Most Valuable Legacy: Example!
>> Monday, March 7, 2011
note: ditulis untuk warta jemaat 'AbbaNews'
I'm an ordinary man with a calling to be a teacher for my family, my students and my community. Here are my notes as I travel through my goal fulfillment...
Tulisan Bapak Sayidiman Suryohadiprojo di harian Kompas edisi Jumat, 18 Februari 2011 dengan tajuk ‘Mendidik untuk Kuat Bersaing’ perlu diapresiasi dan ditindaklanjuti. Perhatian masyarakat kini teralih oleh masalah-masalah yang harus diselesaikan di masa sekarang, sedangkan untuk mencegah apa yang akan terjadi nanti dan membangun masa depan bangsa tidak dilakukan seksama.
Sejalan dengan buku yang diangkat oleh Pak Sayidiman, sebuah film dokumenter mengenai perkembangan terakhir pendidikan di Amerika juga perlu dicermati. ‘Waiting for Superman’ yang disutradarai oleh Davis Guggenheim (2010) mengupas tentang merosotnya kualitas pendidikan akademis di negeri Paman Sam ini. Jika di negara maju seperti Amerika saja pendidikan menjadi masalah besar, apa yang mungkin terjadi dengan negara-negara berkembang sepeti Indonesia?
Walaupun telah banyak gagasan dan wacana dari esai, seminar hingga buku mengenai bagaimana pendidikan karakter dilaksanakan di sekolah, kita tidak dapat memungkiri dan mengesampingkan peran besar keluarga dalam mendidik karakter anak. Keluarga adalah tempat pertama dan utama karakter manusia Indonesia harus dibentuk. Sekolah dan guru tidak memiliki otoritas dan pengaruh sebesar keluarga atu orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan karakter pada diri anak sejak dini. Kisah Amy Chua dalam buku Battle Hymn of the Tiger Mother telah menjadi contoh bagaimana efektifnya pendidikan moral dan karakter di dalam keluarga.
Dalam tulisannya mengenai tahapan-tahapan dalam pendidikan moral, Lawrence Kholberg menyatakan bahwa anak-anak usia dini bertumbuh dari tahap pra-konvensional. Pada tahap ini mereka akan bertanya apakah untungnya mengikuti nilai-nilai moral yang ada di sekitarnya. Jika orangtua pada tahap usia emas ini gagal mendidik, maka tidak heran saat mereka dewasa, pemikiran mengenai apa untungnya buat saya ini terus terbawa.
Oleh karena itu masyarakat luas dan khususnya pemerintah perlu campur tangan demi penyelamatan kualitas sumber daya manusianya di masa datang. Anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN seharusnya tidak hanya diperuntukan untuk pendidikan formal. Para orangtua Indonesia juga seharusnya mendapatkan pendidikan yang cukup tentang bagaimana mereka harus mendidik anak-anak mereka di rumah mereka sendiri secara informal.
Melalui situsnya, BKKBN mempublikasikan berita yang diliput oleh harian Kompas mengenai kursus pranikah. Para calon orang tua tentunya akan mendapatkan banyak manfaat melalui persiapan menjadi orangtua, salah satunya adalah bagaimana mendidik karakter anak. Sistem kursus dapat dibuat sedemikian rupa, sehingga orang tua dapat dibimbing secara terus menerus dari anak mereka kecil hingga besar. Dengan anggaran pendidikan yang tidak hanya masuk ke kantong kementrian pendidikan, maka visi pendidikan nasional akan lebih cepat tercapai karena kementrian lain turut membantu dalam mewujudkannya.
Kursus-kursus bagi orangtua dan calon orangtua ini pun dapat dilaksanakan oleh masyarakat luas yang berkompeten. Dengan mengacu pada nilai-nilai universal dan kebangsaan, kursus-kursus bagi ini dapat ditumbuhkan dan diatur pelaksanaannya dengan bantuan pemerintah. Kesadaran bahwa orangtua memerlukan pengetahuan dan keetrampilan dalam membangun keluarga dan mendidik anak sangat perlu ditumbuhkan. Sejauh ini pengetahuan dan keterampilan tersebut diturunkan secara informal dari orangtua kepada anak-anaknya.
Sebagai seorang guru, penulis menyadari benar bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang menekankan pendidikan moral dan karakter mengalami banyak kemudahan dalam pembelajaran saat mereka duduk di bangku sekolah. Tidak sedikit pakar manajemen kelas menyatakan, bahwa masalah-masalah akademik siswa sebenarnya berasal dari dari karakter siswanya. Pendidikan karakter yang telah matang cenederung berbanding lurus dengan peningkatan sisi akademiknya.
Manusia Indonesia yang ada sekarang ini beserta dengan segala persoalannya adalah produk dari pendidikan puluhan tahun yang lalu. Sekarang kita sedang menyaksikan anak-anak kita yang sedang bertumbuh dan juga melihat dengan samar persoalan-persoalan yang mungkin muncul akibat pendidikan saat ini. Maka itu, mari kita selamatkan generasi yang akan datang dari keterpurukan moral dan persoalan bangsa yang rumit dengan mencurahkan segenap pemikiran, tenaga dan dana sejak sekarang!
Pemerintah menyatakan kelulusan siswa menggunakan format penilaian 60-40 (Kompas.com). Parahnya angka 60 adalah dari nilai UN, dan 40 dari nilai sekolah.
Ada beberapa hal menarik yang patut dicermati di sini. Pertama, pertengahan tahun lalu pemerintah (Kemdiknas) menyatakan bahwa kelulusan seratus persen di tentukan oleh sekolah. Sedangkan informasi yang diperoleh sekolah adalah kelulusan ditentukan oleh tiga hal nilai UN, nilai akademis rapor dan nilai akhlak mulia. Kesimpangsiuran standar kelulusan semakin menjadi dengan format penilai 60-40 ini. Kedua, seandainya pun digunakan format penilaian ini, pemerintah telah merobek ras keadilan siswa. Siswa yang telah belajar setidaknya 3 tahun di SMP/SMA hanya baru mempengaruhi 40% saja atas kelulusan mereka. Itu pun bila siswa tuntas mencapai kompetensi pelajaran dengan hasil terbaik. Sedangkan UN, yang hanya merupakan ujian akhir dan dilaksanakan dalam waktu kurang dari seminggu menentukan 60% kelulusan. Ketiga, Ketidakadilan semakin menjadi saat pemerintah menentukan UN dilaksanakan pada pertengahan dan akhir April ini. Sedangkan materi kurikulum baru bisa selesai pada bulan Mei. Ini mengakibatkan sekolah harus ngebut lagi (Kompas.com) mengejar materi dan membuat kelas-kelas tambahan untuk mengejar materi dan men-drilling-nya.
Pertanyaan besarnya dari segala kehebohan penyelenggaraan UN ini adalah: apa manfaatnya hasil penyelenggaaran UN itu untuk siswa, guru dan pemerintah? Untuk siswa jelas hanya untuk mengukur akumulasi kemampuan akademik mereka, selebihnya hanya membuat siswa tertekan dan melakukan dosa! bukan rahasia lagi banyak siswa yang menyogok gurunya, mengerjakan ujian dengan cara-cara curang dan melakukan hal lainnya yang penting bisa lulus! Sedangkan guru adalah juga pihak yang paling dirugikan. Bayangkan, hasil kerja keras mereka mengajar anak-anak selama 3 tahun hanya dihargai 40%! ini sama seperti Timnas Sepakbola kita yang telah berlatih keras lalu bertanding dengan negara lain, saat bertanding walaupun mereka menang, timnas hanya dihargai 40%! Dan 60% kemenangan ditentukan oleh PSSI. Guru juga dipaksa dari 'atas' untuk meloloskan target atasannya, lulus 100%! akhirnya guru menjadi 'kreatif' mencari cara-cara nakal untuk 'menolong' murid-muridnya demi asap dapur yang harus terus ngebul di rumah. Sedangkan pemerintah tidak memanfaatkan hasil UN secara maksimal. Prosentase kelulusan siswa secara nasional dan wilayah, itu saja yang dipentingkan bagi mereka. Walau kita sama-sama tahu, bahwa hasil UN itu sesungguhnya tidak murni adanya (UN On The Fall), banyak kecurangan yang terjadi. Alhasil hasil UN tidak pernah valid.
Sudah bertahun-tahun masyarakat meminta agar kebijakan UN diubah agar lebih efektif dan bermanfaat, tapi seperti yang dikatakan Retno Listiyarti kepada Kompas.com, pemerintah memang keras kepala!
"Bukan hal aneh melihat sikap pemerintah yang susah menerima masukan dan kritik dari masyarakat terhadap kebijakan ujian nasional (UN) dan format kelulusan siswa."
Sepertinya kesulitan merubah kebijakan UN dan menurunkan Nurdin Halid tidak ada bedanya.
Selamat tahun baru!
Tahun 2011 di awali dengan isu hangat mengenai pengelolaan dana abadi pendidikan sebesar 1 trilliun rupiah. Pencairan dana sebesar 30 milliar rupiah tahun ini perlu diperhatikan pengelolaanya. Sedianya dana ini akan dikelola oleh Komite Pendidikan Indonesia yang akan menylurkannya dalam bentuk beasiswa S2, S3 dan penelitian. Mari kita bersama-sama mengawasi pengelolaannya.
Isu berikutnya adalah mengenai kekukuhan Kementrian Pendidikan Nasional untuk menyelenggarakan UN. Info terakhir mengenai hal ini adalah mengenai dihapuskannya UN ulangan dan 'penyesuaian' bentuk soal UN. Salah satu proyek Diknas terbesar ini akan dilangsungkan mulai akhir maret 2011. Kita tunggu baagimana media menyoroti hal ini, mengingat sudah beebrpa tahun lamanya berita miring dan negatif media tidak berkeputusan mengenai penyelengaraan UN ini.