WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

UN 2010, Repeating Cases

>> Wednesday, April 28, 2010

Saya hampir tidak bersemangat untuk mengulas topik ini. Nadanya cenderung hampir sama dari tahun ke tahun. Mulai perencanaan, penyelenggaraan dan pengumuman hasil, isu seputar UN ini selalu disorot berbagai media dan cenderung bernada pesimis, negatif dan buruk.

Khusus untuk UN SMA, yang pesertanya lebih dari 1,5 juta siswa lebih dari 10%-nya tidak lulus. Ketidak lulusan 100% terjadi di 267 sekolah. Respon birokrat di bidang pendidikan cenderung aneh, setidaknya menurut Anita Lie (Kompas, 2010), pemerintah mendikotomikan kejujuran dan ketidaklulusan UN. "Jadi, kalau hasil ujian para siswa gagal dianggap jujur, sementara kalau hasilnya bagus menjadi tidak jujur, buat saya itu aneh. Maunya apa sebenarnya dengan UN ini?" ujar Anita Lie kepada Kompas.com di Jakarta.

Walaupun Menteri Pendidikan Nasional, Muhamad Nuh, menyatakan UN tidak akan mempengaruhi kelulusan karena ada faktor lainnya, namun di lapangan, setidaknya secara psikologis telah mempengaruhi kepala sekolah, guru dan siswa itu sendiri terhadap UN. Menurut beberapa pakar pendidikan, yang saya juga setuju, memang sebaiknya UN tidak dimasukkan sebagai satu-satunya atau salah satu faktor dalam kelulusan siswa.  Saat ini, masih terjadi dualisme, disatu sisi UN dipakai sebagai salah satu instrumen kelulusan, di sisi lain dipakai sebagai alat pemetaan. Menurut saya hal ini tidak bisa berjalan dengan baik.

Sebagai guru, saya mengenal betul psikologis para siswa dalam menghadapi UN. Mereka berharap lulus, orang tua mereka pun demikian. Harapan ini begitu tinggi sehingga mereka dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam program drilling atau latihan soal-soal UN. Ini adalah sebuah pembodohan. Siswa datang ke sekolah bukan untuk bisa mengerjakan soal, tapi lebih dari itu. Di titik inilah banyak siswa dan guru di berbagai sekolah berkompromi dengan dosa. Demi kelulusan yang telah ditarget oleh atasan masing-masing, mereka melakukan berbagai cara yang tidak etis. Mulai dari pembocoran soal hingga penyuapan.

Pada artikel saya di bulan Januari 2009, saya merujuk laporan hasi UN tahun 2008 dari puspendik (yang kini tidak lagi bisa diakses, entah kenapa). Di sana tercatat denagn jelas bahwa ada satu sekolah di kabupaten Bekasi ini yang hasil nilai UN-nya mencengangkan. Saya sendiri baru mengenal nama sekolah tersebut dari rekan saya. Hasil UN-nya lebih tinggi daripada beberapa sekolah favorit di Jakarta. Apa yang sebenarnya terjadi?

Hasil UN cenderung tidak valid dan memiliki latar belakang pencapaian yang tidak jujur. Saya berharap Pak Nuh mau berbesar hati dan berpikir lebih luas untuk meniadakan saja UN ini atau setidaknya tidak menjadikan UN sebagai salah satu faktor kelulusan apalagi satu-satunya. Biarlah kita kembali pada pola EBTANAS dahulu, dimana nilai hasil ujian dipakai sebagai salah satu faktor penerimaan siswa baru di jenjang pendidikan berikutnya. Dengan cara yang demikian pun, sekolah dapat berlomba-lomba meningkatkan kualitasnya untuk membawa siswanya ke sekolah favorit. Tujuan pemetaan pun masih dapat dilakukan dengan cara yang demikian. Lebih ekstrem, biarkan sekolah membuat ujian dan nilai akhirnya sendiri untuk para siswanya. Pemerintah cukup membuiat sejenis SAT yang dilakukan oleh pemerintah AS.

Kartini, A Girl Who Reads and Brings Light...

>> Wednesday, April 21, 2010

Hari ini, sambil disengat dengan sinar matahari pagi yang cukup terik, kami melangsungkan upacara bendera dengan tema memperingati hari kartini. Dengan posisi peserta upacara yang nayris menghadap ke timur, keringat saya tak berhenti bercucuran sepanjang upacara berlangsung sedangkan para siswa pun tak berhenti bergoyang dan bergerak sepanjang upacara karena kepanasan. Namun, apa yang disampaikan rekan saya, sang pembina upacara dalam pidatonya sangatlah menarik.

Ia membacakan biografi singkat tentang Raden Ajeng Kartini, yang lahir lebih dari satu abad yang lalu di Jepara. Selama ini, yang saya pahami tentang Kartini adalah seorang pejuang emansipasi wanita. Dia dipercaya sebagai seorang pelopor pembela hak-hak kaum perempuan. Dengan segala kesantunan dan penundukan diri yang total pada orang tua dan suaminya, ia berusaha mewujudkan impiannya untuk menyadarkan dan membangun perempuan Indonesia. Dan ia berhasil.

Namun pagi ini, saya mendengar sesuatu yang baru yang menyadarkan saya tentang awal perjuangan Kartini. Satu hal yang memicu dan membantunya mewujudkan impiannya adalah karena ia membaca.  Ia bersekolah hingga usianya yang 12 tahun, karena setelah itu, sesuai budaya Jawa saat itu, ia dipingit untuk dipersiapkan dalam pernikahan. Dalam masa pingitan ini, Kartini memang tidak pergi ke sekolah lagi, tapi ia menyekolahkan dirinya sendiri dengan mengumpulkan buku-buku pelajaran dan bacaan. Ia membaca dan mempelajari semuanya. bahkan diantaranya adalah buku-buku berbahasa Belanda. Ia membaca...

Saya berpikir, betapa hebatnya kekuatan buku dan kegiatan membaca ini. Dan betapa kuatnya hasrat Kartini untuk tetap membaca demi mewujudkan impiannya. Jika sebagaian besar siswa Indonesia berusia 12 tahun memiliki kebiasaan yang sama bahkan lebih jauh lagi semangat yang sama dengan Kartini, saya percaya wajah bangsa ini akan berubah. Membaca adalah jantung perubahan dalam kehidupan Kartini. Buku adalah cahaya yang membawanya dari gelap kepada terang...

Terima Kasih Kartini....

FREEDOM WRITERS

>> Tuesday, April 20, 2010

Hillary Swank berperan dengan sangat menyentuh sebagai Erin Gruwell dalam film Freedom Writers (2007). Sebagai seorang guru bahasa di sebuah kelas yang siswanya sama sekali tidak tertarik pada sekolah, Gruwell menempuh banyak kesulitan dalam menaklukan siswa-siswanya itu.

Siswa yang berasal dari berbagai ras, negro, hispanik dan asia ini tidak hanya sangat rasis, tapi juga hidup dalam kekerasan. Mereka sangat merendahkan Gruwell dan tidak peduli pada pelajaran. Hanya undang-undang saja yang masih membuat mereka tetap berada di dalam kelas di jam sekolah. Kebrutalan para siswa tidak terkendali sehingga memungkinkan terjadinya tawuran dan penembakan. Dalam kelas Gruwell harus berjuang untuk mendapatkan perhatian dan kehormatannya di mata mereka. Gruwell nyaris putus asa.


Dalam film yang diangkat dari kisah nyata ini, Gruwell akhirnya menemukan bahwa ia harus melakukan sesuatu pada sistem pergaulan dan gaya hidup mereka itu sebelum ia dapat mengajar mereka. Dengan cara-cara yang kreatif, berani dan bahkan terlalu nekat, Gruwell berjuang dalam 'pertempuran' sengit dengan para siswanya.

Para siswanya akhirnya harus menyadari bahwa Gruwell bukan hanya sekedar pengajar, tetapi pahlawan mereka. Secara perlahan dan penuh pengorbanan, bahkan hingga kehilangan suaminya, Gruwell menggiring para siswa brutal dan tak bermasa depan di kelasnya menjadi siswa terbaik di kotanya. Dengan sangat agresif, ia menunjukkan bahwa belajar bahasa, sastra, membaca dan menulis dapat menjadi sangat menyenangkan, personal, menyentuh bahkan mampu mengubah hidup mereka.

Film ini akan menampar setiap orang yang berprofesi guru, menjewer para administrator sekolah dan membentak setiap orang tua. Mereka akan dipaksa untuk menyadari bahwa tidak ada siswa yang bodoh, nakal bahkan brutal yang tidak dapat berubah. Anak-anak adalah nafas kita di masa datang. Mereka perlu diperhatikan dan teladan, mereka perlu seseorang yang memerdekakan mereka dari ikatan ketertolakan dan kepahitan hidup mereka sendiri. Mereka hanya butuh seseorang yang rela berkorban. Bukankah yang rela berkorban itu disebut pahlawan?

Sungguh sebuah film yang tidak boleh dilewatkan oleh siapapun!

Kill to Play!

>> Wednesday, April 14, 2010

Seorang anak di Rusia membunuh ayahnya sendiri karena dilarang bermain games (detik.com). Ini merupakan salah satu berita terburuk dari dampak negatif bermain games. Kesaksian dari berbagai sumber yang saya dapatkan, para pemain yang cederung masih berusia sekolah mengalami penurunan prestasi belajar, terkena berbagai penyakit seperti dehidrasi, sakit kepala, ambeien, maag dan lainnya, tidak sedikit yang mengalami social disorder atau kesulitan dalam membangun hubungan sehat dengan sesama, pertengkaran dengan orangtua dan persoalan-persoalan lainnya.

Saya telah menemukan banyak berita tentang anak-anak, khususnya laki-laki yang kecanduan beramin games. Lebih dari 90% gamers adalah anak laki-laki. mereka menghabiskan waktu rata-rata 4-5 jam per hari untuk bermain games. Di warnet games on-line, seseorang dapat bermain dengan mengeluarkan uang rata-rata Rp 4000 per jam. Sedangkan untuk permainan Play Station keluaran Sony, yang cenderung lebih populer di pinggiran kota, seorang anak dapat bermain di tempat penyewaan dengan biaya yang sama. Belum lagi beberapa warnet menyediakan paket-paket bermain murah atau voucher. Hal ini sangat menguras keuangan keluarga dan berpotensi menimbulkan konflik dalam keluarga. Seorang teman saya berkisah, ada temannya yang kuliah di sebuah PTS di jakarta kecanduan dengan games. Ia sampai merelakan diri 'berhemat' demi membiayai kecanduannya, bahkan uang SPP-nya ia korbankan untuk kesenangannya itu.

Lyto, Sebuah perusahaan distributor games on-line di Indonesia mengaku memiliki pengguna sebesar 6juta orang (detik.com), jika kita dapat tambahkan dengan sumber-sumber lain, saya pikir angka pemain games di Indonesia secara total tentunya akan lebih besar. Dari total 79,4 juta anak-anak di Indonesia (usia 8-18 tahun, 2009), bisa diperkirakan lebih dari 30% atau lebihdari 25 juta anak (wikimu.com)!

Permainan games yang berisi pendidikan justru sangat sedikit sekali jumlah peminatnya. Para gamers cenderung berminat dengan permainan yang penuh dengan konten seksualitas, kekerasan dan kejahatan. Baru-baru ini sedang hangat berita tentang pencekalan sebuah games yang mengumbar ketiga konten tersebut pada skenario gamesnya. GTA, Grand Theft Auto telah banyak dicekal oleh banyak instansi. Namun, walaupun mengalami pencekalan, GTA merupakan salah satu games yang membukukan penjulan yang menakjubkan dalam waktu seminggu saja, Rp 4,6 trilliun (wikimu.com)!

Sungguh memprihatinkan nasib generasi muda saat ini. Walau dengan teknologi yang maju pesat, namun kekuatan atau daya tahan untuk berhadapan dengan teknologi itu sendiri tidak dimiliki oleh anak-anak. Kekuatan teman sebaya atau peer pressure telah mengalahkan ikatan dalam keluarga. orang tua telah kehilangan pengaruh dan kepercayaan anak. Seorang teman saya menceritakan betapa ia mengalami jalan buntu untuk mengontrol anaknya bermain games. Mulai dari bujukan halus, berdoa hingga ancaman, tidak menggoyahkan kecanduan anaknya. Seorang teman saya yang lain mengeluhkan tingkah sepasang orangtua kaya yang terbujuk pada rayuan anaknya untuk membuat sebuah warnet games on-line di dekat lingkunganya tinggal. Ia berkata, apakah tidak ada jenis usaha lain yang dapat dikerjakannya selain membuka warnet dan mengakibatkan anak-anak binaannya malas belajar.

Tidak hanya konten games itu sendiri yang perlu diperhatikan secara serius, tetapi perilaku anak terhadap games itu sendiri yang juga perlu ditinjau lebih serius. Apa pun gamesnya, anak cenderung meninggalkan tanggungjawabnya yang utama, entah itu belajar atau tanggungjawab lain.mereka juga cenderung belajar menjadi egois, membuang-buang waktu, melawan orangtua dan lainnya. Kisah anak yang membunuh ayahnya sendiri di atas harusnya dapat membuat orang tua, guru dan pemerintah sadar, bahwa anak-anak sedang digiring untuk peduli dengan kesenangannya sendiri dengan mengorbankan orang lain (bahkan dirinya sendiri juga!).

Pertanyaan ini hanya berlaku di jaman Romawi Kuno, tidak di jaman ini: Haruskah seseorang membunuh untuk bermain?