WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

UN On The Fall...

>> Tuesday, April 21, 2009

"Ayo diisi jawabannya! Kenapa dibiarkan kosong?" Demikian tanya seorang pengawas setelah melihat lembar jawab siswanya sebagian besar kosong, padahal waktu hanya tersisa 5 menit lagi. "Kata bapak guru mah, katanya kosongin ajah" jawab siswa itu dengan polos.

Seusai mengumpulkan lembara jawab dan soal UN, para pengawas ini pergi ke ruang pengawas untuk menyerahkannya pada petugas di sekolah setempat. Setelah basa basi, menyeruput minuman dan menikmati beberapa buah snack, para pengawas ini pun meminta ijin untuk pulang pada kepala sekolah bersangkutan. Ruang-ruang kelas di sekolah tersebut memilki jendela di sisi ruangnya, dimana orang yang lewat dapat dengan mudah melihat ke dalam kelas. Ketika para pengawas ini pulang melewati sebuah ruang kelas, betapa kagetnya mereka melihat apa yang terjadi di ruang tersebut.

Amplop soal ujian berserakan di meja dengan lembar jawab yang berada di depan mata guru-guru yang sedang sibuk melakukan sesuatu atasnya. Para pengawas ini dengan segera menduga bahwa para guru ini sedang sibuk mengisikan lembar jawab siswa-siswanya. Dari gerak-gerik mereka, semakin jelas bahwa dengan pensil 2B ditangan mereka, bahwa mereka setidaknya sedang membulat penuhkan lembar jawab siswa. Suatu perbuatan yang amat tercela dan curang! (lihat tulisan saya yang lain: Great Historic Achievement)

Kejadian di atas terjadi pada masa UN tahun lalu. Sungguh sangat memalukan, merobek rasa keadilan dan penjerumusan siswa dalam jurang dusta. Guru. Mereka yang melakukannya!

Harapan muncul saat pemerintah mengumkan akan mengubah beberapa aturan dan prosedur penyelenggaraan UN tahun ini. Mereka akan menyiapkan tim pemantau independen yang lebih baik dengan budget sebesar Rp 83 miliar dari aks negara. Mereka juga akan membuat lebih dari dua jenis soal yang berbeda di tiap daerah. Pemerintah juga menjanjikan tidak adanya kebocoran dalam pelaksanaan UN kali ini. Namun realitanya, tidak berjalan sebagai mana mestinya. Dana milyaran itu seperti hangus terbakar.

Sepulang teman-teman saya mengawas UN, modus yang sama kembali terjadi di sekolah dimana mereka mendapat penugasan. Siswa tidak mengisi semua lembar jawab. Pengawas independen hanyak duduk diam di sudut ruangan. Artikel dari Kompas.com hari ini pun memaparkan tentang apa yang ditemukan oleh tim pengawas dari Universitas Sriwijaya di Palembang. Mereka menemukan para siswa datang jam 5 pagi dengan harapan gurunya akan memberikan kunci jawaban(klik di sini). Lebih jauh lagi, KAMG (Komunitas Air Mata Guru) di Medan, menemukan kunci jawaban dalam bentuk sms dan lima lembar kertas kecil (klik di sini).

Para siswa yang telah belajar di sekoah selama tiga tahun dihadapkan dengan ujian akhir dari pemerintah. Kelulusan bukan berasal dari sekolah dimana mereka selama ini belajar. Melainkan dari pemerintah yang menerapkan nilai standar kelulusan 5,25. Orang tua siswa ketar-ketir menghadapi hal ini. Mereka berupaya dengan berbagai cara agar anaknya tidak gagal dalam UN. Pemerintah berhasi lmenjebak orang tua dan sekolah untuk sekedar mendapat 'nilai'. Dengan diadakannya kelas tambahan untuk persiapan UN dan penuhnya bangku-bangku di tempat-tempat kursus untuk persiapan menghadapi UN pertanda bahwa ini bukan sekedar evaluasi biasa. Tetapi ujian yang menentukan hidup mati masa depan siswa. Sayang pemerintah tidak bisa melihat ini dari kacamata mereka.

Jika pemerintah berkilah mengenai adanya sisi baik dalam penyelenggaraan UN ini, bukti di lapangan telah jelas, UN tidak berlangsung dengan valid! Banyak terjadi kecurangan yang 'terpaksa' dilakukan oleh pihak sekolah demi mendapatkan tingkat kelulusan yang baik. Banyak terjadi kecurangn ayng 'terpaksa' dilakukan oleh pihak orang tua demi anaknya lulus walau harus menyediakan dana tambahan.

5 write(s) COMMENT(S) here!:

Anonymous April 21, 2009 at 9:12 AM  

gue rasa itu terjadi krn kita masih menomorsatukan nilai diatas kertas...
padahal yg lebih penting adalah proses pembelajarannya itu sendiri.. apalagi UN hanya mencakup bbrp mata pelajaran saja.. gmn dgn murid yg punya keahlian dibidang lain..?? yg namanya ujian itu harusnya mengasah bukan malah menjadi batu sandungan bagi seorang murid utk maju & berkembang sesuai dgn minat, bakat & kemampuannya..

Andrew Osana April 21, 2009 at 9:38 AM  

Sebagai seorang guru (baru menjadi guru), perbuatan tersebut sangat memalukan. Satu pihak, hal tersebut menjadi momok suatu sekolah jika ada siswa yang tidak lulus, tetapi satu pihak lagi, hal tersebut mencerminkan kekurangan mutu pendidikan di sekolah tersebut.
Kita mesti belajar dari negara-negara 'miskin' kekayaan alam, seperti jepang dan singapura mereka dengan seminim sumber alam, benar-benar mengexplorasi sumber manusianya, akibatnya mereka menjadi kreatif di dalam segala kesulitan.
Terkadang kesulitan itu merupakan menjadi teman untuk membangun kreatifitas yang membangun.
Pemerintah harusnya menjadi melek dengan kejadian-kejadian ini, UN bukanlah suatu standar kelulusan, tetapi menjadi standar kualitas pendidikan di Indonesia apakah meningkat atau sama rata. Sedangkan standar kelulusan di serahkan pada sekolah masing-masing, sehingga sekolah dapat saling bersaing sehat, berlomba mengeluarkan siswa dengan mutu yang terbaik yang mereka berikan bagi bangsa kita.

Eka April 21, 2009 at 9:49 AM  

nice article...
tapi masalah ini sangat berat dan rumit kalo hanya dibahas di forum ini...
Solusi bisa kita peroleh dari setiap diskusi.
Namun demikian, kita harus memiliki administrasi yang mempunyai "political will" untuk menerapkan solusi-solusi itu.
Kalo tidak ada kemauan untuk menerapkannya, tentu harus langkah ekstrim yang diambil oleh para 'stakeholder'.
Take over....
and be brave to control and apply the new system....

Anonymous April 21, 2009 at 9:26 PM  

saya setuju......
semua kan karena takut gagal......
kalau masalah kelulusan diserahkan secara independen kepada masing2 sekolah, saya rasa semua tidak jadi masalah......

Pak Guru April 23, 2009 at 3:17 PM  

Comments @ facebook (http://www.facebook.com/home.php#/notes.php?id=665801790):

>>Julia Irvani Mutiara:
mending jawab salah or dikosongin dunks pak?

>>Devie Wibowo:
Saya juga heran kenapa tiap tahun pelaksanaan UN makin banyak kecurangan.Bahkan guru yg seharusnya digugu dan ditiru dalam mengajarkan kebenaran, berani menghalalkan segala cara untuk meluluskan siswanya.Semoga sebagian kecil siswa dan sekolah yang masih jujur tetap bertahan dengan kejujurannya.Karena kita berharap anak-anak Indonesia bukan cuma pintar tapi juga jujur dan takut akan Tuhan.

>>Silvy Inawati:
Sekolah...lembaga pendidikan yg harusnya mendidik anak-anak untuk punya karakter yg baik, malah kasi contoh yg tidak baik... halalkan segala cara untuk dapat kelulusan...

>>Arief Budiman Rahardjo:
For soime people pride worth more than honesty.. hehe..
tapi DH gk gtu kn pak?.. :p

>>Reza Mario Manusama:
Mmmmmmm

>>Petra Immanuel Ginting:
Potret Pendidikan Kita. Seandainya Ki Hajar Dewantara msh hidup, kepala sekolah itu digantung kali ya!

>>Marta Ariestya Siburian:
entah siapa yg salah,pemerintah,dinas,kepsek,atw guru..yg pasti,hr ini plajar indonesia yg mw hidup jujur justru jd ttekan n t'intimidasi..apa yg bs dpelajari slama 3thn,klo toh dtahun trkhr smuany bs dselesaikn dgn ktidakjujurn??

>>Hendrikus David at:
sebuah cermin ironis dari realitas kondisi pendidikan yang menarik untuk di jadikan sumber inspirasi dalam proses berkesenian ..selamat berjuang para pendidik indonesia....salam budaya

>>Handi Immanuel:
sebenarnya kan kalau tidak ada UAN juga hal spt itu tidak terjadi......
karena takut tdk lulus, jadi segala cara dihalalkan....
bukan bgtu, bapak ibu guru?

>>Daniel Sutrisno:
lulus gak jujur ga asik, kurang gimana gitu rasa lelah perjuangannya. ya gak angkatan yg sempet 3 pelajaran doang???hahahahaha.

Thanks for all the comments... Ini menandakan kita semua masih sepakat pada nilai-nilai kejujuran dan integritas.