Posting kali ini adalah sebuah paper yang saya kumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu, semoga bermanfaat buat para pembaca...
KRITIK TERHADAP BENTUK LAPORAN EVALUASI HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK DI INDONESIA
Abstrak
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menyelidiki laporan evaluasi hasil belajar siswa atau lebih dikenal dengan rapor. Tulisan ini akan mencari tahu apakah rapor di Indonesia ini telah secara efektif menjawab esensi dari peran evaluasi dalam sistem pendidikan dan apakah jawaban atas problematikanya. Pembahasan terlebih dahulu dilakukan dengan memberikan uraian atas pandangan yang mendasari Undang-undang dan aturan pemerintah lainnya mengenai tujuan evaluasi pendidikan di Indonesia. Selanjutnya dipaparkan mengenai persoalan yang terdapat dalam aturan-aturan tersebut yang berdampak pada bentuk rapor saat ini. Secara umum, format rapor yang digunakan saat ini dianggap belum mampu memenuhi esensi dari evaluasi secara utuh, karenanya rapor perlu diberikan pelengkap. Pelengkap rapor ini akan memberikan pemahaman lebih mendalam atas proses belajar siswa.
Pendahuluan
Di Indonesia, evaluasi atau penilaian dipahami sebagai salah satu bagian dari rangkaian proses belajar peserta didik atau siswa di sekolah (UU No.20/2003). Proses dan kemajuan belajar siswa dievaluasi melalui beragam alat evaluasi pada periode-periode tertentu di sekolah. Pendidik di sekolah atau guru melakukan evaluasi atas proses belajar siswa, mendokumentasikan dan melaporkan hasilnya kepada orang tua. Pada penghujung semester siswa akan menerima laporan hasil belajar atau rapor yang berisi pencapaian-pencapaian siswa selama satu semester pada mata pelajaran-mata pelajaran yang mereka ikuti.
Pada siswa kelas akhir di setiap jenjang, yaitu kelas 6, 9 dan 12; evaluasi juga diselenggarakan oleh pemerintah dalam bentuk Ujian Nasional. Evaluasi ini menentukan kelulusan siswa untuk masuk ke jenjang selanjutnya. Hasil evaluasi tahap akhir ini dituangkan ke dalam SKHTB atau Surat Keterangan Hasil Tamat Belajar.
Secara sepintas, sistem pelaporan evaluasi peserta didik yang dijalankan di Indonesia ini terlihat baik adanya. Namun bilamana dipahami lebih dalam, baik format rapor atau SKHTB yang digunakan saat ini mengandung persoalan yang menyangkut esensi dari tujuan evaluasi. Apakah format rapor dan SKHTB yang berisi angka-angka telah cukup mampu menjelaskan atau tepatnya memberikan makna pada proses pembejalaran yang telah siswa lalui.
Tulisan ini akan memaparkan dan menguraikan tujuan evaluasi dan bentuk pelaporan hasil evaluasi peserta didik di Indonesia. Setelah itu, kedua hal tadi akan direfleksikan secara epistemologis, dan apakah prinsip-prinsip pada metode hermeneutik dapat diterapkan dalam pelaporan hasil evaluasi peserta didik.
Positivisme
Sebelum membahas lebih jauh kepada esensi tujuan evaluasi peserta didik di Indonesia. Kita akan memahami sebuah pandangan epistemologis yang diduga kuat melatar belakangi tujuan evaluasi ini, yaitu Positivisme.
Positivisme merupakan pandangan yang lahir pada abad ke-19. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang filsuf bernama Auguste Comte (1789-1857), yang berkebangsaan Perancis (Hardiman, 2011). Menurut Hardiman (2003), sederhananya Positivisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah apa yang berdasarkan fakta objektif. Dengan kata lain, Positivisme sebenarnya merupakan paham empirisme yang diradikalkan, maksudnya paham ini tidak lagi bisa menerima hal-hal yang melampaui hal-hal yang faktual seperti seni, etika, spiritualitas, dll. Dalam semua wilayah pengetahuan, hal-hal yang faktuallah yang dapat disebut pengetahuan.
Dengan demikian terhadap ilmu-ilmu atau ‘wilayah’ sosial, positivisme juga menggunakan pengandaian dasar dari penelitian ilmu-ilmu alam seperti: pengambilan distansi penuh antara objek yang diteliti dan peneliti; objek merupakan fakta netral yang bersih dari unsur-unsur perasaan, moral, dll; kemampuan untuk memanipulasi objek; dan hasil manipulasi yang dapat dijadikan sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum yang niscaya (Hardiman, 2003).
Dengan kata lain positivisme sangat menekankan sisi metodologis. Pengandaian-pengandaian dasar di atas oleh para positivis berusaha untuk diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial. Metode ini digunakan agar ‘wilayah’ sosial dapat dikendalikan dan dimanipulasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu-ilmu alam sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bersifat teknis.
Kritik atas Positivisme
Dalam perkembangannya, Posistivisme mengalami kritik. Salah satu kritik epistemologis yang paling keras disuarakan oleh Juergen Habermas, seorang filsuf Jerman, melalui Teori Kririknya yang juga sebenarnya memiliki keterkaitan dengan metode Hermeneutik dan fenomenologi. (Hardiman 2003).
Untuk sampai pada metode hermeneutik, kita perlu memahami terlebih dahulu teori Wilhem Dilthey (1833-1911) mengenai ekspresi pemahaman dan ilmu-ilmu budaya. Dalam kritiknya ia menyampaikan bahwa tidaklah mungkin ilmu atau ‘wilayah’ sosial dipahami dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam.
Hal ini dikarenakan ‘wilayah’ sosial memiliki kepentingan praktis dan berparadigma komunikasi yang berorientasi untuk pemahaman (Verstehen); sedangkan ‘wilayah’ alam memiliki kepentingan teknis dan berparadigma kerja yang berorientasi untuk keberhasilan. Oleh karenanya, ilmu-ilmu sosial, menurut Dilthey tidak dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam. Ia menyuguhkan metode Hermeneutik yang terinspirasi dari Friedrich Schleiermacher untuk diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial (Hardiman, 2004).
Hermeneutik secara bebas diartikan sebagai penafsiran atas sebuah teks yang kurang jelas untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas. Teks di sini bukan hanya dalam arti harafiah berupa tulisan, tetapi juga segala sesuatu yang bersinggungan dengan kehidupan sosial manusia, seprti fenomena-fenomena, lingkungan, situasi, hubungan, maupun manusia itu sendiri. Manusia cenderung melakukan penafsiran terus menerus dan cenderung untuk memberi makna, inilah yang disebut memahami(Hardiman, 2003).
Metode Hermeneutik ini mengalami perkembangan yang menarik, mulai dari hermeneutik romantis hingga kontemporer:
…Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey berusaha mencapai identifikasi, sehingga menafsirkan tes merupakan tugas reproduktif: menghadirkan kembali seluruh perasan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi. Gadamer memperlihatkan bahwa pandangan ini tidak tepat. Ia melihat menafsirkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga.
... suatu teks perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau dan masa depan demi manfaatnya untu masa kini. (Hardiman 2003)
Dengan demikian, dalam wilayah ilmu-ilmu sosial akanlah lebih tepat bilamana metode hermeneutik ini diterapkan untuk memperoleh pengetahuan, dalam hal ini makna.
Positivisme dalam Tujuan Evaluasi Peserta Didik di Indonesia
Dengan memahami adanya pandangan positivisme beserta problematikanya dalam ilmu sosial, termasuk pendidikan, sekarang dapatlah kita melihat lebih jeli tentang tujuan evaluasi peserta didik di Indonesia. Pemahaman akan tujuan evaluasi ini akan berdampak pada sistem pelaporannya.
Berdasarkan Permendiknas No. 20 tahun 2007 pada Lampiran bagian F dan G, praktek evaluasi yang berjalan saat ini setidaknya tergambar sebagai berikut: peserta didik yang telah mengalami proses pembelajaran di dalam kelas dalam rentang waktu tertentu akan dievaluasi proses belajarnya oleh sang guru dengan menggunakan berbagai alat tes. Mulai dari kuis, pekerjaan rumah, tugas, ulangan harian, ulangan tengah semester hingga ulangan akhir semester; bilamana ada, juga ulangan kenaikan kelas atau ujian nasional.
Pada akhirnya didapatlah hasil belajar siswa yang kemudian dilaporkan dalam berbagai bentuk pelaporan kepada orang tua. Secara tipikal, bentuk laporan evaluasi hasil belajar atau rapor siswa mengandung angka-angka atau nilai-nilai pencapaian per mata pelajaran.
Sesuai dengan UU no.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XVI, bagian kesatu, pasal 57-59 mengenai evaluasi, di sana tertera kebijakan mengenai Penyelenggaraan Evaluasi bagi peserta didik:
Pasal 57
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam kesempatan ini, kita akan menyoroti dua pasal pertama, yaitu pasal 57 dan 58, karena kedua pasal ini berhubungan langsung dengan sistem evaluasi dan bentuk pelaporannya.
Dari kedua pasal di atas setidaknya kita dapat mengetahui tujuan evaluasi. Evaluasi bertujuan mengandalikan mutu pendidikan secara nasional (57 ayat 1) dan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik (58 ayat 1).
Dengan mencermati produk-produk perundangan yang menyangkut sistem evaluasi, baik UU No.20/2003, PP No.19/2005 atau Permendiknas No. 20/2007, aturan-aturan ini cenderung merujuk kepada ciri-ciri pandangan positivistik:
1. Tujuan Evaluasi: evaluasi belajar siswa dimanfaatkan untuk mengendalikan mutu pendidikan.
2. Bentuk Laporan Evaluasi: Bentuk pelaporan evaluasi hasil belajar siswa (rapor atau SKHTB) yang direduksi pada dimensi kognitif dan diukur secara kuantitatif pada setiap mata pelajaran.
Pada kedua temuan di atas, telihat jelas, bahwa baik tujuan evaluasi belajar maupun bentuk laporan evaluasi belajar sangat dekat dengan metodologi yang digunakan pada ilmu-ilmu alam (Eklaren) dibandingkan ilmu-ilmu sosial (Verstehen).
Hasil evaluasi lebih condong digunakan untuk bagaimana mengendalikan mutu pendidikan daripada menafsirkan dan memahami apa yang sedang terjadi pada peserta didik. Hal ini sangat dimungkinkan karena bentuk laporan evaluasi terdiri atas angka-angka yang ‘mewakili’ hasil dari proses belajar siswa. Dengan kata lain evaluasi lebih berorientasi pada pemanfaatan hasil dari pada proses belajar.
Melalui rapor, hasil belajar siswa direduksi kepada ranah kognitif yang sebenarnya tidak mampu mencerminkan siswa dan kemampuan siswa yang seutuhnya. Demikian juga pada hasil UN, keberhasilan siswa melampaui suatu jenjang pendidikan diukur melalui suatu alat tes di akhir jenjang pendidikannya. Orientasi pada keberhasilan adalah salah satu ciri pandangan positivisme.
Alternatif Pendekatan dalam Pelaporan Evaluasi Hasil Belajar Siswa
Penjelasan pada bagian ini tidak akan berujung pada saran perombakan total tujuan sistem evaluasi maupun penghapusan bentuk laporan hasil evaluasi belajar yang selama ini telah ada. Namun bagian ini akan lebih menunjukkan bahwa tujuan dan bentuk laporan hasil evaluasi siswa saat ini belum cukup dan perlu mengalami perbaikan.
Tujuan evaluasi yang bermuara pada peran pengendalian dan laporan evaluasi hasil belajar siswa (rapor) yang tereduksi hanya di ranah kognitif belum cukup untuk menjelaskan secara memadai perkembangan dan kemajuan pembelajaran siswa. Padahal informasi mengenai perkembangan dan kemajuan siswa sangatlah penting dalam proses evaluasi. Informasi ini akan menolong baik siswa maupun orangtua dan guru mengenai hal apa yang masih perlu diperbaiki dan hal yang perlu mengalami perhatian khusus.
Sudah selayaknya rapor memberikan penjelasan yang lebih utuh dari rapor tradisional yang hanya berupa angka atau huruf. Angka dan huruf tidak mampu menjelaskan perkembangan dan kemajuan siswa, ia hanya menjelaskan pencapaian akhir belajar siswa. Tidak salah jika sekarang ini tujuan evaluasi adalah untuk pengendalian, dalam hal ini pengendalian atas hasil belajar siswa atau nilai; karena tanpa data kuantitatif tersebut, pengendalian akan sulit untuk dilakukan.
Satu hal penting yang dilupakan untuk dipahami adalah, evaluasi bukan semata-mata ditujukan untuk fungsi pengendalian, tetapi juga sebagai alat untuk memahami perkembangan dan kemajuan siswa dalam proses belajarnya. Pemahaman terhadap proses belajar siswa dari pada pengendalian hasil belajar siswa akan memberikan keuntungan yang besar baik bagi siswa maupun orangtua dan guru. Setidaknya, tindakan remediasi dan perbaikan dapat dilakukan dengan tepat sasaran sehingga siswa dan orangtua dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi kemajuan dan perkembangan belajar siswa.
Di sinilah peran metode hermeneutik menjadi sangat penting dipahami oleh guru. Siswa sebagai teks, perlu dipahami secara menyeluruh melalui komunikasi dan penafsiran atas tingkah laku maupun sikap yang ditunjukkan di dalam kegiatan pembelajaran, atau seperti yang dikatakan Dilthey sebagai empati dan rekonstruksi. Guru perlu menguasai teori-teori belajar dan psikologi perkembangan dasar yang diperlukan untuk memberikan laporan yang mendekati kondisi sebenarnya. Bentuk laporan tidak lagi diwakilkan dalam bentuk angka atau huruf, tetapi bersifat naratif. Pada rapor ini akan dilaporkan perkembangan dan kemajuan siswa. Grant Wiggins (1994) menamakannya Rapor Longitudinal.
Rapor Longitudinal
Grant Wiggins, seorang pakar assessment menyatakan pentingnya unsur perkembangan (growth) dan kemajuan (progress) di dalam bentuk rapor longitudinal:
Progress is an objective measure of performance gains made over time on a standard-referenced longitudinal scale. It is measured “backwards” from a desirable destination—the standard... Growth, by contrast, represents a judgment about whether current performance falls short of, meets, or exceeds our expectations for that particular student at that time. In a sense we look to the past, not forward to the destination (standard). (Wiggins, 1994)
Oleh karena Rapor Longitudinal ini berisi perkembangan dan kemajuan, maka bentuk rapor tidaklah mungkin hanya berisi angka dan huruf, tetapi harus lebih banyak berisi narasi mengenai perkembangan dan kemajuan siswa. Di sinilah peran guru sebagai pencatat sekaligus penafsir proses pembelajaran siswa secara tidak langsung menggunakan metode hermeneutik.
Metode hermeneutik, yang diwujudnyatakan pada pendekatan kualitatif dalam pelaporan evaluasi hasil belajar siswa ini dipertegas kepentingannya oleh Jon E. Travis:
What is needed, essentially, is a new paradigm of student assessment that incorporates the four criteria of knowledge, skills, behavior, and attitudes and emphasizes the multiple measurement approach, which is basic to sound evaluation and qualitative research. (Travis, 1996)
Lebih rincinya, Wiggins menambahkan tentang apa yang harus dilaporkan dalam Rapor Longitudinal:
What should we report ? We should relate disaggregated achievements, progress, intellectual character, and specific successes or weaknesses that are highly illustrative of overall performance. “Disaggregated” means, above all else, not using a single grade, score, or description to characterize performance in an entire subject area. Rather, what is wanted, … is the breakdown of (inherently) complex performance into its many subelements, similar to what we find on the baseball card. (Wiggins, 1994)
Singkatnya, rapor tidak lagi diisi oleh angka atau huruf, tetapi juga penjelasan mendetail atas pencapaian siswa. Bahkan ia menambahkan, perlunya dilampirkan hasil kerja, rubrik atau karya tulis siswa dalam bentuk portofolio:
Is a report card self-sufficient? No, it is not. Grades are symbols for verifiable performance and product evaluations. Thus, for the report card to be maximally informative, it must be backed up with work samples, rubrics, anchor papers, and commentary. (Wiggins, 1994)
Dengan dilengkapinya rapor dengan laporan naratif dan portofolio, orangtua dan siswa tidak lagi terpaku pada hasil akhir tanpa mendapatkan informasi untuk merefleksikan dan mengevaluasi proses pembelajaran sedang yang terjadi. Orangtua dan siswa dapat dengan lebih mudah dan lebih tepat dalam menilai dan mengambil keputusan setelah mendapatkan laporan naratif atas proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Angka-angka yang muncul di dalam rapor tidaklah menjadi sulit lagi untuk ditafsirkan, karena terdapat laporan naratif sebagai pendamping yang menjelaskan mengenai proses pembelajaran yang terjadi pada siswa sehingga mendapatkan hasil akhir seperti demikian.
Bilamana rapor siswa berisi laporan naratif atas perkembangan dan kemajuan siswa, maka tujuan evaluasi tidaklah perlu sesempit peran pengendalian mutu pendidikan saja. Tujuan sistem evaluasi hasil belajar siswa dapat dikembangkan kepada peran pemahaman mutu siswa itu sendiri.
Kesimpulan
Tujuan evaluasi yang tercantum pada undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional bersifat positivistik, hal ini setidaknya terlihat dari tujuan untuk mengendalikan mutu pendidikan. Oleh karenanya, bentuk pelaporan hasil belajar siswa terwujud hanya dalam bentuk angka dan huruf. Rapor ini tidak memadai untuk digunakan sebagai alat memperbaiki dan meremediasi proses belajar siswa.
Proses Belajar siswa meliputi perkembangan dan kemajuannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Hal ini hanya dapat dilaporkan dalam bentuk naratif melalui metode hermeneutik. Guru berempati dan merekonstruksi tingkah laku dan sikap siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan mendokumentasikannya secara naratif. Laporan naratif ini dirangkum dalam Rapor Longitudinal, yang tidak hanya melaporkan pencapaian siswa, tetapi juga proses belajarnya.
Tujuan evaluasi yang tidak hanya berorientasi pada pengendalian mutu pendidikan tetapi pemahaman mutu siswa, akan berujung pada bentuk laporan evaluasi hasil dan proses belajar siswa.
Bibliografi
• Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2004.
• Hardiman, F. Budi. Melampaui Moderintas dan Positivisme. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2003.
• Hardiman, F. Budi. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2011.
• LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL. NOMOR 20 TAHUN 2007 TANGGAL 11 JUNI 2007: STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN.
• Travis, Jon E.. Meaningful Assessment. The Clearing House, Vol. 69, No. 5 (May - Jun., 1996), pp. 308-312. ylor & Francis, Ltd. 1996.
• UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003: SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
• Wiggins, Grant. Toward Better Report Cards. Educational Leadership, October 1994, Volume 52, Number 2, Pages 28-37. ASCD. 1994.
• Wiggins, Grant. Defining Assessment. www.edutopia.org/grant-wiggins -assessment. Edutopia. 2002