WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

Shout, Sweat and Sweet...

>> Wednesday, October 13, 2010

Anak muda itu sedang membacakan buku seri Olivia (seekor babi), anak-anak terlihat antusias mendengarkan walaupun saya pikir mereka agak terganggu dengan proses penterjemahan yang berulang-ulang antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sang pembaca terus membacakan dengan antusias denagn keringat bercucuran dan hiruk pikuk suara orang dewasa yang mengelilingi dan menunggui anak-anak yang sedang mendengarkan cerita itu. Sang penerjemah pun seperti sudah kehabisan suara dan tenaga untuk menterjemahkan cerita dari buku tesebut. Saya pikir ia telah atau nyaris berteriak dalam membacakan buku. Ketika buku selesai dibacakan, ia menyerahkan 'tugas' pada saya. "Gantian pak, capek nih!" katanya. Saya hanya tersenyum, dan menyambut tugas itu dengan senang hati. Dan selama lima belas menit berikutnya saya melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan dengan buku bertajuk Pesawat Terbang. Berteriak dan berkeringat...

Sudah lebih dari tujuh bulan kegiatan membaca ini berjalan dan sepanjang waktu itu begitu banyak kejadian menarik yang terjadi. Saya masih ingat betul ketika satu kali saya membacakan buku hanya kepada dua orang anak balita, teman-temannya kebetulan sedang dibawa oleh orangtuanya plesir. Saya berpikir ini adalah tantangan dan dinamika yang harus dilalui. Mereka berdua pulang dengan gembira setelah mendengarkan cerita. dan saya pun puas. Pada kesempatan yang lain, anak-anak yang lebih besar menonton versi film dari buku yang telah selesai kami baca: The Tale of Desperaux. Mereka sangat gembira. Saya lebih gembira lagi, karena seorang dari mereka bertutur ia lebih menyukai versi bukunya dari pada versi film.

Kejadian diawal tulisan ini terjadi hari minggu lalu, kami kedatangan tamu dari Amerika. Mereka mampir di lingkungan kami untuk melakukan kerja sosial. Dan teman saya mendaftarkan kegiatan membaca yang biasanya kami lakukan dalam jadwal kegiatan mereka. Setelah selesai kegiatan membaca hari itu, mereka membagi-bagikan buku cerita secara gratis. Anak-anak tentu saja langsung kalap mengambil buku pilihannya.

Satu hal yang paling berkesan dari semua kegiatan membaca ini adalah keterlibatan para orangtua. Tidak sedikit mereka yang menyumbangkan makanan kecil untuk dinikmati setelah selesai membaca. Bahkan baru-baru ini seorang tetangga saya, yang anaknya aktif menjadi anggota di Bee Readers Club membuatkan sebuah papan nama, lengkap dengan jadwal kegiatan dan tempatnya. Sangat manis dan menyentuh. Saya sangat terkejut dan tidak menyangka. Hal-hal seperti ini menjadi sebuah bensin untuk saya secara pribadi meneruskan apa yang saya percaya: mencetak pemimpin adalah menabur kecintaan pada membaca pada anak-anak...

May I Copy Your Thesis?: The Lack of Students' Research Culture

>> Friday, October 1, 2010

Beberapa bulan lau seorang teman mendatangi saya dan bertanya apakah saya maih menyimpan skripsi saya. Saya menjawab masih ada dan bertanya padanya untuk keperluan apa dia menanyakan hal ini. Ia menjawab dengan enteng untuk dipakainya sebagai skripsinya. Saat itu saya kaget luarbiasa, dengan halus mencoba menolak permintaanya dengan menanyakan apa kesuliatannya membuat skripsi. Lalu ia menggambarkan kesulitannya dan saya mencoba memberikan beberapa masukan dan bahkan menawarkan diri saya untuk membantunya membimbing tugas akhirnya itu.

Saya kembali mencoba mengingat pengalaman saya dulu, saat saya masih di bangku kuliah di semester akhir. Saya mengalami kecemasan yang mungkin tidak jauh berbeda dengan teman saya ini. Skripsi adalah barang baru bagi saya. Hal ini adalah seperti menjelajah ke dunia antah berantah yang mencekam. Di tambah lagi dengan kemampuan matematika saya yang kurang baik, saya berpikir mengolah data hasil penelitian adalah hal yang mustahil. Untunglah saya seorang yang gemar membaca dan memiliki dosen statistik yang baik hati, sehingga saya lulus sidang skripsi dengan lancar.

Itu adalah pengalaman lebih dari 10 tahun lalu, kini saya memiliki sudut pandang yang berbeda tentang mengerjakan skripsi. Bahkan saya memili keberanian untuk membimbing pembuatan skripsi teman saya tadi. Mengapa hal ini terjadi pada saya? Yang pasti keberanian itu muncul karena banyak faktor, salah satunya adalah karena saya telah belajar dan berlatih untuk membuat penelitian. Dalam profesi saya sebagai guru dikenal sebagai Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Jujur, di Indonesia budaya penelitian di bangku sekolah belum terasa. Jangankan di daerah, di jakarta saja budaya penelitian di sekolah-sekolah favorit belum tentu meresap pada diri setiap siswa. Sekolah masih cenderung mebudidayakan hafalan, pengulangan atau baling baik pemahaman. Penelitian membutuhkan tingkat kemampuan kognitif yang lebih tinggi. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom, mengadakan sebuah penelitian membutuhkan kemampuan kognitif yang tertinggi: Mencipta (Creating/C6). Sejak sekolah dasar siswa di sekolah-sekolah Indonesia tidak dibiasakan untuk terlibat dalam penelitian, hal ini mengakibatkan banyaknya 'korban' dalam penelitian di tingkat pendidikan tinggi. Para mahasiswa tidak siap, bahkan menganggapnya menjadi suatu kengerian, saat menghadapi skripsi.

Salah satu penjelasan terbaik dan termutakhir mengenai kondisi atau akibat tidak dibiasakannya budaya penelitian sejak dini terdapat pada koran Kompas, Jumat, 1 Oktober 2010, di halaman muka bertajuk 'Praktek Koruptif di Balik Gelar Mentereng'. Ulasan dalam artikel ini menunjukkan betapa kotor dan buruknya bisnis-bisnis di balik pembuatan skripsi. Tumbuhnya 'wirausahawan' dalam ceruk pasar yang baru ini dipicu oleh gagalnya pemerintah merancang kurikulum nasional dan dalam melatih para tenaga pendidiknya. Para mahasiswa yang terjebak dalam kesulitan pembuatan skripsi mengambil jalan pintas dengan menyerahkan pembuatannya kepada kelompok-kelompok 'wirausahawan' ini sepenuhnya dan menggantinya dengan sejumlah uang. Modus ini tidak lebhi baik dari pembelian gelar yang prakteknya juga banyak di negara ini.

Dalam artikel yang sama, Pak Fasli Jalal mengatakan hal yang benar bahwa kita harus lebih mengedepankan kompetensi dari pada gelar. Namun demikian dalam kenyataan yang ditemui sekarang ini apakah memang berlaku pernyataan demikian? Dan seharusnya Kemendiknas perlu segera melakukan langkah perbaikan untuk menghindari praktek-praktek tidak terpuji ini. Tidak heran, terdapat lebih dari dua juta pengangguran bergelar sarjana di negeri ini. Mereka adalah sarjana-sarjana yang lulus tanpa isi yang didiluluskan oleh mental ketidakjujuran dan mental 'segalanya dapat dibayar dengan uang'.