WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

A Comment to KURIKULUM 2013 Draft

>> Wednesday, December 5, 2012



 Tepat tanggal 29 November lalu pemerintah melalui kementrian penddidikan nasional menggelar uji publik atas rancangan kurikulum 2013. Uji publik dilakukan dengan tatap muka antara masyarakat dan pemerintah, dialog virtual dan secara tertulis. Beberapa hal menarik menyangkut uji publik ini adalah mengenai dialog virtual dan format dokumen rancangan kurikulum yang dapat diunduh dari situs kemendiknas. Di samping cara penyampaian yang unik, tentunya banyak hal menarik yang dapat dikritisi mengenai isi slide rancangan kurikulum 2013 tersebut.

Tidak pada umumnya sebuah uji publik atas rancangan kurikulum 2013 dipaparkan dalam format slide. Mengingat hal ini adalah sebuah kebijakan nasional, seharusnya disertakan pula sebuah dokumen rancangan perundangan atau petunjuk teknisnya. Hal ini setidaknya memberikan kesan bahwa rancangan dibuat dengan waktu yang tidak memadai. Format slide ini juga tidak memberikan informasi yang utuh sehingga dapat menimbulkan salah persepsi kepada publik mengenai dasar-dasar kebijakan perubahan kurikulum.

Kesempatan untuk melakukan dialog virtual melalui situs kemdiknas sebenarnya hanyalah sebuah monolog alias pemberian kesempatan pembaca situs untuk memberikan komentar atas slide yang tersedia di situs. Seperti yang dipahami secara umum, dialog merupakan  percakapan dua arah setidaknya antara dua pihak. Jaminan atas terbaca dan terbalasnya setiap komentar yang ditulis di situs nyaris tidak ada, mengingat tidak tersedianya kepastian kapan dan bagaimana komentar akan dibalas.

Hal menarik pertama yang segera terlihat melalui slide rancangan kurikulum 2013 adalah kesan ambisius perancang kurikulum yang ingin meyakinkan  pembaca dengan memberikan cukup banyak slide yang menjelaskan tentang pentingnya perubahan jam pelajaran. Hal ini dapat mulai dilihat pada slide ke-11, alih-alih memberikan penjelasan yang memadai mengenai hal esensial yang melatarbelakangi perubahan kurikulum, perancang slide menempatkan isu jam pelajaran pada bagian awal slidenya. Penjelasan pada slide berikutnya pun cenderung tendensius mengupas fakta-fakta statistik mengenai pentingnya jam pelajaran perlu diubah.

Padahal bila kita cermati, perubahan jam pelajaran sebenarnya tidak memberikan efek yang signifikan kepada kualitas pendidikan. Negara Finlandia dan Korea Selatan yang dianggap maju dalam pendidikan di dunia saat ini justru tidak memiliki jam pelajaran seperti yang akan dilaksanakan oleh pemerintah nanti. Kenyataannya, mereka menggunakan sejenis standar kepatutan dalam menentukan jam pelajaran untuk mata pelajaran tertentu. Bahkan lebih jauh lagi, alih-alih menambahkan jam pelajaran pada mata pelajaran tertentu, kedua negara ini lebih mementingkan bagaimana meningkatkan kualitas guru-gurunya. Ironinya, slide yang membicarakan mengenai bagaimana meningkatkan kualitas guru hanya terbatas pada rencana implementasi kurikulum baru, yang sebenarnya bukan berbicara mengenai meningktkan kualitas guru tetapi sejenis mengadakan pelatihan guru untuk menyesuaikan mereka kepada kurikulum baru.

Pemerintah terlihat kurang memperhatikan kebijakan mengenai kualitas guru. Gambar besar mengenai bagaimana guru-guru dapat secara terus-menerus mendapatkan peningkatan keterampilan dan profesionalitas tidak tergambar secara jelas. Adapun program sertifikasi guru yang dilaksanakan selama ini melalui PLPG, hanya merupakan sejenis standarisasi profesionalisme guru, yang tentunya hasilnya juga masih bisa diperdebatkan kualitas hasilnya. Perancangan atas program pelatihan guru yang sistematis dan bertujuan sangat diperlukan, sehingga kurikulum 2006, KTSP, dapat diaplikasikan dengan mudah oleh para guru dan bermanfaat bagi para siswa.

Ada apa dibalik ke-ngotot-an pemerintah merubah jam pelajaran?

Hal menarik lainnya adalah:
1. peniadaan pelajaran bahasa Inggris;
2. penambahan jam pelajaran untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, Agama dan PKN;
3. penggabungan IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia; dan
4. sumber belajar

Pelajaran bahasa Inggris di tingkat SD ditiadakan karena pemerintah ingin agar para siswa dapat menguasai bahasa ibu lebih baik. Kebijakan ini menjadi berlawanan bilamana kita melihat alasan pengembangan kurikulum pada slide 17. Pada slide tersebut ditulis bahwa salah satu alasan kurikulum ini perlu dikembangan karena adanya beberapa tantangan masa depan, seperti: Globalisasi, kemajuan dan konvergensi iptek, serta pergeseran ekonomi dunia. Apakah sang perancang draft kurikulum ini tidak melihat alasan ini (yang mereka tulis sendiri) sebagai alasan yang kuat untuk tetap mempertahankan mata pelajaran bahasa inggris pada tingkat SD?

Hal lainnya adalah penambahan mata pelajaran bahasa Indonesia, agama dan PKN. Asalkan implementasinya tepat, untuk mata pelajaran bahasa Indonesia dan PKN tidak menjadi terlalu bermasalah. Masalah yang besar akan muncul saat pelajaran Agama yang ditambah. Penambahan pelajaran agama yang menurut pemerintah adalah untuk menangkal masalah-masalah sosial sebenarnya merupakan kesalahan besar. Pertama, guru-guru agama yang tidak siap atau tidak benar akan mengakibatkan negara semakin terpecah belah, masyarakat semakin radikal dan fundamental, dan justru akan menimbulkan masalah-masalah sosial yang lebih tajam di masa datang.Kedua, sekolah sebaiknya tidak mengambil 'jatah' keagamaan lebih banyak dari lembaga yang seharusnya lebih mumpuni dan layak untuk mengajarkan agama. Dengan ditambahnya jam pelajaran pada pelajaran agama ini, sama saja dengan mengaggap impoten lembaga keagamaan yang ada.Ketiga, secara historis tidak pernah ada pelajaran agama yang banyak menimbulkan penurunan signifikan pada masalah-masalah sosial. Sebaiknya, pemerintah setidaknya merevitalisasi pelajaran PKN dengan mengembangkan nilai-nilai PANCASILA.

Kebijakan mengenai penyisipan pelajaran IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia pada tingkat SD merupakan hal yang lebih aneh lagi. Mungkin Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang menyisipkan IPA dan IPS ke dalam pelajaran bahasananya. Bahasa memang penting tetapi pelajaran keilmuan juga merupakan hal yang juga penting untuk dikenalkan sejak dini, sehingga siswa dapat memiliki tradisi keilmuan yang kuat sejak dini seperti yang dimiliki oleh siswa-siswa di negara maju.

Temuan menarik lainnya adalah mengenai sumber belajar, tertera jelas pada slide 25, bahwa guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar, dan hal ini benar adanya. Siswa perlu mendapatkan akses belajar pada sumber-sumber lain. Namun anehnya, pada slide 83, pemerintah seolah-olah akan menyiapkan buku sebagai sumber belajar bagi siswa. Melalui media masa, ternyata diketahui, pemerintah ingin menghambat laju penerbit buku pelajaran yang membuat guru dan sekolah menjadi penjual buku. Namun demikian, seharusnya bukan berarti semua buku harus diadakan oleh pemerintah. Jika demikian, bisa-bisa sumber belajar satu-satunya adalah buku dari pemerintah, sebuah implementasi bak negara sosialis.

Tentunya masih banyak hal yang dapat dikritisi mengenai kurikulum ini, semua kritik ini diberikan dalam rangka memberikan sudut pandang lain bagi pembuat kebijakan, para pemerhati pendidikan serta konsumen lembaga pendidikan. Bilamana terdapat kekeliruan, tentu saja dapat dilakukan perbaikan atas komentar ini. Semoga bermanfaat, maju pendidikan Indonesia!


POSITIVISM IN STUDENT'S REPORT CARD

>> Tuesday, December 4, 2012

Posting kali ini adalah sebuah paper yang saya kumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu, semoga bermanfaat buat para pembaca...

KRITIK TERHADAP BENTUK LAPORAN EVALUASI HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK DI INDONESIA

Abstrak
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menyelidiki laporan evaluasi hasil belajar siswa atau lebih dikenal dengan rapor. Tulisan ini akan mencari tahu apakah rapor di Indonesia ini telah secara efektif menjawab esensi dari peran evaluasi dalam sistem pendidikan dan apakah jawaban atas problematikanya. Pembahasan terlebih dahulu dilakukan dengan memberikan uraian atas pandangan yang mendasari Undang-undang dan aturan pemerintah lainnya mengenai tujuan evaluasi pendidikan di Indonesia. Selanjutnya dipaparkan mengenai persoalan yang terdapat dalam aturan-aturan tersebut yang berdampak pada bentuk rapor saat ini. Secara umum, format rapor yang digunakan saat ini dianggap belum mampu memenuhi esensi dari evaluasi secara utuh, karenanya rapor perlu diberikan pelengkap. Pelengkap rapor ini akan memberikan pemahaman lebih mendalam atas proses belajar siswa.

Pendahuluan
Di Indonesia, evaluasi atau penilaian dipahami sebagai salah satu bagian dari rangkaian proses belajar peserta didik atau siswa di sekolah (UU No.20/2003). Proses dan kemajuan belajar siswa dievaluasi melalui beragam alat evaluasi pada periode-periode tertentu di sekolah. Pendidik di sekolah atau guru melakukan evaluasi atas proses belajar siswa, mendokumentasikan dan melaporkan hasilnya kepada orang tua. Pada penghujung semester siswa akan menerima laporan hasil belajar atau rapor yang berisi pencapaian-pencapaian siswa selama satu semester pada mata pelajaran-mata pelajaran yang mereka ikuti.

Pada siswa kelas akhir di setiap jenjang, yaitu kelas 6, 9 dan 12; evaluasi juga diselenggarakan oleh pemerintah dalam bentuk Ujian Nasional. Evaluasi ini menentukan kelulusan siswa untuk masuk ke jenjang selanjutnya. Hasil evaluasi tahap akhir ini dituangkan ke dalam SKHTB atau Surat Keterangan Hasil Tamat Belajar.

Secara sepintas, sistem pelaporan evaluasi peserta didik yang dijalankan di Indonesia ini terlihat baik adanya. Namun bilamana dipahami lebih dalam, baik format rapor atau SKHTB yang digunakan saat ini mengandung persoalan yang menyangkut esensi dari tujuan evaluasi. Apakah format rapor dan SKHTB yang berisi angka-angka telah cukup mampu menjelaskan atau tepatnya memberikan makna pada proses pembejalaran yang telah siswa lalui.

Tulisan ini akan memaparkan dan menguraikan tujuan evaluasi dan bentuk pelaporan hasil evaluasi peserta didik di Indonesia. Setelah itu, kedua hal tadi akan direfleksikan secara epistemologis, dan apakah prinsip-prinsip pada metode hermeneutik dapat diterapkan dalam pelaporan hasil evaluasi peserta didik.

Positivisme
Sebelum membahas lebih jauh kepada esensi tujuan evaluasi peserta didik di Indonesia. Kita akan memahami sebuah pandangan epistemologis yang diduga kuat melatar belakangi tujuan evaluasi ini, yaitu Positivisme.

Positivisme merupakan pandangan yang lahir pada abad ke-19. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang filsuf bernama Auguste Comte (1789-1857), yang berkebangsaan Perancis (Hardiman, 2011). Menurut Hardiman (2003), sederhananya Positivisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah apa yang berdasarkan fakta objektif. Dengan kata lain, Positivisme sebenarnya merupakan paham empirisme yang diradikalkan, maksudnya paham ini tidak lagi bisa menerima hal-hal yang melampaui hal-hal yang faktual seperti seni, etika, spiritualitas, dll. Dalam semua wilayah pengetahuan, hal-hal yang faktuallah yang dapat disebut pengetahuan.

Dengan demikian terhadap ilmu-ilmu atau ‘wilayah’ sosial, positivisme juga menggunakan pengandaian dasar dari penelitian ilmu-ilmu alam seperti: pengambilan distansi penuh antara objek yang diteliti dan peneliti; objek merupakan fakta netral yang bersih dari unsur-unsur perasaan, moral, dll; kemampuan untuk memanipulasi objek; dan hasil manipulasi yang dapat dijadikan sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum yang niscaya (Hardiman, 2003).

Dengan kata lain positivisme sangat menekankan sisi metodologis. Pengandaian-pengandaian dasar di atas oleh para positivis berusaha untuk diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial. Metode ini digunakan agar ‘wilayah’ sosial dapat dikendalikan dan dimanipulasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu-ilmu alam sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bersifat teknis.

Kritik atas Positivisme
Dalam perkembangannya, Posistivisme mengalami kritik. Salah satu kritik epistemologis yang paling keras disuarakan oleh Juergen Habermas, seorang filsuf Jerman, melalui Teori Kririknya yang juga sebenarnya memiliki keterkaitan dengan metode Hermeneutik dan fenomenologi. (Hardiman 2003).

Untuk sampai pada metode hermeneutik, kita perlu memahami terlebih dahulu teori Wilhem Dilthey (1833-1911) mengenai ekspresi pemahaman dan ilmu-ilmu budaya. Dalam kritiknya ia menyampaikan bahwa  tidaklah mungkin ilmu atau ‘wilayah’ sosial dipahami dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam.

Hal ini dikarenakan ‘wilayah’ sosial memiliki kepentingan praktis dan berparadigma komunikasi yang berorientasi untuk pemahaman (Verstehen); sedangkan ‘wilayah’ alam memiliki kepentingan teknis dan berparadigma kerja yang berorientasi untuk keberhasilan. Oleh karenanya, ilmu-ilmu sosial, menurut Dilthey tidak dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam. Ia menyuguhkan metode Hermeneutik yang terinspirasi dari Friedrich Schleiermacher untuk diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial (Hardiman, 2004).

Hermeneutik secara bebas diartikan sebagai penafsiran atas sebuah teks yang kurang jelas untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas. Teks di sini bukan hanya dalam arti harafiah berupa tulisan, tetapi juga segala sesuatu yang bersinggungan dengan kehidupan sosial manusia, seprti fenomena-fenomena, lingkungan, situasi, hubungan, maupun manusia itu sendiri. Manusia cenderung melakukan penafsiran terus menerus dan cenderung untuk memberi makna, inilah yang disebut memahami(Hardiman, 2003).

Metode Hermeneutik ini mengalami perkembangan yang menarik, mulai dari hermeneutik romantis hingga kontemporer:

…Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey berusaha mencapai identifikasi, sehingga menafsirkan tes merupakan tugas reproduktif: menghadirkan kembali seluruh perasan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi. Gadamer memperlihatkan bahwa pandangan ini tidak tepat. Ia melihat menafsirkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga.
... suatu teks perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau dan masa depan demi manfaatnya untu masa kini. (Hardiman 2003)

Dengan demikian, dalam wilayah ilmu-ilmu sosial akanlah lebih tepat bilamana metode hermeneutik ini diterapkan untuk memperoleh pengetahuan, dalam hal ini makna.

Positivisme dalam Tujuan Evaluasi Peserta Didik di Indonesia
Dengan memahami adanya pandangan positivisme beserta problematikanya dalam ilmu sosial, termasuk pendidikan, sekarang dapatlah kita melihat lebih jeli tentang tujuan evaluasi peserta didik di Indonesia. Pemahaman akan tujuan evaluasi ini akan berdampak pada sistem pelaporannya.

Berdasarkan Permendiknas No. 20 tahun 2007 pada Lampiran bagian F dan G, praktek evaluasi yang berjalan saat ini setidaknya tergambar sebagai berikut: peserta didik yang telah mengalami proses pembelajaran di dalam kelas dalam rentang waktu tertentu akan dievaluasi proses belajarnya oleh sang guru dengan menggunakan berbagai alat tes. Mulai dari kuis, pekerjaan rumah, tugas, ulangan harian, ulangan tengah semester hingga ulangan akhir semester; bilamana ada, juga ulangan kenaikan kelas atau ujian nasional.

Pada akhirnya didapatlah hasil belajar siswa yang kemudian dilaporkan dalam berbagai bentuk pelaporan kepada orang tua. Secara tipikal, bentuk laporan evaluasi hasil belajar atau rapor siswa mengandung angka-angka atau nilai-nilai pencapaian per mata pelajaran.
Sesuai dengan UU no.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XVI, bagian kesatu, pasal 57-59 mengenai evaluasi, di sana tertera kebijakan mengenai Penyelenggaraan Evaluasi bagi peserta didik:
 
Pasal 57
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Dalam kesempatan ini, kita akan menyoroti dua pasal pertama, yaitu pasal 57 dan 58, karena kedua pasal ini berhubungan langsung dengan sistem evaluasi dan bentuk pelaporannya.

Dari kedua pasal di atas setidaknya kita dapat mengetahui tujuan evaluasi. Evaluasi bertujuan mengandalikan mutu pendidikan secara nasional (57 ayat 1) dan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik (58 ayat 1).

Dengan mencermati produk-produk perundangan yang menyangkut sistem evaluasi, baik UU No.20/2003, PP No.19/2005 atau Permendiknas No. 20/2007, aturan-aturan ini cenderung merujuk kepada ciri-ciri pandangan positivistik:
1.    Tujuan Evaluasi: evaluasi belajar siswa dimanfaatkan untuk mengendalikan mutu pendidikan.
2.    Bentuk Laporan Evaluasi: Bentuk pelaporan evaluasi hasil belajar siswa (rapor atau SKHTB) yang direduksi pada dimensi kognitif dan diukur secara kuantitatif pada setiap mata pelajaran.
Pada kedua temuan di atas, telihat jelas, bahwa baik tujuan evaluasi belajar maupun bentuk laporan evaluasi belajar sangat dekat dengan metodologi yang digunakan pada ilmu-ilmu alam (Eklaren) dibandingkan ilmu-ilmu sosial (Verstehen).

Hasil evaluasi lebih condong digunakan untuk bagaimana mengendalikan mutu pendidikan daripada menafsirkan dan memahami apa yang sedang terjadi pada peserta didik. Hal ini sangat dimungkinkan karena bentuk laporan evaluasi terdiri atas angka-angka yang ‘mewakili’ hasil dari proses belajar siswa. Dengan kata lain evaluasi lebih berorientasi pada pemanfaatan hasil dari pada proses belajar.

Melalui rapor, hasil belajar siswa direduksi kepada ranah kognitif yang sebenarnya tidak mampu mencerminkan siswa dan kemampuan siswa yang seutuhnya.  Demikian juga pada hasil UN, keberhasilan siswa melampaui suatu jenjang pendidikan diukur melalui suatu alat tes di akhir jenjang pendidikannya. Orientasi pada keberhasilan adalah salah satu ciri pandangan positivisme.

Alternatif Pendekatan dalam Pelaporan Evaluasi Hasil Belajar Siswa
Penjelasan pada bagian ini tidak akan berujung pada saran perombakan total tujuan sistem evaluasi maupun penghapusan bentuk laporan hasil evaluasi belajar yang selama ini telah ada. Namun bagian ini akan lebih menunjukkan bahwa tujuan dan bentuk laporan hasil evaluasi siswa saat ini belum cukup dan perlu mengalami perbaikan.

Tujuan evaluasi yang bermuara pada peran pengendalian dan laporan evaluasi hasil belajar siswa (rapor) yang tereduksi hanya di ranah kognitif belum cukup untuk menjelaskan secara memadai perkembangan dan kemajuan pembelajaran siswa. Padahal informasi mengenai perkembangan dan kemajuan siswa sangatlah penting dalam proses evaluasi. Informasi ini akan menolong baik siswa maupun orangtua dan guru mengenai hal apa yang masih perlu diperbaiki dan hal yang perlu mengalami perhatian khusus.

Sudah selayaknya  rapor memberikan penjelasan yang lebih utuh dari rapor tradisional yang hanya berupa angka atau huruf. Angka dan huruf tidak mampu menjelaskan perkembangan dan kemajuan siswa, ia hanya menjelaskan pencapaian akhir belajar siswa. Tidak salah jika sekarang ini tujuan evaluasi adalah untuk pengendalian, dalam hal ini pengendalian atas hasil belajar siswa atau nilai; karena tanpa data kuantitatif tersebut, pengendalian akan sulit untuk dilakukan.

Satu hal penting yang dilupakan untuk dipahami adalah, evaluasi bukan semata-mata ditujukan untuk fungsi pengendalian, tetapi juga sebagai alat untuk memahami perkembangan dan kemajuan siswa dalam proses belajarnya. Pemahaman terhadap proses belajar siswa dari pada pengendalian hasil belajar siswa akan memberikan keuntungan yang besar baik bagi siswa maupun orangtua dan guru. Setidaknya, tindakan remediasi dan perbaikan dapat dilakukan dengan tepat sasaran sehingga siswa dan orangtua dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi kemajuan dan perkembangan belajar siswa.

Di sinilah peran metode hermeneutik menjadi sangat penting dipahami oleh guru. Siswa sebagai teks, perlu dipahami secara menyeluruh melalui komunikasi dan penafsiran atas tingkah laku maupun sikap yang ditunjukkan di dalam kegiatan pembelajaran, atau seperti yang dikatakan Dilthey sebagai empati dan rekonstruksi. Guru perlu menguasai teori-teori belajar dan psikologi perkembangan dasar yang diperlukan untuk memberikan laporan yang mendekati kondisi sebenarnya. Bentuk laporan tidak lagi diwakilkan dalam bentuk angka atau huruf, tetapi bersifat naratif. Pada rapor ini akan dilaporkan perkembangan dan kemajuan siswa. Grant Wiggins (1994) menamakannya Rapor Longitudinal.

Rapor Longitudinal
Grant Wiggins, seorang pakar assessment menyatakan pentingnya unsur perkembangan (growth) dan kemajuan (progress) di dalam bentuk rapor longitudinal:

Progress is an objective measure of performance gains made over time on a standard-referenced longitudinal scale. It is measured “backwards” from a desirable destination—the standard... Growth, by contrast, represents a judgment about whether current performance falls short of, meets, or exceeds our expectations for that particular student at that time. In a sense we look to the past, not forward to the destination (standard). (Wiggins, 1994)

Oleh karena Rapor Longitudinal ini berisi perkembangan dan kemajuan, maka bentuk rapor tidaklah mungkin hanya berisi angka dan huruf, tetapi harus lebih banyak berisi narasi mengenai perkembangan dan kemajuan siswa. Di sinilah peran guru sebagai pencatat sekaligus penafsir proses pembelajaran siswa secara tidak langsung menggunakan metode hermeneutik.
Metode hermeneutik, yang diwujudnyatakan pada pendekatan kualitatif dalam pelaporan evaluasi hasil belajar siswa ini dipertegas kepentingannya oleh Jon E. Travis:

What is needed, essentially, is a new paradigm of student assessment that incorporates the four criteria of knowledge, skills, behavior, and attitudes and emphasizes the multiple measurement approach, which is basic to sound evaluation and qualitative research. (Travis, 1996)

Lebih rincinya, Wiggins menambahkan tentang apa yang harus dilaporkan dalam Rapor Longitudinal:

What should we report ? We should relate disaggregated achievements, progress, intellectual character, and specific successes or weaknesses that are highly illustrative of overall performance. “Disaggregated” means, above all else, not using a single grade, score, or description to characterize performance in an entire subject area. Rather, what is wanted, … is the breakdown of (inherently) complex performance into its many subelements, similar to what we find on the baseball card. (Wiggins, 1994)

Singkatnya, rapor tidak lagi diisi oleh angka atau huruf, tetapi juga penjelasan mendetail atas pencapaian siswa. Bahkan ia menambahkan, perlunya dilampirkan hasil kerja, rubrik atau karya tulis siswa dalam bentuk portofolio:

Is a report card self-sufficient? No, it is not. Grades are symbols for verifiable performance and product evaluations. Thus, for the report card to be maximally informative, it must be backed up with work samples, rubrics, anchor papers, and commentary. (Wiggins, 1994)

Dengan dilengkapinya rapor dengan laporan naratif dan portofolio, orangtua dan siswa tidak lagi terpaku pada hasil akhir tanpa mendapatkan informasi untuk merefleksikan dan mengevaluasi proses pembelajaran sedang yang terjadi. Orangtua dan siswa dapat dengan lebih mudah dan lebih tepat dalam menilai dan mengambil keputusan setelah mendapatkan laporan naratif atas proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Angka-angka yang muncul di dalam rapor tidaklah menjadi sulit lagi untuk ditafsirkan, karena terdapat laporan naratif sebagai pendamping yang menjelaskan mengenai proses pembelajaran yang terjadi pada siswa sehingga mendapatkan hasil akhir seperti demikian.

Bilamana rapor siswa berisi laporan naratif atas perkembangan dan kemajuan siswa, maka tujuan evaluasi tidaklah perlu sesempit peran pengendalian mutu pendidikan saja. Tujuan sistem evaluasi hasil belajar siswa dapat dikembangkan kepada peran pemahaman mutu siswa itu sendiri.

Kesimpulan
Tujuan evaluasi yang tercantum pada undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional bersifat positivistik, hal ini setidaknya terlihat dari tujuan untuk mengendalikan mutu pendidikan. Oleh karenanya, bentuk pelaporan hasil belajar siswa terwujud hanya dalam bentuk angka dan huruf. Rapor ini tidak memadai untuk digunakan sebagai alat memperbaiki dan meremediasi proses belajar siswa.

Proses Belajar siswa meliputi perkembangan dan kemajuannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Hal ini hanya dapat dilaporkan dalam bentuk naratif melalui metode hermeneutik. Guru berempati dan merekonstruksi tingkah laku dan sikap siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan mendokumentasikannya secara naratif. Laporan naratif ini dirangkum dalam Rapor Longitudinal, yang tidak hanya melaporkan pencapaian siswa, tetapi juga proses belajarnya.

Tujuan evaluasi yang tidak hanya berorientasi pada pengendalian mutu pendidikan tetapi pemahaman mutu siswa, akan berujung pada bentuk laporan evaluasi hasil dan proses belajar siswa.

Bibliografi
•    Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2004.
•    Hardiman, F. Budi. Melampaui Moderintas dan Positivisme. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2003.
•    Hardiman, F. Budi. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2011.
•    LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL. NOMOR 20 TAHUN 2007 TANGGAL 11 JUNI 2007: STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN.
•    Travis, Jon E.. Meaningful Assessment. The Clearing House, Vol. 69, No. 5 (May - Jun., 1996), pp. 308-312. ylor & Francis, Ltd. 1996.
•    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003: SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
•    Wiggins, Grant. Toward Better Report Cards. Educational Leadership, October 1994, Volume 52, Number 2, Pages 28-37. ASCD. 1994.
•    Wiggins, Grant. Defining Assessment. www.edutopia.org/grant-wiggins -assessment. Edutopia. 2002


Left and Right Brain: We've Been Deceived!

>> Monday, October 8, 2012

Sejak awal tahun 200-an, saya adalah salah satu penganut teori peran belahan otak kiri dan kanan. Hal ini dimulai dari buku yang saya baca Quantum Learning karangan Bobbi DePorter yang diterbitkan oleh Kaifa. Teori ini menyatakn bahwa otak kiri lebih berperan pada fungsi logika dan otak kiri pada fungsi kreatif. Tidak hanya sampai menjadi penganut yang setia, tidak sedikit pelatihan yang saya pernah berikan kepada siswa atau orang dewasa mengenai topik ini dalam hubungannya dengan pendidikan dan pembelajaran. Saya sangat menyukai topik ini, bahkan boleh dikatakan cukup fanatik. Saya membaca buku-buku, mendengarkan seminar-seminar dan mengumpulkan artikel-artikel yang berhubungan dengannya, sungguh sesuatu yang menyenangkan mempelajarinya. Hingga suatu saat...

Saya membaca buku karangan Margaret E. Gredler, Learning and Instruction dan saya menjadi sangat terkejut. Pemahaman saya mengenai kerja otak belahan kiri dan kanan yang sangat populer itu, ternyata hanyalah sebuah isapan jempol belaka, atau dalam dunia neurologi disebut neuromythology, sebuah mitos! Tapi, mengapa bisa sedemikian populernya teori peran belahan otak ini?

Ternyata, beginilah kisahnya,
Pada tahun 60-an dilakukan penelitian terhadap pasien pengidap epilepsi yang mengalami putusnya corpus callosum (jaringan yang menghubungkan otak belahan kanan dan kiri). Peneliti ini akhirnya hanya dapat memberikan rangsangan kepada salah satu belahan otak saja pada saat yang sama. Pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa dua belahan otak ini bertindak secara independen untuk proses-proses tertentu, yang pada penelitian lanjutan digolongkan dengan otak kiri untuk memproses logika dan otak kanan proses kreatif. Hasil ini kemudian dikuatkan oleh media yang terlalu menyederhanakan dan menggeneralisasi temuan-temuan ini secara sembrono.

Dalam forum-forum neurosains yang disponsori oleh Organization for Economic Co-operation and Development, keyakinan atas temuan-temuan sembrono ini disebut neuromythologies atau sebuah mitos belaka. Nah, untuk menjawab pertanyaan mengapa teori belahan otak ini menjadi sangat populer adalah karena kesederhanaan teori ini dan pengaruh media yang meledakkan hasil temuan.

Dengan adanya informasi baru mengenai teori ini, saya terus terang harus 'bertobat' dari pengertian saya yang salah. Sebagai bukti keinsyafan, saya sedang mempelajari lebih jauh mengenai akibat dari adanya belahan otak ini dan hubungannya terhadap pembelajaran. Hingga saat ini setidaknya saya menemukan dua hal:

1. Michael S. Gazzaniga dari Harvard University, menemukan bahwa belahan otak kiri cenderung bersifat menemukan dan menafsirkan sedangkan otak kanan bersifat meyatakan kebenaran dan harafiah:
"the left hemisphere is "inventive and interpreting", whilst the right brain is "truthful and literal."
2. Elkhonon Goldberg, seorang neuroscientist menjelaskan bahwa asosiasi antar belahan dalam hubungannya dengan bahasa adalah relasi antar belahan bersifat dinamis, tugas-tugas baru ditangani otak kanan dan kontrol beralih ke otak kiri setelah tugas-tugas itu menjadi sebuah rutinitas. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa perbedaan biokimia dan struktural antara kedua belahan tidak cukup untuk menyimpulkan ada yang berbeda di antara keduanya.

Dengan demikian sebaiknya teori peran belahan otak yang independen (kanan dan kiri) sudah saatnya dikuburkan dengan melakukan upacara yang sehikmat mungkin.Karena setidaknya teori ini telah berhasil menghipnotis jutaan orang dan ribuan pendidik untuk mengajarkan pada anak-anak, termasuk saya...


Quo Vadis UKG?

>> Wednesday, October 3, 2012

"...peserta UKG 2010 harap mengambil nomor peserta tgl 1 Okt ..."
Itu adalah sepenggal bunyi sms yang saya terima dari rekan saya sehari sebelumnya. Teman saya ini juga memberitahukan bahwa saya akan menempuh Ujian Kompetensi Guru pada tanggal 2 Oktober.

Pada tanggal yang telah ditentukan, saya bersama-sama lima rekan lain berangkat ke lokasi pelaksanaan UKG. Perjalanan tidak terlalu lama, mungkin sekitar 30 menit sampai di lokasi. Berduyun-duyun, kami segera menuju ruangan yang ditunjuk. Setelah sejenak mengalami kebingungan, kami mendapat pembertahuan bahwa ujian akan dilangsungkan 1,5 jam lagi, mengingat peserta gelombang satu baru memulai ujiannya 30 menit yang lalu dikarenakan gangguan pada server.

Kami akhirnya memutuskan untuk mencari makan dahulu. Kami berjalan pergi untuk makan di warteg dekat lokasi pelaksanaan UKG. Kira-kira 1 jam kemudian kami kembali di depan ruangan dan kami harus menunggu 30 menit lagi untuk dapat masuk rungan. Kami mengisi waktu dengan mengobrol sesama rekan dan kolega dari sekolah lain.

Tibalah akhirnya saat yang ditunggu-tunggu, akhirnya kami dipersilahkan masuk ke dalam ruangan. Menjelang masuk, salah satu peserta yang baru saja ujian mengeluhkan proses ujian yang tidak sesuai harapannya. Kami juga diberitahu bahwa nilai minimal yang harus diraih adalah 40, yang bagi saya cukup aneh: >40 = LULUS?

Segera setelah kami duduk di hadapan komputer, kami diminta untuk berlatih terlebih dahulu. Dengan bantuan operator, kami dibimbing untuk melakukan latihan menggunakan aplikasi. Aplikasi cukup sederhana dan mudah untuk dilakukan. Setelah latihan dirasa cukup, akhirnya saya memutuskan untuk memulai ujian. Dari sinilah, hal yang menarik terjadi...

Dimulai dengan pengisian profil peserta ujian, saya sendiri relatif mengisinya dengan mudah, walaupun ada sedikit kebingungan di awal, namun pengisian data relatif lancar, sehingga ujian dapat dimulai. Namun, salah seorang teman saya yang S-1 terpaksa harus mengisi data sebagai lulusan D-3 supaya ia dapat melanjutkan pada soal ujian.

Soal pertama saya dapat jawab dengan baik, namun pada soal kedua dan sebagian besar soal seterusnya saya menemukan kesulitan. kesulitan ini bukan karena saya tidak mampu menjawab soal, melainkan karena soal TIDAK ADA! Yang terdapat di layar hanyalah pilihan jawaban! dari 80 soal, 43 soal tidak lengkap atau tidak ada dan 2 soal tidak ada pertanyaannya. Pengawas dan operator di ruang UKG menyarankan untuk kami tetap menjawab alias melakukan tebak kancing! Apa yang saya alami ini ternyata dialami juga oleh semua peserta UKG di ruangan itu. Salah seorang teman saya lebih parah lagi, pada layar tidak terdapat soal dan tidak terdapat jawaban!

Saya segera menyelesaikan ujian sesegera mungkin dengan menebak jawaban. Sementara saya menebak, sang pengawas berulang kali menelpon seseorang (mungkin petugas server atau panitia UKG) menyampaikan hal-hal yang terjadi di ruangan kami. Alhasil saya mendapat nilai 37! Nilai yang sangat memalukan. Nilai teman-teman saya tidak ada yang melampaui 62. Akhirnya kami pulang sambil menertawakan semua hal yang terjadi selama UKG...

...

"Uji Kompetensi Guru (UKG) bertujuan untuk pemetaan kompetensi, sebagai dasar kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (continuing professional development) serta sebagai bagian dari proses penilaian kinerja untuk mendapatkan gambaran yang utuh terhadap pelaksanaan semua standar kompetensi."
Begitulan bunyi tujuan diadakannya UKG, kata Bpk.Syawal Gultom.

Bagi saya, dari apa yang saya dan teman-teman di ruang pelaksanaan UKG alami, dua tujuan UKG ini GATOT, alias gagal total! Secara ilmiah, dari ciri-ciri ujian yang baik: Validitas, Reliabilitas, Objektifitas, Praktikabilitas dan Ekonomis; tidak terpenuhi.Dan secara finansial, pelaksanaanya telah merugikan negara setidaknya Rp 50 miliar:

"Sekretaris Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidik (Kepala BPSDMP-PMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyampaikan, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk menggelar Uji Kompetensi Guru (UKG) mencapai Rp 50 miliar."

Saya juga menilai, pelaksanaan UKG ini terkesan terburu-buru dan dipaksakan. UKG dilaksanakan tanpa kesiapan yang matang dan bermuara pada hasil yang sangat tidak memadai untuk memetakan kompetensi guru dan penilaian kinerja. Hal ini menjadi bumerang bagi Kementrian Pendidikan Nasional, yang sedang diuji kompetensi dan kinerjanya melalui pelaksanaan UKG ini.

Lebih jauh dari itu, saya juga mempertanyakan validitas penyelenggaraan UKG dalam bentuk menjawab soal pilihan ganda. Saya berpikir, pemetaan kompetensi guru tidak dapat dilakukan dengan menjawab soal pilihan ganda, tetapi ada hal yang jauh lebih luas dari itu. Analoginya, saya tidak bisa menilai kompetensi bersepeda seseorang dengan meminita orang itu menjawab soal pilihan ganda...

Quo Vadis UKG?


FOOD MATTERS

>> Wednesday, March 7, 2012

Kanker dapat disembuhan! Penyakit jantung dapat dipulihkan sempurna! demikian jaminan yang disampaikan oleh para nara sumber dalam film dokumenter asal Australia ini. Film Food Matters yang berdurasi 80 menit ini sarat dengan fakta-fakta yang hampir tidak dapat dipercaya, seperti ternyata penyembuhan kanker telah dan dapat disembuhkan sejak tahun 1930-an hanya dengan mengkonsusi vitamin C berdosis tinggi!

Saya sendiri hampir tidak bisa mempercayai fakta-fakta yang dituturkan di sini, it's too good to be true... Jika memang kenyataannya adalah demikian, betapa pemerintah dan semua kalangan yang berkepentingan dapat mengambil manfaat atas penemuan dan berita ini tidak hanya bagi kepentingan orang dewasa sekrang, tetapi juga generasi yang akan datang, yaitu anak-anak kita.

Berbeda dengan cara-cara penyembuhan alternatif yang banyak kita dengar di media Indonesia saat ini, sesungguhnya film ini tidak melulu menyodorkan cara menyembuhkan penyakit, tetapi lebih kepada bagaimana makanan mempengaruhi kesehatan seseorang dan mengapa banyak hal mengenai manfaat nutrisi selama ini ditutupi oleh propaganda pabrik obat secara internasional! Judul film ini juga dijadikan nama aktivitas yang mereka lakukan sebagai sebuah lembaga konsultasi kesehatan.

'You are what you eat' (Anda adalah apa yang Anda makan) demikian tagline yang diusung oleh film yang diproduksi tahun 2008 ini. Dalam film ini ditunjukkan pembongkaran konspirasi pabrik obat senilai US$ 0.5 trilliun di dunia dan mengapa setelah 75 tahun lebih para ilmuwan tidak dapat menemukan cara menyembuhkan penyakit mematikan seperti kanker, jantung, diabetes atau depresi. Para penggiat Food Matters ini berpijak pada pernyataan Bapak Kedokteran Hipokrates (400 SM): Let thy food be thy medicine (Biarkan makanan Anda menjadi Obat Anda). James Colquhoun, salah satu produser dan sutradara film ini juga membukakan fakta-fakta ilmiah tentang bagaimana nutrisi dapat meningkatkan kualitas hidup dan bagaimana nutrisi dapat menangkal serta menyembuhkan penyakit-penyakit kronis dengan tingkat keberhasilan 100% dengan biaya murah! Bandingkan dengan tingakat keberhasilan usaha penyembuhan kanker yang hanya 30% dengan biaya yang sangat tidak terjangkau.

Film ini diawali dengan fakta bahwa makanan yang kita konsumsi saat ini telah mengalami defisiensi atau pengurangan kualitas. Tidak hanya karena proses pengolahannya, yang mengurangi setidaknya 50% kandungan nutrisi, tetapi juga dari kualitas makanan mentah yang hanya tinggal 40% saat berada di dapur rumah kita. Dengan kata lain, nutrisi yang terserap oleh tubuh kita kurang dari 20% dari kandungan sebenarnya. Belum lagi ditambah dengan resapan pestisida dan racun lainnya yang melekat dalam makanan mentah itu.

Fakta lain yang diungkapkan adalah hampir tidak pernah dokter meresepkan nutrisi dalam resepnya saat kita berobat. Hal ini terjadi karena nutrisi atau vitamin tidak pernah dipercaya oleh dokter dan sebagian besar masyarakat sebagai penyembuh penyakit. Hal ini diperparah oleh berbagai penelitian, jurnal ilmiah dan artikel media bahwa vitamin yang terlalu banyak dikonsumsi akan mematikan. Hal ini merupakan kesalahan kata Andrew Saul, PhD., salah seorang narasumber yang diwawancarai dalam film ini. Di Amerika serikat sendiri sebanyak hampir 2,5 juta orang (kira-kira 160.000 orang/tahun) meninggal akibat efek samping atau reaksi obat-obatan dan hanya 10 orang (kira-kira 1/2 orang/tahun) meninggal karena vitamin dalam 23 tahun terakhir!. Perlu diperhatikan, obat-obatan ini dikonsumsi sesuai aturan dan anjuran dosis yang tepat.

Hal lainnya adalah dikarenakan hanya kurang dari 6% dokter yang menerima pelatihan dan pembelajaran mengenai nutrisi. Tidak mengherankan tentunya mengapa dokter meresepkan obat dan bukan nutrisi/vitamin. Yang lebih mencengangkan adalah konspirasi pabrik obat! Mereka membungkam setiap penelitian dan program yang berhubungan dengan penggunaan nutrisi atau vitamin bagi pasien. Mengapa? Bayangkan seseorang berpenyakit kanker disembuhkan secara total dalam waktu hanya 3 bulan hanya dengan memasukan vitamin C dosis tinggi ke dalam tubu melalui selang infus. Biayanya sangat rendah, usahanya sangat mudah, semua oarang bisa melakukannya. Bandingkan dengan kerumitan proses kemoterapi, radiasi atau operasi yang memakan biaya ratusan juta hingga miliran rupiah! Pabrik obat akan kehilangan pemasukan terbesarnya!

Adapun pernah dipublikasikan bahwa vitamin tidak berguna atau berbahaya bagi tubuh adalah lebih tidak masuk akal kata mereka. Andrew Saul, PhD. meminta mahasiswanya untuk mencari bahaya dari vitamin bagi tubuh selama lebih dari 30 tahun dan tidak menghasilkan apa-apa. Teori yang mengatakan vitamin tidak terlalu bermanfaat dalam menyembuhkan penyakit dikarenakan sampel penggunaan dalam penelitian tidak menggunakan dosis tinggi.

Film ini juga menuturakan cara-cara yang amat sederhana dan jauh dari biaya tinggi untuk mengatasi penyakit jantung, diabetes, depresi dan yang lebih penting bagaimana menjaga tubuh tetap sehat. David Wolfe, nara sumber lainnya memberikan pencerahan mengenai pentingnya mengkonsumsi makanan organik mentah yang dijuliki superfood. Biji buah Kakao misalnya, biji yang dikonsumsi mentah ini memiliki kandungan antioksidan dan mineral tertinggi dari jenis makanan lain. Bagaimana dengan detoksifikasi atau pengeluaran racun dari tubuh? Ternyata hanya dengan meminum 1-2 liter air di pagi hari sebelum makan akan melenyapkan segala racun yang menempel di dalam hati, racun akan dikeluarkan melalui urin. Prof. Ian Brighthope menambahkan dengan mengkonsumsi 60 mg vitamin C per hari membuat tubuh menjadi lebih kuat dalam menangkal berbagai penyakit.

Biarkan Makanan Anda Menjadi Obat Anda. Saat Anda sekedar pilek atau demam, Mengapa Anda memilih obat dan bukan nutrisi/vitamin untuk menangkalnya? Ini adalah tantangan jaman ini, dimana makanan bukanlah lagi menjadi makanan tetapi gaya hidup. Fakta-fakta dalam film ini tidak hanya sulit dipraktekan tapi juga mungkin sulit diterima, tapi layak untuk dicoba...

A National Challange: Scientific Journal

>> Wednesday, February 8, 2012

Kewajiban penulisan karya ilmiah yang wajib diterbitkan di jurnal ilmiah termasuk hal baru di negara ini. Di satu sisi, seperti kata Dirjen Dikti, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas lulusan melalui perbaikan kemampuan menulis (Kompas, 7 Februari 2012). Penegasan juga dinyatakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhamad Nuh, yaitu untuk menumbuhkan budaya menulis dan dengan demikian jumlah jurnal yang dihasilkan di nusantara ini dapat terdongkrak. Sedangkan mengenai jumlah jurnal ilmiah dan jumlah lulusan yang tidak seimbang, sepeRti yang dikeluhkan pimpiman peguruan tinggi peerintah dapat mengatasinya dengan menerbitkannya secara online.

Jumlah jurnal ilmiah di Indonesia yang terpaut jauh dengan negara tetangga, Malaysia, telah membuat pemerintah kebakaran jenggot. Kesadaran ini tentunya sangat baik, hanya saja keterampilan menulis apalagi menulis jurnal ilmiah bukanlah semudah membalik telapak tangan. Karena di dalamnya melibatkan keterampilan berpikir kritis dan determinasi tinggi.

Keterampilan menulis siswa Indonesia kurang ditekankan sejak dini. Jangankan di luar Jawa, di ibukota pun kemampuan menulis siswa masih kurang. Hal ini diukur dari prosentase penerbitan tulisan di media cetak, blog atau sayembara menulis, peminatnya kalah bersaing dengan permainan games online. Kurikulum Indonesia belum secara tajam menekankan kemampuan menulis sebagai salah satu keterampilan yang harus dimiliki selepas pendidikan dasar.

Selain itu, kemampuan berpikir kritis, yang mendasari kemampuan meneliti, juga tidak ditanamkan sejak usia dini. Hal ini terbukti dari kesibukan siswa kelas akhir di tiap jenjang dalam mempersiapkan Ujian Nasional. Kesibukan ini selalu disorot oleh media setiap tahun, bagaimana siswa di-drill dengan soal-soal demi kelulusannya di jenjang tersebut. Demikian pula dalam pembelajaran sehari-harinya, kemampuan berpikir kritis siswa tidak terasah karena pola pembelajaran yang masih cenderung pada ketrampilan berpikir tingkat rendah, menghafal dan pemahaman. Sedangkan menurut Taksnomi Bloom, kemampuan berpikir kritis dimulai ketika siswa dapat menganalisa atau menguraikan suatu masalah.

Jadi persoalan sedikitnya jurnal yang diterbitkan di Indonesia, harusnya diteropong lebih jauh ke jenjang pendidikan dasar. Di sekolah kami, para siswa kelas 11 diwajibkan untuk membuat karya ilmiah. Proses penulisannya tidak jauh dari penulisan skripsi mahasiswa program sarjana, mulai dari pengajuan proposal, pembimbingan, penulisan hingga perbaikan. Beberapa standar memang sedikit diturunkan, namun untuk hal-hal pokok tidak ada tawar menawar. Karya ilmiah mereka pun dipertanggung jawabkan di hadapan guru dan teman-teman mereka. Hal ini sangat berkesan bagi siswa dan telah memberikan modal awal untuk menumbuhkan kemampuan menulis dan berpikir kritis mereka. Sebagian besar siswa ini telah mengalami pelatihan menulis dan berpikir kritis sejak di bangku SD.

Pada jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa program sarjana sebenarnya tidak perlu kuatir dengan diharuskannya karya ilmiah atau tugas akhir mereka diterbitkan di jurnal ilmiah, karena hal ini telah melewati proses pembimbingan oleh dosen. Hanya saja penerbitan skripsi atau karya ilmiah di sebuah jurnal ilmiah akan menjadi masalah tersendiri, karena jurnal ilmiah yang baik memiliki persyaratannya sendiri. Penerbitan harus melewati proses seleksi dan penyuntingan oleh dewan redaksi yang ketat, hal ini mengakibatkan penerbitan tulisan di jurnal ilmiah menjadi terbatas. Pelonggaran persyaratan hanya akan menurunkan kualitas jurnal, lebih jauh lagi kualitas kampus bersangkutan akan terefleksi darinya.

Penerbitan jurnal ilmiah online hanyalah sebuah jalan pintas. Jika pemerintah hanya ingin mengejar kuantitas lebih dulu, sebaiknya dilakukan di tingkat lokal bukan nasional. Penerbitan secara online juga menimbulkan pertanyaan mengenai pemeliharaan situs. Jurnal harus dapat terunggah dengan mudah, terklasifikasi dan terpelihara secara berkelanjutan. Penerbitan online ini juga akan merangsang munculnya plagiator. Dengan sangat masifnya jumlah karya ilmiah di internet nantinya, akan memudahkan para plagiator melakukan tindakannya. Tentunya masih segar di ingatan kita beberapa tahun lalu mengenai beberapa doktor yang mencontek hasil karya orang lain. Jurnal online juga akan menjadi lahan basah baru bagi oknum-oknum tertentu untuk menawarkan jasanya pada calon sarjana. Demi kelulusan dan titel sarjananya, apapun akan dilakukan oleh mahasiswa yang malas.

Hal penting lainnya adalah berapa jumlah dosen atau guru besar yang aktif dalam penulisan di jurnal ilmiah. Bagaimana mungkin meminta mahasiswa menulis karya ilmiah dengan baik tanpa melihat pengajarnya aktif menulis.

Ada baiknya pemerintah tidak terburu-buru untuk menetapkan kebijakan jurnal ilmiah ini. Penulis berpendapat, kebijakan ini dapat segera diterapkan kepada pada dosen dan guru besar atau juga pada mahasiswa magister dan doktor terlebih dahulu. Sementara itu, pemerintah meramu dan menetapkan kurikulum yang lebih tajam dalam meningkatkan budaya menulis dan berpikir kritis sejak dini.

apa pendapat Anda?

Kill Your Children 'Sweet'-ly!

>> Thursday, January 26, 2012

Judul di atas memang provokatif, saya sengaja menuliskannya, karena ini adalah propaganda dari hampir semua industri makanan di jaman ini. Walau mereka tidak menyatakannya secara langsung, tapi ini adalah fakta yang sebenarnya: mereka ingin membunuh pelan-pelan anak Anda dengan cara yang 'manis'!

Sebuah media cetak nasional kemarin menerbitkan suplemen mengenai gizi anak. Hal ini amat langka dilakukan oleh media, karena topiknya kurang menggigit dan menjual. Namun saya sangat mengapresiasi penerbitan ini; dikarenakan isu nutrisi, khususnya pada anak, di negeri ini telah kalah pamor dengan berita-berita korupsi, politik dan lainnya.


fattest man in the world, 600kg
Ada apa dengan nutrisi anak di Indonesia? Saya akan mulai dari fakta berikut: fenomena kebanyakan negara maju adalah berkembangnya populasi orang-orang obesitas atau kelebihan berat badan. Menurut Wikipedia, Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. Misalnya, anak usia 10 tahun normalnya memiliki berat badan sekitar 30 kg, namun bila ia memiliki berat 40kg ia sudah tergolong memiliki obesitas ringan.


Nah, gejala anak-anak obesitas mulai muncul di kota-kota besar di Indonesia, padahal negara ini belum dikategorikan negara maju! Mengapa bisa demikian? Ini karena pola makan, gaya hidup dan sikap konsumtif sebagian mansyarakat kita yang belum disiplin. Gempuran makanan yang dibumbui gengsi dengan mudah mempengaruhi sebagian masyarakat. Saya teringat ketika sebuah gerai fast food terkemuka dibuka di dekat tempat saya tinggal. Gerai itu menawarkan diskon 50% untuk semua pengunjung yang membeli salah satu produknya,, sontak antrian panjang mengular di gerai tersebut sepanjang hari pertamanya buka di wilayah kami. Di Indonesia sendiri, menurut data tahun 2004, jumlah obesitas para pria 9% (sekitar 19 juta jiwa), sedangkan wanita 11% (sekitar 23 juta jiwa); jumlah ini terus meningkat setiap tahun. Sedangkan pada tahun 2007, penduduk diatas 15 tahun yang mengalami obesitas mencapai 19% (sekitar 30 juta jiwa)

Mengapa obesitas jadi sorotan para pakar nutrisi dan medis? Obesitas bisa dikatakan sebagai 'pintu' masuk penyakit-penyakit berbahaya seperti diabetes, darah tinggi, gangguan penafasan dan jantung, bahkan bisa berujung pada stroke atau kanker. semua penyakit tersebut adalah penyakit pembunuh umat manusia paling berbahaya saat ini menurut WHO. Bila anak-anak tidak mendapatkan nutrisi yang terbaik, kita akan kehilangan sebuah generasi, atau setidaknya kehilangan generasi yang bermutu. Sayangnya, sebagian besar masyarakat belum paham benar mengenai obesitas ini, khususnya penyebab dan penanggulangannya.

Tidak sedikit faktor penyebab obesitas, diantaranya adalah pola makan yang tidak disiplin, kandungan gizi dalam makanan yang dikonsumsi tidak seimbang, hingga anak-anak yang semakin jauh dari aktifitas fisik dan lebih memilih sebagai 'couch potato'. Anak-anak sekarang lebih banyak duduk dan menikmati tontonan atau bermain permainan elektronik, dari pada kegiatan yang melibatkan seluruh fisiknya. Satu hal yang saya ingin saya soroti saat in adalah tentang asupan, khususnya GULA sebagai pelaku utama bertambahnya berat tubuh. Mungkin Anda bertanya, lho bukannya LEMAK? Lemak, khususnya yang jenuh memang juga berbahaya bagi tubuh, tapi tidak sejahat gula. Pasokan energi yang pertama kali diolah tubuh untuk semua aktifitas kita adalah gula. Bila gula bertumpuk, maka lemak pun bertumpuk; inilah yang mengakibatkan orang lebih menyalahkan lemak dari pada gula. Padahal oleh karena gula yang terlalu banyak dalam tubuhlah yang mengakibatkan lemak tak diproses secara seharusnya.

Gula adalah bahan bahan tambahan pangan (food additive) terbesar yang digunakan dalam makanan. Garam menempati posisi nomor dua, namun jumlahnya tidak sampai 1/3 gula. Gula tidak hanya ditemui pada bentuknya yang umum, yaitu gula pasir, tetapi gula banyak tersembunyi pada makanan atau minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Tidak heran mengapa orang tidak bisa mengerti anaknya menjadi obesitas padahal sedikit sekali mengkonsumsi gula (gula pasir). Padalah karena minimnya pengetahun, ternyata gula jaman ini telah berubah bentuk dan bersembunyi dengan baik di hampir setiap makan terproses (processed food).

Idealnya, konsumsi gula harian untuk anak adalah 12 gr/ 3 sendok teh per hari. Sedangkan untuk dewasa bisa hingga 3 kalinya. Namun coba kita lihat contoh kasus si Dodo yang berusia 5 tahun, pagi hari ibunya membuatkan susu yang ditambah gula 2 sendok makan (16 gr), ibunya juga memberikan sebungkus biskuit sebagai teman sarapan yang di kemasannya tertulis mengandung gula 11 gr. Menjelang siang yang panas terik, Dodo mampir ke warung untuk membeli sekaleng minuman ringan yang mengandung gula 40gr dan meminumnya sampai habis. Ia kurang tertarik dengan makan siangnya, sehingga makan sedikit. Karenaya dua jam kemudian ia kembali lapar dan mengambil dua bungkus coklat di kulkas, yang masing-masing mengandung gula setidaknya 10gr.

Saat makan malam ia menikmati fast food yang mengandung gula setidaknya 15gr. Sebelum Dodo terlelap ia telah mengkonsumsi setidaknya 120gr atau 30 sendok teh gula!!! Gula ini sebagian terpakai untuk diolah menjadi energi dengan kerja yang sangat keras dari hati dan pankreas, sisanya disimpan di otot dan hati sebagai cadangan. Jika Dodo melakukannya setiap hari sepanjang 365 hari setahun, apakah Anda bisa membayangkan berapa berat tubuhnya di akhir tahun? Terlebih lagi, gula yang tersimpan di tubuhnya akan berpengaruh banyak pada aktifitasnya dan kerja otaknya. Dodo akan menjadi 'malas' untuk beranjak dari sofa tau ranjangnya, ia lebih memilih menonton TV atau bermain PC games, cenderung malas untuk berpikir dalam belajar karena selalu mengantuk dan lemas akibat gula yang berlebih dalam tubuhnya.

Sangat sulit untuk membatasi konsumsi gula di jaman ini. Kita sebagai orang tua telah dikepung dengan makanan pabrikan yang dengan gencar dan ngotot membombardir pikiran anak-anak agar menikmati produknya. Tidak ada jalan lain selain mengikuti nasihat orang tua jaman dulu: kita perlu tegas demi masa depan anak yang sehat dan berkualitas. Sebisa mungkin mereka tidak mengkonsumsi makan mengandung gula tinggi tapi tidak mengenyangkan. Menyiapkan makanan ringan / snack alternatif rendah gula atau gula sederhana, seperti buah-buahan atau jus. Menjauhkan lidah anak dari restoran siap saji dan minuman ringan (soft drink).

Anak saya sampai hari ini tidak saya ijinkan mengkonsumsi permen dan soft drink dalam bentuk apa pun. Kami pergi ke restroran siap saji kurang dari sebulan sekali. Memberikan makanan ringan dlam jumlah yang sangat terbatas. Dan anak saya masih hidup bahkan menjalani hidup dengan ceria. Kami melakukannya demi umur panjangnya dan kualitas hidupnya di masa datang.

Bagaimana pengalaman Anda?