaga utama pendidikan anak, bukan sekolah. Oleh karena itu, perlu usaha besar untuk mengembalikan asosiasi dan peran pendidikan kepada keluarga dan orangtua di dalam masyarakat.

Kini, kita dapat sepakat bahwa pendidikan adalah hak dan tanggungjawab orangtua. Pendidikan dimaksudkan untuk menemukan, membentuk dan mengembangkan jati diri atau karakter anak.

Start With Pigs!

>> Monday, February 8, 2010

Saya pikir acara bakal batal. Ini gara-gara hujan! Sampai pk.16.00, waktu yang telah ditentukan untuk kumpul, belum ada satu orang anak pun yang datang. Saya mulai pesimis. Sambil membaca majalah pendidikan dan ngemil buah manggis, saya mencoba bersabar, siapa tahu sebentar lagi ada yang datang. Lima belas menit sudah berlalu, saya beranjak dari kursi saya dan menuju kamar. Isteri dan anak saya masih tertidur lelap. Tiba-tiba, saya mendengar suara kendaraan sedang parkir di depan rumah! Saya segera membangunkan isteri saya, :Bangun mam, mama Gendis datang!" Segera isteri saya bangun dan mencoba membangunkan anak saya. Saya sendiri seperti orang bingung, keluar masuk kamar. Gugup...

Saya dan isteri telah merencanakan hal ini dari bulan lalu. Kami ingin membuka rumah kami bagi anak-anak tetangga untuk datang dan dibacakan buku. Ya, kami membuat sebuah klum membaca balita. Anak-anak yang kami undang masih berusia kira-kira tiga tahun, seumur dengan anak kami. Saya membagikan keinginan saya untuk menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca pada anak-anak. Saya memahami bahwa orangtua di bangsa ini dan termasuk di lingkungan tempat saya tinggal mungkin sedang 'sibuk' dengan urusannya, sehingga mereka belum memiliki waktu untuk membacakan buku pada anak-anaknya. Padahal kegiatan yang satu ini sangatlah penting bagi tumbuh kembang anak dan merupakan investasi terbaik bagi orang tua pada anaknya, agar anaknya dapat memiliki kepribadian yang kuat, pengetahuan yang luas dan pikiran yang kreatif. Oleh karenanya saya mencoba membantu.

Ibu Kristin dan suaminya memang sangat perhatian pada anak-anak mereka, jadi tidak kebetulan kalau mereka datang lebih awal. Ia tidak hanya membawa anaknya Gendis, tetapi juga kakaknya, Dio untuk bergabung. Saya sangat senang. Dlam keadaan yang masih linglung, karena baru bangun tidur, saya meminta isteri saya untuk berkeliling, memanggil anak-anak lainnya. Setelah perjuangan menembus hujan rintik, berkumpullah lima orang anak usia tiga tahun (termasuk anak saya) dan satu anak usia enam tahun untuk mengikuti kegiatan membaca. Hadir juga di sana oma regi, 'oma' semua anak di lingkungan kami dan ibu Kristin beserta suami.

Dalam ruang tamu kami yang sebenarnya tidak terlalu nyaman, saya berusaha menarik perhatian mereka pada buku. Kali pertama ini saya menyiapkan buku bergambar (picture book) berjudul The Three Little Pigs. Saya juga telah menyiapkan sehelai rumput (straw) dan batu bata (brick). Awalnya saya melihat kebingungan di mata anak-anak itu. Mungkin mereka berpikir, mengapa tiba-tiba mereka diantar menerobos hujan ke rumah yang kecil ini.

Saya memulai dengan menunjukkan rumput yang saya bawa dan mulai menanyakan beberapa hal tentang rumput, kayu, bata, babi dan hal-hal lainnya. Kemudian saya mulai mengambil buku menunjukkan gambar sampulnya, bertanya dan bercerita sedikit tentang gambar pada sampul buku itu. Tak lama, saya mulai membacakan (Reading Aloud) kisah di buku itu. Anak-anak yang tadinya duduk diam di karpet, di akhir cerita mereka sudah berdiri dengan hidung hampir menyentuh buku yang saya pegang. Mereka bertepuk tangan, gembira menyaksikan sang srigala direbus oleh ketiga ekor babi.

Saya pun gembira, pertemuan 30 menit itu telah menjadi awal yang baru bagi saya. Saya sangat berharap ini dapat menjadi efek bola salju yang dapat membawa dampak bagi masa depan anak-anak ini dan lingkungan sekitar.

Saya tidak sabar untuk bertemu mereka hari Sabtu ini. Hmmm, buku apa kira-kira yang saya akan bacakan ya? Apakah anak-anak yang datang akan bertambah? Apakah mreka semakin antusias? We'll see about that...

C665HZTTGS9Y

Are You A Reader?

>> Tuesday, February 2, 2010

Sejak ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg, materi cetakan telah berkembang pesat saat ini. materi cetakan berupa buku, majalah, koran dan lainnya telah menjadi barang-barang yang mudah ditemui dimana-mana, namun seberapa besar pemanfaatannya?

Fakta menyatakan bahwa membaca adalah jantung dari seluruh pembelajaran dalam kehidupan. Hampir tidak ada pengetahuan diperoleh tanpa kegiatan yang satu ini. tanpa membaca seseorang tidak akan memperoleh pengetahuan, tanpa pengetahuan ia tidak banyak memiliki pilihan, tanpa pilihan-pilihan, ia tidak dapat membuat keputusan yang bijak. Untuk manfaat yang besar ini, seberapa banyak waktu dan dana yang telah seseorang investasikan untuk membaca?

akses menuju buku adalah salah satu kendala, khususnya di Indonesia. Walau bangsa ini tercatat 90% lebih telah melek huruf, namun sebagian besar mengalami kendala dalam melek buku.

Apakah Anda seorang pembaca?

Reading Read Aloud Handbook

>> Monday, January 25, 2010

Inspirasional!

Sebuah kata yang bisa saya rangkum dari buku international best-seller: Read-Aloud Handbook yang ditulis oleh Jim Trelease. Buku yang sedang saya baca ini memberikan pencerahan kepada masyarakat, khususnya orangtua dan guru mengenai betapa pentingnya menularkan minat baca dan memulai kegitan membaca pada anak sedini mungkin. Saya pikir buku ini wajib dibaca oleh pada pendidik di bangsa ini, mulai dari para politisi hingga para orangtua dan guru di pelosok tanah air.

Saya teringat dengan tulisan saya tahun lalu: Dad, read me Cinderella dan National Reading Movement. Buku ini seakan menyulutkan bara yang mulai padam dalam diri saya untuk melakukan sesuatu pada anak-anak di negeri ini: membacakan mereka buku!

beberapa kutipan favorit saya dalam buku ini adalah sebagai berikut:

"...membaca adalah jantungnya pendidikan. Membaca adalah hal yang terpenting. Pengetahuan dari hampir semua mata pelajaran di sekolah mengalir dari membaca. Orang harus mampu membaca soal cerita dalam pelajaran matematika untuk bica memahaminya. Kalau Anda tidak bisa memahami bab tentang ilmu alam atau ilmu sosial, Anda tidak dapat menjawab pertanyaan di akhir bab itu. Manual komputer harus dibaca, bukan hanya dipandangi."

"Semakin banyak Anda membaca, semakin bagus Anda dalam hal ini; semakin baik Anda membaca, semakin Anda suka membaca; dan semakin Anda suka membaca semakin sering Anda melakukan ini."

"Semakin banyak yang Anda baca, semkin banyak yang Anda tahu; semakin banyak yang Anda tahu, semakin cerdas Anda jadinya."

"...anak-anak dari tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah lebih mungkin mulasi bersekolah dengan kosakata yang lebih sedikit (tertinggal 12 sampai 14 bulan) dan mereka jarang mampu mengejar ketinggalan ini ketika mereka tumbuh dewasa."

"Bukannya banyak mainan yang ada di rumahlah yang membuat perbedaan dalam kehidupan anak-anak ini, melainkan perbendaharaan kata-kata. Hal yang paling murah yang bisa kita berikan kepada seorang anak selain pelukan ternyata menjadi hal yang paling berharga: kata-kata."


Masih banyak fakta, data statistik, bukti sejarah dan hasil penelitian yang diungkapkan di buku ini. semuanya merujuk pada satu hal, yaitu membaca buuk dan membacakan buku pada anak adalah hal yang penting yang bisa dilakukan seseorang dalam meyokong kesuksesan hidupnya.

Ayo membaca dan membacakan buku!

Happy New Year, UN Is Still A Big Issue

>> Friday, January 8, 2010

Selamat tahun baru! terima kasih atas kesediaan par apembaca untuk tetap mengunjungi blog ini walau postingannya tidak seagresif dulu. Mohon maklum akhir semester, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. mari kita mulai lagi dengan semangat yang baru dalam mengamati, mengkritisi, membangun dan menginspirasi dunia pendidikan indonesia...

UN
Akhirnya UN tetap berlangsung, walau bukan sebagai penentu kelulusan-begitu kata pak menteri. Aturan mencampur siswa peserta UN pun dibatalkan, karena mustahil dilakukan, khususnya di pedesaan. Debat publik di media masa pun surut, walau masih menyisakan ganjalan mengenai 'proyek' pemerintah ini. Bahkan presiden menegaskan kembali pernyataan pak menteri pada rapat terbatas kemarin. lebih jauh lagi, pak presiden meminta pak menteri untuk meninjau ulang pelaksanaan evaluasi dibuat seperti format Ebtanas...

Mungkin ini adalah salah satu bukti ketidakjelasan visi pendidikan Indonesia. kebijakan-kebijakan mengenai pendidikan di negeri ini diambil secara pragmatis, bukan idealis. Sudah saatnya pak Nuh meninjau ulang ketercapaian Indonesia selama 65 tahun ini dalam membangun mutu manusia Indonesia. Tambahan kekuatan dengan adanya pak wakil menteri, mudah-mudahan memberi tenaga ekstra untuk menunjukkan hal ini dan tidak kontraproduktif.