WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

Most Valuable Legacy: Example!

>> Monday, March 7, 2011

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Buah jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya.
Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Like father like son…

Semua peribahasa di atas bertemakan satu hal: perilaku anak adalah hasil dari teladan orangtuanya. Ini adalah sebuah kunci utama dalam pendidikan: Keteladanan. Tidak ada tips, cara, teknik atau rahasia dalam mendidik anak dengan baik. Hanya keteladanan. Baik orangtua maupun guru, perlu memperhatikan kata kunci ini.

Mengapa demikian? Karena ada sebuah sifat dasar anak-anak yang menonjol, yaitu mencontoh. Anak-anak dapat dengan sangat mudah mencontoh apa saja yang dilihatnya. Entah itu baik atau buruk. Dengan kata lain, hanya dengan melihat perliku anak, kita dapat menyimpulkan seperti apa sifat dari orangtuanya.

Sebuah kisah dituturkan oleh seorang pendeta, Daniel Alexander demikian: Alkisah, seekor anak anjing sedari kecil dipelihara oleh keluarga babi. Ia tinggal di kandang babi, makan makanan babi dan bermain bersama anak-anak babi. Setelah anak anjing ini dewasa, ternyata ia tidak berperilaku seperti babi, tidak bersuara seperti babi dan tidak berkubang di lumpur seperti babi. Anjing ini akan tetap berperilaku, bersuara dan hidup seperti selayaknya seekor anjing.

Namun, berbeda dengan manusia. Jika seorang bayi tinggal di sarang penyamun, dibesarkan dan hidup di sana. Besar kemungkinan, setelah bayi ini dewasa akan berperilaku seperti penyamun. Hal ini tidaklah mengherankan bukan?

Inilah sebuah sifat dasar dari manusia: ia adalah peniru. Dan ini adalah salah satu kunci utama dalam mendidik anak dalam segala aspek, baik itu sopan santun, nilai-nilai moral, kerohanian, bahkan sampai hal-hal praktis seperti cara makan dan berkata-kata. Untuk mendidik anak yang berkomitmen tidak memerlukan resep atau formula khusus. Orangtua hanya perlu menunjukkan dengan seterang-terangnya pada anak bagaimana ia menjalankan komitmennya. Hal ini juga dapat kita lihat secara kebalikannya: jika kita menemukan anak-anak dengan komitmen yang kuat, kita dapat memastikan orangtuanya juga demikian. Dan bilamana seorang anak lemah dalam berkomitmen, kita hampir dapat memastikan, orangtuanya juga demikian.

Membesarkan anak di masa serba canggih dan wah sekarang ini tidaklah mudah. Orangtua dituntut untuk ekstra disiplin atas dirinya sendiri. Generasi muda sekarang ini membutuhkan teladan yang lebih daripada generasi sebelumnya. Mereka hidup pada jaman di mana komitmen bukanlah lagi suatu hal yang harus menjadi prioritas. Melalui media dan lingkungan, anak-anak cenderung dikondisikan untuk hidup mementingkan diri sendiri, mengabaikan hak orang lain, dan tidak menghormati orangtua.

Sejak dini, baik orangtua maupun guru perlu memberikan contoh (bukan hanya mengajarkan!) dan bukti memegang komitmen. Tunjukkan komitmen dalam hal rohani, misalnya berdoa dan membaca Kitab Suci secara konsisten, atau memberikan uang untuk kegiatan rohani. Tampilkan juga komitmen dalam hal-hal yang jasmani, seperti menjaga keharmonisan pernikahan, menjalankan tugas atau pekerjaan dengan dedikasi tinggi atau sekedar disiplin dalam berbagi pekerjaan rumah tangga.

‘Pertunjukan-pertunjukan’ komitmen yang ditonton oleh anak-anak ini akan dengan mudah dikunyah, dicerna, dan dicontoh oleh mereka. Lebih lagi, tontonan yang berulang-ulang akan semakin mematrikan pentingnya berkomitmen dalam ingatan mereka. Ingatan ini akan mereka bawa seumur hidup dan menjadi pegangan atau patokan atas mereka. Bukankah ini sebuah warisan yang berharga?

note: ditulis untuk warta jemaat 'AbbaNews'