WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

A National Challange: Scientific Journal

>> Wednesday, February 8, 2012

Kewajiban penulisan karya ilmiah yang wajib diterbitkan di jurnal ilmiah termasuk hal baru di negara ini. Di satu sisi, seperti kata Dirjen Dikti, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas lulusan melalui perbaikan kemampuan menulis (Kompas, 7 Februari 2012). Penegasan juga dinyatakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhamad Nuh, yaitu untuk menumbuhkan budaya menulis dan dengan demikian jumlah jurnal yang dihasilkan di nusantara ini dapat terdongkrak. Sedangkan mengenai jumlah jurnal ilmiah dan jumlah lulusan yang tidak seimbang, sepeRti yang dikeluhkan pimpiman peguruan tinggi peerintah dapat mengatasinya dengan menerbitkannya secara online.

Jumlah jurnal ilmiah di Indonesia yang terpaut jauh dengan negara tetangga, Malaysia, telah membuat pemerintah kebakaran jenggot. Kesadaran ini tentunya sangat baik, hanya saja keterampilan menulis apalagi menulis jurnal ilmiah bukanlah semudah membalik telapak tangan. Karena di dalamnya melibatkan keterampilan berpikir kritis dan determinasi tinggi.

Keterampilan menulis siswa Indonesia kurang ditekankan sejak dini. Jangankan di luar Jawa, di ibukota pun kemampuan menulis siswa masih kurang. Hal ini diukur dari prosentase penerbitan tulisan di media cetak, blog atau sayembara menulis, peminatnya kalah bersaing dengan permainan games online. Kurikulum Indonesia belum secara tajam menekankan kemampuan menulis sebagai salah satu keterampilan yang harus dimiliki selepas pendidikan dasar.

Selain itu, kemampuan berpikir kritis, yang mendasari kemampuan meneliti, juga tidak ditanamkan sejak usia dini. Hal ini terbukti dari kesibukan siswa kelas akhir di tiap jenjang dalam mempersiapkan Ujian Nasional. Kesibukan ini selalu disorot oleh media setiap tahun, bagaimana siswa di-drill dengan soal-soal demi kelulusannya di jenjang tersebut. Demikian pula dalam pembelajaran sehari-harinya, kemampuan berpikir kritis siswa tidak terasah karena pola pembelajaran yang masih cenderung pada ketrampilan berpikir tingkat rendah, menghafal dan pemahaman. Sedangkan menurut Taksnomi Bloom, kemampuan berpikir kritis dimulai ketika siswa dapat menganalisa atau menguraikan suatu masalah.

Jadi persoalan sedikitnya jurnal yang diterbitkan di Indonesia, harusnya diteropong lebih jauh ke jenjang pendidikan dasar. Di sekolah kami, para siswa kelas 11 diwajibkan untuk membuat karya ilmiah. Proses penulisannya tidak jauh dari penulisan skripsi mahasiswa program sarjana, mulai dari pengajuan proposal, pembimbingan, penulisan hingga perbaikan. Beberapa standar memang sedikit diturunkan, namun untuk hal-hal pokok tidak ada tawar menawar. Karya ilmiah mereka pun dipertanggung jawabkan di hadapan guru dan teman-teman mereka. Hal ini sangat berkesan bagi siswa dan telah memberikan modal awal untuk menumbuhkan kemampuan menulis dan berpikir kritis mereka. Sebagian besar siswa ini telah mengalami pelatihan menulis dan berpikir kritis sejak di bangku SD.

Pada jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa program sarjana sebenarnya tidak perlu kuatir dengan diharuskannya karya ilmiah atau tugas akhir mereka diterbitkan di jurnal ilmiah, karena hal ini telah melewati proses pembimbingan oleh dosen. Hanya saja penerbitan skripsi atau karya ilmiah di sebuah jurnal ilmiah akan menjadi masalah tersendiri, karena jurnal ilmiah yang baik memiliki persyaratannya sendiri. Penerbitan harus melewati proses seleksi dan penyuntingan oleh dewan redaksi yang ketat, hal ini mengakibatkan penerbitan tulisan di jurnal ilmiah menjadi terbatas. Pelonggaran persyaratan hanya akan menurunkan kualitas jurnal, lebih jauh lagi kualitas kampus bersangkutan akan terefleksi darinya.

Penerbitan jurnal ilmiah online hanyalah sebuah jalan pintas. Jika pemerintah hanya ingin mengejar kuantitas lebih dulu, sebaiknya dilakukan di tingkat lokal bukan nasional. Penerbitan secara online juga menimbulkan pertanyaan mengenai pemeliharaan situs. Jurnal harus dapat terunggah dengan mudah, terklasifikasi dan terpelihara secara berkelanjutan. Penerbitan online ini juga akan merangsang munculnya plagiator. Dengan sangat masifnya jumlah karya ilmiah di internet nantinya, akan memudahkan para plagiator melakukan tindakannya. Tentunya masih segar di ingatan kita beberapa tahun lalu mengenai beberapa doktor yang mencontek hasil karya orang lain. Jurnal online juga akan menjadi lahan basah baru bagi oknum-oknum tertentu untuk menawarkan jasanya pada calon sarjana. Demi kelulusan dan titel sarjananya, apapun akan dilakukan oleh mahasiswa yang malas.

Hal penting lainnya adalah berapa jumlah dosen atau guru besar yang aktif dalam penulisan di jurnal ilmiah. Bagaimana mungkin meminta mahasiswa menulis karya ilmiah dengan baik tanpa melihat pengajarnya aktif menulis.

Ada baiknya pemerintah tidak terburu-buru untuk menetapkan kebijakan jurnal ilmiah ini. Penulis berpendapat, kebijakan ini dapat segera diterapkan kepada pada dosen dan guru besar atau juga pada mahasiswa magister dan doktor terlebih dahulu. Sementara itu, pemerintah meramu dan menetapkan kurikulum yang lebih tajam dalam meningkatkan budaya menulis dan berpikir kritis sejak dini.

apa pendapat Anda?