WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

Positive and Negative

>> Monday, June 22, 2009

Wah, liburan itu memang enak...! Waktu dihabiskan bersama orang-orang yang terkasih: istri dan anak. Inilah salah satu keuntungan menjadi guru, kala anak libur, guru juga ikut. Walau tidak sebanyak siswanya, tetapi tetap menguntungkan. Hampir saja saya libur menulis di blog ini akibat atmosfir libur. Saya berharap saya tetap konsisten menulis.

Sejak sebelum libur, kami sudah merencanakan hal-hal yang akan dikerjakan selama libur. Kami berencana berenang sekeluarga, membantu istri berbenah rumah dan juga menolongnya membuat makanan-makanan ringan. Seru! Saya pribadi mengagendakan sebuah proyek perdana saya, mudah-mudahan target dapat tercapai. Terima kasih buat isteri dan beberapa rekan yang mendukung. Selain itu, saya berkomitmen untuk lari pagi setiap hari selama liburan ini.

Ada hal menarik yang terjadi ketika saya memulai lari pagi di wilayah perumahan saya. Jarak yang saya tempuh tidak begitu jauh, hanya berkeliling satu blok saja. Setiap hari saya berniat menambah satu jumlah putaran. Namun sepertinya tidak sanggup. Sesudah empat hari saya memulai ini saya masih bertahan di dua putaran saja. Mungkin ini karena usia.

Dalam dua hari pertama saya berlari pagi, saya lari tanpa disertai pemandangan lain kecuali rumah-rumah yang masih tertutup dan orang-orang yang masih terlelap di tempat tidurnya. Terkecuali warung di dekat rumah yang tengah bersiap-siap menyambut pelanggannya. Namun pada hari ketiga ketika saya bangun sedikit kesiangan untuk memulai aktifitas saya ini, saya berjumpa dengan tetangga-tetangga saya yang sudah mulai keluar rumah di pagi itu.

Mereka tersenyum ramah dan dan memberikan beberapa komentar berikut:
"Wah, pak Rudi sudah mulai tua ya? jadi olahraga pagi?"(dengan melempar senyum lebar)
"Lari pagi pak? ini acara rutin setahun sekali ya?" (sambil tertawa)
"Pak Rudi larinya setahun sekali, waktu liburan sekolah aja" (sambil tertawa juga)

Tidak ada masalah dengan komentar mereka yang spontan itu, karena memang kenyataannya saya jarang berolah raga. Sekalinya saya kedapatan berolah raga, saya bertemu dengan mereka ini. Saya pun mungkin akan berespon yang sama bila melihat seseorang melakukan hal yang sama seperti saya. Inilah kecenderungan spontan manusia untuk berkomentar negatif, walaupun sebenarnya bermaksud berbasa-basi atau bercanda.

Dalam Buku Quantum Learning karangan Bobbi de Porter, penulis menunjukkan sebuah hasil survey yang menarik. SEdari kecil seorang anak hanya menerima rata-rata tujuh komentar negatif dari delapan komentar mengenai diri atau perbuatannya setiap hari. Tidak heran kita menjadi terlatih untuk melemparkan komentar-komentar negatif bahkan dalam bentuk bercanda dan basa-basi. Ekstremnya, ada sebagian orang yang melihat sisi negatif lebih cepat dan mudah dari pada sisi positif.

Dalam hal inilah, baik kepada siswa maupun orang lain, kita perlu belajar sungguh-sungguh untuk berpikir, berkata-kata dan bertindak dengan positif. Mengapa sungguh-sungguh? karena yang baik itu harus dilatih, sedangkan yang tidak baik tidaklah perlu demikian. Kata teman saya, untuk menjadikan ruangan itu bersih kita perlu mengusahakannya. tetapi untuk menjadikan sebuah ruangn berdebu kita cukup membiarkannya saja.

Mari kita berusaha melakukan yang baik dan positif demi kebaikan orang lain...

The End of 2009/2010 Acedemic Year

>> Friday, June 12, 2009

Hmmm, akhirnya tiba juga akhir tahun ajaran 2009/2010. Hal pertama yang muncul di pikiran saya: Waktu begitu cepat berlalu... terlalu cepat bahkan. Banyak hal yang saya belum bisa lakukan di tahun ajaran ini. Banyak 'hutang' yang masih harus ditebus tahun ajaran depan. Saya masih belum juga bisa maksimal dalam mempersiapkan pelajaran, mengajar dan penilaian hasil belajar siswa. Saya menilai apa yang saya buat di area ini di tahun ini mengalami penurunan mutu. Sangat menyedihkan.

Di sisi lain, ada beberapa hal yang saya anggap saya patut bersyukut atas pencapaian saya. Konsisten menulis dan mengembangkan di blog ini adalah salah satunya. Lainnya adalah berjalannya kegiatan non-akademik yang saya pegang dan koordinasi bidang mata pelajaran saya. Walau belum bisa dikatakan sangat memuaskan di bidang-bidang itu, namun saya menilai telah memiliki kemajuan.

Inilah yang menjadi sumber keprihatinan saya: tugas utama saya sebagai guru, yaitu mempersiapkan pelajaran, mengajar dan menilai hasil kerja siswa, menjadi terlantar. Saya tidak menginginkan hal ini terulang kembali di tahun ajaran mendatang. Saya harus bisa lebih mengorganisasi diri, khususnya dalam berbagi tugas-tugas non-akademik pada rekan-rekan saya dan mempersiapkan lebih matang dalam tugas mengajar saya.

Ada satu pertanyaan dalam pikiran saya: apakah kebanyakan guru-guru juga seperti saya, menelantarkan tugas utamanya dan lebih menekankan tugas sekundernya?

Jadi teringat sebuah pernyataan... jangan banyak orang yang menjadi guru, karena pertanggungjawabannya sangat berat. Karena saya terpanggil menjadi guru, saya pikir saya perlu merefleksi ulang diri saya atas pernyataan tersebut.

National Examination Proposal

>> Wednesday, June 10, 2009

Saking sibuknya beberapa hari menjelang akhir tahun ajaran, saya tidak memiliki waktu yang cukup untuk menulis di sini. Sebenarnya selepas saya menulis ini pun ada dua pekerjaan besar yang saya harus selesaikan. Namun dalam waktu yang sempit ini saya ingin mengomentari satu hal yang sedang hangat yaitu mengenai UN ulangan.

UN ulangan atau UN pengganti yang dilakukan di beberapa sekolah di jawa tengah baru-baru ini sangatlah memiriskan hati. Masa depan siswa dipermainkan hanya karena pelaksanaan UN yang dicurigai berbau kecurangan. Kecurangan ini tentu saja patut diselidiki. Namun bila kita mau jujur, bukan hanya sekolah di Jawa Tengah itu saja yang patut di ulang ujiannya, namun hampir semua sekolah di Indonesia! Kecurangan pelaksanaan UN ini terjadi di mana-mana, sayangnya sekolah-sekolah yang mengulang UN itu sedang apes, merekalah yang jadi tumbal. Silahkan baca artikel saya yang menyinggung hal ini di 'UN on the Fall'.

Pelaksanaan UN yang sudah jelas-jelas memancing terjadinya praktek-praktek kecurangan seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah mengenai keefektifan pelaksanaanya. Walau saya belum memiliki kecenderungan untuk memilih pasangan Mega-Pro yang mengusung program penghapusan UN, saya setuju dengan programnya yang satu ini.

Atau setidaknya UN dapat tetap berjalan namun bukanlah salah satu penentu kelulusan siswa. Guru dan sekolahlah yang memahami kemampuan siswa, merekalah yang telah memproses anak didiknya. Oleh karena itu baiklah sekolah secara otonomi yang menentukan kelulusan siswa. Sedangkan UN dapat dipakai sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional atau sebagai alat sekolah yang lebih tinggi untuk menyeleksi siswa/mahasiswanya. Hal ini dilakukan pada era orde baru dan saya pikir cukup efektif.

Dengan demikian penyakit-penyakit yang selama ini menjangkiti UN dan yang membuat berdosa siswa, guru, sekolah dan aparat dapat dikurangi. Saya pikir setidaknya sebagian guru di Indonesia mengharapkan dihentikannya UN dengan sistem yang sekarang ini.

Parents' Partner

>> Tuesday, June 2, 2009

Apakah Anda cenderung berpikir sekolah dapat mendewasakan anak Anda? Apakah Anda berpikir sekolah akan membentuk kepribadian dan membangun potensi dirinya? Apakah benar bahwa sekolah yang sangat tinggi kedisiplinan ilmunya akan membawa keberhasilan dalam kehidupan mereka sesungguhnya?

Sampai sejauh ini sekolah formal pada umumnya menerjemahkan kurikulumnya ke dalam sejumlah mata pelajaran. Sekolah Dasar setidaknya memiliki 5 mata pelajaran, SMP 10 mata pelajaran dan SMA 14 mata pelajaran. Dari sekian banyak mata pelajran itu, saya bisa kelompokan menjadi lima bidang pelajaran: bahasa, ilmu eksakta (sains), ilmu sosial, Agama & Kewarganegaraan, dan Seni & Teknologi.

Dalam pandangan lain, kebanyakan sekolah formal - khususnya sekolah swasta, apalagi sekolah nasional plus dan internasional - mengedepankan keunggulan sekolahnya baik dari sisi fasilitas, sumber daya manusia maupun program tambahannya. Yang terakhir ini dapat berupa program akademik atau non-akademik. Ada sekolah yang mengunggulkan kewirausahaan, ada juga pendidikan karakter, keterampilan hidup, dll. Namun yang jelas, program-program ini hanyalah berupa tambahan dan bukan merupakan kurikulum inti. Percaya atau tidak, menurut pengamatan saya, kebanyakan siswa yang terlibat aktif dalam program tambahan ini cenderung lebih berhasil dalam hidupnya. Atau setidaknya mereka dapat lebih siap dalam menghadapi dan menyelesaikan tantangan-tantangan hidup mereka.

Mari kita bandingkan dengan apa yang menjadi isi kurikulum pada mulanya. Plato, yang disebut sebagai pendiri sekolah pertama dengan Akademos-nya, menempatkan matematika, humanity(kemanusiaan) dan kesusasteraan sebagai pusat kurikulumnya (Knight: 1998; p.45). Sedangkan muridnya, Aristoteles, yang mendirikan sekolah Lyceum, menempatkan lebih banyak bidang ilmu dalam kurikulumnya, khususnya bidan sains dan matematika (Knight:1998; p.49). Di Timur, Konfusius menempatkan kebijaksanaan dan aturan ketatalaksanaan sebagai pusat kurikulumnya(Sathern:).

Di Indonesia sendiri, khususnya di jawa, Padepokan, Pawiyatan dan Paguron telah dikenal sebagai tempat belajar para siswa pada waktu itu. Adapun kurikulum inti yang diajarkan lebih banyak kepada keterampilan dalam tugas hidup sehari-hari, seperti mencuci piring, menghidangkan makanan dan melayani guru bagi siswi dan keterampilan yang lebih sentral dalam kehidupan waktu itu bagi para siswa, mulai dari mencari kayu bakar, asisten guru, hingga bertapa/semedi. Selain itu materi pelajaran dalam pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan dan bersifat umum meliputi antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan, kanuragan, kaprajuritan, pertanian, titi mongso, pananggalan, adat istiadat, tata krama dan perbintangan (Dwiarso: 2008).

Dari sini, saya mengajak Anda untuk merefleksikan dengan kebutuhan siswa di masa selepas sekolah. Ia akan dihadapkan oleh dunia pekerjaan/profesinya dan dunia berkeluarga. Suatu dunia yang lebih banyak berbicara tentang kemandirian, tanggung jawab, manajemen waktu, keterampilan mengelola keuangan, keberanian mengambil resiko, ketekunan, keterampilan membangun hubungan, dll.

Jelas sekolah telah dengan teliti mempersiapkan para siswa untuk masuk dalam dunia pekerjaan/profesinya. Namun jika kita mau jujur, seberapa banyak usaha yang dilakukan oleh sekolah untuk mempersiapkan siswa ke dalam dunia keluarga? Dunia keluarga yang mencakup tahap pranikah, pernikahan dan pascanikah. Jika ini bukan tanggungjawab sekolah, dan memang sebaiknya seperti itu, maka hal ini merupakan tanggung jawab keluarga.

Pertanggungjawaban orang tua terhadap masa depan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat (Life Skill) anak-anaknya adalah salah satu peran orang tua yang utama. Orang tua perlu merumuskan kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya untuk mendidik anak-anaknya dalam perkara ini. Sejauh pengamatan saya, pendidikan terhadap hal-hal yang menyangkut life skill diajarkan secara informal dalam keluarga. Diturunkan dari orang tua kepada anak melalui teladan, pelatihan, pengalaman dan refleksi atas kehidupan. Jika orang tua mengajarkan semua 'mata pelajaran' kehidupan ini tentunya setiap anak akan hidup bahagia dan aman.

Kenyataan berkata lain, seperti yang saya bisa kutip dari tulisan saya sebelumnya mengenai Who Will Take This Task? Generasi sekarang tengah mengalami kehancuran moral dan fisik dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini bersumber dari cacatnya keluarga dan lumpuhnya peran orang tua dalam mendidik anak. Kejadian ini tidak boleh terulang, para orang tua sekarang harus belajar kembali bagaimana menjadi orang tua yang efektif. Orang tua yang efektif yang akan menyelamatkan generasi yang baru. Oleh karena itu saya anggap perlu untuk dibentuk suatu lembaga pendukung keluarga yang akan memfasilitasi dan melatih orang tua dalam mendidik anaknya dan mengelola keluarganya secara utuh dan sadar. Utuh berarti mencakup jasmani dan jiwani, sedangkan sadar berarti ada upaya terstruktur dan sistematis dalam membangun keluarganya.

Lembaga ini akan menjadi mitra keluarga untuk melakukan upaya-upaya pemulihan dan pembangunan hubungan & kualitas kehidupan. Di sini, para orang tua akan belajar mengenai membangun komunikasi yang efektif dan intim antara suami istri, mengelola keuangan keluarga, mengelola konflik, merencanakan pendidikan anak, manajemen waktu, mengajarkan anak untuk memiliki jiwa wira usaha dan etos kerja yang baik, mengelola media, dll. Apakah lembaga ini akan berdiri sendiri atau juga bermitra dengan sekolah akan memiliki kelemahan dan kekuatannya masing-masing.

Nah, apakah pendapat Anda?

Becoming A Professional Teacher...

>> Monday, June 1, 2009

Do you see a man [who] excels in his work? He will stand before kings; He will not stand before unknown [men]. (NKJ Version)

Observe people who are good at their work--skilled workers are always in demand and admired; they don't take a back seat to anyone. (TMB version)

Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina.


Ini adalah hari-hari terakhir sekolah. Sejak pertengahan bulan lalu kesibukan sudah melanda pekerjaan saya. Mulai dari pembuatan soal, memeriksa hasil ulangan siswa, memasukkan nilai ke daftar nilai siswa dan tugas-tugas tambahan lainnya. Pikiran saya dibuat penat olehnya. Memang pekerjaan administratif selalu menjadi momok bagi saya. Sebagai seorang yang tidak 'berbakat' dalam pekerjaan di belakan meja, saya cenderung menumpuk pekerjaan. Hal ini mengkibatkan kepenatan yang luar biasa...

Seharusnya saya tidak perlu mengalami ini, jika saja saya hanya bertugas untuk mengajar. Namun dikarenakan tugas 'sampingan' yang juga menuntut perhatian, saya pun tidak bisa menolak untuk mengerjakannya: Persiapan graduation day, program magang dll.

Seorang trainer terkemuka yang juga menjadi mentor saya pernah berkata demikian: menjadi professional berarti melakukan dengan benar dan sungguh-sungguh hal minimal yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai guru, mempersiapkan pengajaran, mengajar, membuat sistem penilaian dan merekam semua hasil belajar siswa adalah hal minimal yang harus dikerjakan seorang guru. Adalah tidak profesional untuk membuat alasan apapun yang 'membolehkan' seorang guru untuk tidak mengerjakan hal-hal yang menjadi tanggung jawab minimalnya. Saya setuju atas pernyataan mentor saya itu. Walau kenyataannya saya masih belum bisa memenuhi definisi yang dibuatnya, namun ini adalah sebuah idealisme yang harus saya penuhi.

Di sisi lain, atas kepercayaan sekolah yang menjadikan saya sebagai team leader bagi teman-teman seperjuangan dan mengkoordinasi kegiatan non-akademik, maka saya pun dituntut profesional. Sekalipun ini adalah tugas tambahan, tetapi yang satu ini pun memerlukan profesionalitas.

Maka, inilah tuntutan atas perkerjaan saya: profesional dalam tugas utama saya sebagai guru dan team leader. Saya bisa saja melihatnya sebagai sebuah dilema, namun saya belajar untuk menjadikannya sebuah tanggungjawab tunggal.