WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

A Teacher's Satisfaction

>> Thursday, May 28, 2009

Tidak ada kepuasan yang dapat mengalahkan berkembangnya kemampuan siswa dalam proses pembelajaran.

Tiga tahun lalu saya mewawancarai anak ini ketika mendaftar sebagai siswa di sekolah kami. Setelah dinyatakan diterima, saya baru sadar ternyata anak tersebut memiliki kelemahan dalam berbahasa inggris. Semakin saya melewati waktu bersamanya, semakin saya mengetahui bahwa untuk meresponi pertanyaan sederhana dalam bahasa inggris pun ia mengalami kesulitan. Terhadap hal ini, saya dan rekan-rekan berusaha menaruh perhatian khusus terhadapnya.

Singkat cerita, ia saat ini telah melewati Ujian Nasional. Menurut prediksi kami, ia lolos dengan hasil yang cukup. Hal ini membuat kami lega, karena kami dibuatnya cukup kuatir akan kemampuannya. Keraguan kami menjadi semakin sirna saat kami mengujinya dalam ujian praktek kemarin. Walau masih dengan terbata-bata dan dengan kosa kata yang terbatas, namun ia memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk mempresentasikan laporannya dalam bahasa Inggris di depan kami, para guru penguji. Ketenangan, kepercayaan diri dan senyumnya terus melekat padanya sepanjang sesi tanya jawab. Kami dibuatnya kagum, bahkan teman-temannya yang menyaksikan presentasi itu mengupahinya dengan tepuk tangan panjang di akhir presentasi... sungguh membahagiakan.

Dan upah bagi kami sebagai guru adalah melihat dan mendengar kemajuan kemampuannya berbahasa inggris...

Teachers' Mass Divorce

>> Wednesday, May 20, 2009

Rabu, 20/05/2009 13:51 WIB
Bandung - Angka perceraian pegawai negeri sipil (PNS) khususnya guru di Bandung cukup tinggi. Wali Kota Bandung Dada Rosada mengaku hampir setiap hari menerima surat permohonan izin bercerai dari PNS. Mayoritas adalah para guru.

Sebelumnya dalam harian lokal hari ini, Dada menyatakan sejak Januari hingga Mei 2009, hampir setiap hari dia menerima satu hingga dua pengajuan izin bercerai dari PNS. Mayoritas berasal dari Dinas Pendidikan Kota Bandung.

Kutipan artikel di atas saya dapatkan dari detikBandung. Sungguh menyedihkan kondisi keluarga para guru ini. Menyedihkan karena mereka bercerai, menyedihkan juga karena sebagai role model bagi siswa, mereka gagal menjadi teladan.


Apakah perceraian kini menjadi hal yang biasa? Jika ya, maka setiap kita perlu mengevaluasi diri, pergeseran nilai apa yang telah terjadi dalam diri kita. Jika kita bandingkan beberapa dasawarsa silam, perceraian merupakan hal buruk yang sekuat mungkin ditutupi oleh pihak keluarga. Mereka tidak ingin menanggung malu karena berpisahnya kedua insan itu. Jika ini hal ini telah menjadi biasa seperti mengganti baju, maka pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga terkait perlu memberikan perhatian lebih seirus terhadap hal ini.

Selain untuk membawa anak dan siswa kepada masa depannya yang terbaik, keluarga dan sekolah juga turut bertanggungjawab atas keberhasilan kehidupan berkeluarga mereka. Keluarga yang harmonis dan sehat akan mendukung karir, usaha, panggilan hidup seseorang. Perceraian menimbulkan terlalu banyak dampak negatif.

Suatu penelitian di Amerika menyatakan, bahwa perceraian mengakibatkan dampak pada kesehatan, keuangan, kehidupan sosial dan kejiwaan seseorang. Dr. Kenneth Batema dari Amber University mengeluarkan hasil penelitiannya yang menyatakan buruknya dampak yang dihasilkan oleh perceraian.

Penyebab perceraian beranekaragam, mulai dari perzinahan/perselingkuhan, maslah keluarga hingga gila kerja. Berikut ini adalah hasil penelitian
DivorceMagazine.com pada tahun 2004 dan 2003 (dalam kurung) (link):

* Extramarital affairs - 27% (29%)
* Family strains - 18% (11%)
* Emotional/physical abuse - 17% (10%)
* Mid-life crisis - 13% (not in 2003 survey)
* Addictions, e.g. alcoholism and gambling - 6% (5%)
* Workaholism - 6% (5%)

Apapun penyebabnya, semua berakar dari hilangnya cinta kasih yang sejati. Hawa nafsu telah menggantikan cinta kasih itu. Ed Cole berkata, hawa nafsu adalah keinginan untuk memuaskan diri sendiri walaupun harus mengorbankan orang lain. Sedangkan cinta kashi adalah keinginan untuk memuaskan orang lain (pasangan) walaupun harus mengorbankan diri sendiri. Pertanyaannya sekarang, seberapa banyak para suami atau isteri telah sungguh-sungguh mempraktekkan cinta kasih yang sejati itu. Semua penyebab yang terdeteksi dari penelitian di atas berakar dari tergantikannya cinta kasih dengan hawa nafsu.

Sekolah dan keluarga perlu mendisain kurikulum dan program yang khusus untuk mempersiapkan anak-anaknya menuju lembaga masyarakat terkecil ini. Pengabaian terhadap hal ini akan berdampak besar kepada moralitas dan kualitas hidup masyarakat sekitarnya. Siswa perlu belajar mengenai hubungan antar pribadi, pengelolaan konflik, pemecahan masalah, pengendalian diri, keterampilan berkomunikasi, dll. Apakah anda melihat adanya mata pelajaran seperti itu di sekolah? Apakah Anda mengajarkan anak Anda mengeani hal-hal tersebut di rumah? Ini adalah sebuah pekerjaan besar.

Teach your children to be a great person, not only a good one.

Who Will Take This Task?

>> Tuesday, May 19, 2009

"Gue sudah macarin 17 orang cewek, 7 diantaranya gue lecehkan secara seksual."
"Tujuh? Emang umur elo berap sekarang?"
"17 tahun."

"Gue kecanduan games on-line. Gue pernah sakit gara-gara dua hari penuh gue main di warnet."
"Emang elo sakit apa?"
"Ambeien. Gue juga pernah diseret pulang bokap gue, karena bolos buat maen games."

"Kapan terakhir kali elo masturbasi?"
"Kemarin malem, sebelum gue berangkat ke sini."
"Dari kapan elo ngelakuinnya?"
"Dari SMP"

"Gue suka nonton film porno. Gue juga pengedar film-film begituan. Kemana gue pergi, gue selalu bawa film untuk gue bagi-bagiin."
"Maksud elo? Elo ga jualin film itu?"
"Nggak, gue cuma bagi-bagiin aja"

"Orang tua gue sudah cerai sejak gue kecil. Bokap gue kawin lagi. Suatu hari, waktu gue SD, bokap gue bilang mau balik lagi sama keluarga. Dia emang balik lagi. Tapi ternyata dia cuma ngambil harta nyokap gue, dan dia balik lagi sama istrinya yang kedua. Jadi sampe sekarang gue benci banget sama bokap gue."

"Gue pernah pacaran sama cewek, tapi di tengah jalan cewek itu nyakitin gue dan akhirnya gue putusin. Sejak saat itu gue kalo berhubungan sama cewek gue sering nyakitin mereka. Gue belajar ilmu untuk bikin cewek cepaet lengket sama gue. Gue kasih permen atau kepulin asap rokok ke muka dia, dia pasti langsung nempel."
"Maksudnya elo guna-gunain dia?"
"Iya. Kalo gue sudah puas, gue sakitin dia dan gue tinggalin itu cewek."

_____

Ini semua adalah sedikit dari ratusan pengakuan laki-laki usia muda tentang hidup mereka yang hancur di sebuah acara yang saya ikuti. Hidup mereka hancur, tapi mereka tidak bisa keluar dari sana. Mereka sadar mereka salah, tapi mereka tidak mampu untuk bebas. Saat mendengarkan semua pengakuan itu, hati saya bergetar, dada saya sesak dan pikiran saya merenung: betapa hancurnya generasi muda saat ini.

Sebuah penelitian di majalah Tempo di awal tahun 2000-an menyatakan setidaknya ada dua juta kasus aborsi dalam setahun. Ini pun yang terdata. Data lainnya menyatakan, lebih dari 75% generasi muda di kota-kota besar di indonesia telah kehilangan keperjakaan dan keperawanannya sejak usia SMA mereka.

Masa depan bangsa ini sedang diancam oleh kehancuran hidup generasi mudanya. Televisi, Narkoba, rokok, pornografi, permainan internet on-line, dll telah mencuri waktu mereka dari hal-hal yang lebih bernilai untuk hidup mereka. Ada suatu 'kekuatan laten' yang menginginkan generasi muda sekarang ini jatuh ke berbagai hal yang hanya berpusat pada menyenangkan diri sendiri. Semua hal di atas itu dilakukan hanya untuk melampiaskan kemarahan yang tersembunyi dengan rapi.

Mereka marah dengan lingkungannya, keluarganya, orang tuanya. Mereka marah karena mereka tidak melihat sebuah contoh yang berintegritas, sebuah model yang dapat dipanut. Mereka marah karena mereka di-dua-kan. Harapan yang mereka gantungkan pada orang terdekat mereka dicabut sehingga meninggalkan luka kekecewaan yang tidak mampu mereka atasi dan berujung pada kemarahan dan kepahitan. Kemarahan dan kepahitan adalah kekuatan atau modal yang cukup bagi mereka untuk lari dari orang-orang yang mengecewakan mereka. Mereka berlari kepada tawaran-tawaran di dunia ini yang senantiasa memanjakan dan meninabobokan ego mereka. Mereka butuh kepuasan setelah sekian lama ego itu tidak pernah terpuaskan.

Apa jadinya masa depan dengan orang-orang yang hanya berpusat pada ego masing-masing? Apa jadinya bangsa ini dengan orang-orang yang menyimpan kemarahan tersembunyi?

Apa yang dapat negara, masyarakat, sekolah dan keluarga lakukan bagi mereka.? Mereka yang seharusnya menjadi kebanggaan di masa tua kita, telah terperangkap dalam jebakan 'kekuatan laten'. Pemerintah telah mengusahakan pendidikan budi pekerti; tidak sedikit masyarakat yang mengembangkan program-program pendidikan karakter; sebagian sekolah-sekolah pun menjual 'nilai-nilai unggul'; dan sebagian keluarga telah berusaha dengan keras mendidik anak-anaknya di jalan yang lurus, namun kenyataannya terlalu banyak yang terjebak daripada yang bisa ditangani.

Ini adalah tugas pendidikan sesungguhnya: memastikan generasi muda hidup benar dan memaksimalkan potensi mereka.

Dan ini yang jadi perenungan saya: Siapa yang sanggup mengemban tugas berat ini? dan Bagaimana?

A Priority: Mother Language

>> Thursday, May 14, 2009

JAKARTA, KOMPAS.com - Institusi pendidikan yang menggunakan konsep dwibahasa (bilingual) harus didukung penuh oleh sekolah, guru, serta kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. Jika tidak, selain berakibat pada sisi akademis dan keterampilan siswa, longgarnya ikatan terhadap penggunaan bahasa nasional bisa berpengaruh buruk pada nasionalisme mereka.

Hal tersebut dikatakan oleh Antarina S.F. Amir, Ketua High/Scope Indonesia, kemarin (13/5) dalam jumpa pers dan seminar "Dual Language Essentials for Teachers and Administrastors" di Jakarta. Acara sosialisasi konsep dual language tersebut menghadirkan pembicara Dr. David Freeman dan Dr. Yvone Freeman, "pasutri linguistik" dari Universitas Arizona, Amerika Serikat.

Untuk itulah, tambah Antarina, keinginan orang tua membekali anak-anaknya dengan Bahasa Inggris sebaiknya harus dengan berbagai pertimbangan matang. Khususnya, ketika mereka membidik sekolah-sekolah favorit yang menawarkan konsep tersebut. Alasannya, konsep dwibahasa tidak sekedar mengubah bahasa pengantar dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris.

Antarina mengatakan, aplikasi konsep tersebut harus didukung penuh oleh sekolah, guru, serta kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. "Kalau tidak akibatnya bisa berpengaruh besar pada sisi akademis dan keterampilan siswa. Selain itu, kian minimnya penggunaan bahasa nasional atau Indonesia juga akan berpengaruh buruk pada nasionalisme siswa terhadap bahasa ibunya sendiri," tandas Antarina.


Saya sendiri setuju dengan pernyataan sang nara sumber pada berita di atas. Tanpa penguasaan yang kuat terhadap bahasa ibu, anak akan mengalami kesulitan dalam masa dewasanya nanti.

Contohnya saya sendiri, saya teringat dengan kejadian beebrapa tahun lalu. Saya dan beberapa orang teman yang berada dalam forum 'think tank', bermaksud mendirikan sebuah organisasi nirlaba untuk kemajuan lingkungan kami. Dalam masa-masa perumusan visi dan misi, kami banyak sekali mengalami benturan dengan penggunaan bahasa. Apa yang ada di benak kami dan apa yang menjadi cita-cita kami, kami coba tuangkan dalam rumusan visi, misi dan strategi. Ternyata pekerjaan ini tidak mudah. Membutuhkan waktu berminggu-minggu sampai akhirnya rumusan visi dan misi ini tertulis dengan baik.

Dalam kesempatan lain saya dipercaya oleh atasan untuk memimpin sebuah kegiatan. Dalam kegiatan ini kami ingin melibatkan pihak ketiga sebagai sponsor acara ini. Saya pun akhirnya tidak bisa menunjuk orang lain untuk membuat isi proposal kegiatan. Saya harus mengerjakannya sendiri. Saya mendapati, ternyata ntuk memnyusun kata-kata dan kalimat-kalimat yang efektif dan formal tidaklah mudah. Proposal bisa diselesaikan dalam waktu beberapa hari.

Walaupun saya adalah seorang yang mampu berbahasa inggris, bahkan sebagai guru bahasa inggris, namun penguasaan bahasa ibu tidak bisa dikesampingkan. Saya masih harus banyak belajar. Dengan menulis di blog ini saya harap pembelajaran saya dapat terus berlangsung.

My Limp Eye Glasses

>> Tuesday, May 12, 2009

Memasuki hari-hari terakhir mengajar kepala saya semakin pusing. Beberapa ujian siswa masih teronggok di depan meja saya, menanti untuk diperiksa. Beberapa pekerjaan administrasi lainnya masih menunggu: memasukkan nilai ke daftar nilai siswa, membuat ujian akhir semester, menyiapkan rencana pengajaran untuk beberapa minggu ke depan, membuat materi pembelajaran, dll.

Hal bertambah ruwet dengan patahnya tangkai kacamata saya. Secara pribadi saya tidak memiliki masalah, ini hanya masalah kenyamanan saja. Tetapi saya harus berdiri dan lalu lalang di hadapan ratusan siswa dan rekan sekerja yang terkadang melihat saya dengan wajah heran, ini yang membuat saya terganggu. Belum lagi saat di rumah, kedekatan kami antar tetangga membuat 'kecacatan' penampilan saya menjadi semakin populer. Sabtu lalu, saya dan isteri menyempatkan diri untuk pergi ke toko optik dan membuat kacamata baru. Syukur kepada Tuhan, saya mendapatkan yang terbaik dengan harga yang relatif murah. Dengan membayar DP terlebih dahulu kami dijanjikan untuk mengambil kacamata dalam waktu seminggu.

Tanpa kacamata saya tidak dapat bekerja dengan efektif, namun dengan kacamata yang 'tidak lengkap' ini juga saya tidak dapat konsentrasi. Mengapa penampilan menjadi masalah? Menurut Harry K. Wong dalam bukunya The First Day Of School, penampilan adlah hal yang penting bagi seorang guru. Ia bahkan menuliskan satu bab khusus tentang bagaimana seorang guru harus berpakaian.

Ia menyatakan bahwa Anda tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk membuat kesan pertama! Sebagaimana Anda berpakaian, demikian Anda akan dipandang dan sebagaimana Anda dipandang, demikianlah Anda akan diperlakukan. Roxette dalam lagunya di era 90-an mengatakan dengan tepat: Dressed for Success!

Dengan kata lain, siswa Anda akan memperlakukan Anda dengan baik, bilamana Anda juga bersikap dengan baik pada mereka. Dan hal ini dimulai dengan mengenakan pakaian yang tepat. Saya tentunya tidak perlu membicarakan dengan detil tentang pakaian apa yang cocok untuk mengajar. Prinsipnya adalah perlakukan diri Anda sendiri dengan memakai kacamata siswa. Guru seperti apa mereka bisa banggakan dalam hal berpakaian. Bandingkan dengan ini: Tidak ada pengemis jalanan berpakaian necis dan rapi. Tidak ada seorang perenang memakai pakaian yang menghalangi gerak tubuhnya. berpakaianlah sesuai dengan fungsi Anda sebagai guru. Berpakaianlah dengan pemikiran: Saya akan berhasil dalam mengajar anak-anak hari ini, seperti seorang salesman yang akan bertemu dengan klien terbesarnya.

Penampilan saya masih harus seperti ini setidaknya sampai seminggu ke depan. Terima Kasih Tuhan atas 'ujian' ini, saya belajar untuk menahan rasa malu...

65+'s Best Friend is TV?

>> Thursday, May 7, 2009

Percaya atau tidak, menurut National Statistic, United Kingdom, jumlah penonton TV yang berusia 65 tahun ke atas menghabiskan waktu rata-rata 3 jam 45 menit per harinya(link to source)! dan hanya menghabiskan waktu kira-kira 1 jam 50 menit untuk bersosialisasi. Apakah ini pertanda bahwa satu-satunya teman setia seorang tua renta adalah televisi?

Bandingkan dengan statistik lainnya dari sumber yang sama(link to source): rata-rata 2 jam 30 menit perharinya dihabiskan untuk menonton TV oleh orang berusia 16 tahun ke atas. Ini adalah kegiatan yang menempati peringkat pertama dalam kategori leisure (kesenangan).

Hal yang menarik dari data-data yang ditunjukkan oleh statistik itu adalah kegiatan membaca menjadi pilihan ketiga bagi para senior, setelah menonton TV dan bersosialisasi. Sedangkan bagi mereka yang berusia 16 tahun ke atas hanya menghabiskan rata-rata 25 menit saja per hari untuk membaca dan kegiatan ini berada pada urutan ke dua terakhir dari lima kategori leisure.

Saya pernah mendengar sebuah seminar dimaan pembicaranya kurang lebih berbicara demikian: ada sebuah berhala modern yang hadir di setiap rumah. Berhala ini bahkan menempati posisi terhormat dan ditempatkan di tempat yang layak. Semua posisi tempat duduk berkiblat searah posisi dimana ia berada. Ia bernama televisi. Ia senantiasa diposisikan ditempat yang terbaik, di ruang tamu, ruang keluarga atau di kamar tidur dan semua posisi tempat duduk tidak ada yang tidak menghadap wajahnya yang menghibur. Inilah berhala modern itu, ia telah mencuri waktu dan hubungan di ruang tamu, ruang keluarga dan tempat tidur.

Saya sendiri telah memutuskan untuk tidak memiliki TV di rumah saya sejak saya menikah enam tahun lalu. Saya tidak anti televisi, saya bahkan telah merencanakan untuk membeli satu (hanya satu).... beberapa tahun lagi. Saya meyakini adanya hal yang baik dan bermanfaat dengan memiliki televisi.

Taufik Ismail pernah berkata Indonesia adalah sebuah bangsa yang terlalu buta untuk membaca dan terlalu lumpuh untuk menulis. Dengan segala hormat, saya akan menambahkan pernyataannya: Indonesia juga sebuah bangsa yang terlalu jeli untuk menonton TV dan terlalu aktif untuk berbicara. Statistik yang saya tunjukkan diatas adalah terjadi di sebuah negara maju yang telah terlebih dahulu melewati era membaca dan menulis, sebelum era menonton TV. Akibatnya, walaupun gempuran televisi cukup mempengaruhi budaya membaca masyarakatnya, membaca masih tetap menjadi salah satu aktivitas favorit bagi mereka. ABgi yang berusia 65+ menggunakan 1 jam 15 menit untuk membaca dan yang berusia 16+ menggunakan 25 menit.

Tanpa survey sejenis dan hanya berdasarkan pengamatan, saya yakin Anda bisa menilai berapa jumlah waktu yang digunakan masyarakat Indonesia untuk membaca? Di daerah perkotaan saya yakin besarannya akan cukup baik, namun di daerah? dan bagaimana bila di rata-rata untuk seluruh nusantara ini? Berapa jumlah waktu dan uang yang Anda dan keluarga habiskan untuk membaca dibanding dengan menonton TV?

Masyarakat, khususnya keluarga dan sekolah harus mengambil alih pimpinan dan berada di garda depan penyelamatan anak-anak bangsa ini dari pengaruh buruk TV. Perlu ada usaha sistematis dan upaya terstruktur untuk menggalang gerakan membaca secara nasional. Dengan membaca kita mendidik anak-anak lebih baik dibanding dengan menyerahkannya pada TV. Kita memang memiliki TPI, Televisi Pendidikan Indonesia, namun benarkah televisi ini bermuatan pendidikan? Televisi tidak lagi dikuasai roh pendidikan, tetapi komersialisasi.

Komersialisasi ini tentunya berakibat apa yang laku akan saya jual tidak perduli apa isinya. Ketika acara Empat Mata memiliki rating yang tinggi, produser acara tidak lagi mempedulikan isi, hingga muncul hal-hal yang menyimpang yang berujung pada pencekalan program tersebut oleh KPI. Dalam berita terkini, KPI bahkan telah melansir 7 program acara bermasalah saat ini, dan salah satunya adalah program Bukan Empat Mata(link to source). Ini barulah program bermasalah versi KPI, bagaimana dengan versi anak-anak? Mereka belum dapat memilih apalagi mencekal. Mereka menonton apa yang menyenangkan buat mereka. Bahkan, sekalipun dengan pendampingan orang tua, belum tentu program yang ditonton oleh anak memang benar-benar baik buat mereka.

Dalam artikel saya sebelumnya mengenai membaca(link to source), banyak komentar yang masuk yang mempersoalkan kesulitan mereka menolong anak-anaknya dari aktifitas menonton TV. Oleh karena keadaan mereka tidak cukup mampu untuk mengarahkan anak-anaknya kepada aktifitas membaca. Penyelesaian atas masalah ini sebenarnya hanya berbicra mengenai prioritas. Bila anak kita merupakan seseorang yang penting, maka kita akan menempatkannya pada prioritas terbaik dan melakukan apapun untuk menyelamatkan dan menjamin masa depannya. Secara detail saya akan coba memberikan beberapa tips untuk mengalihkan anak-anak dari menonon TV kepada membaca buku di artikel berikutnya.

Tidak ada tokoh yang berpengaruh di dunia ini dididik oleh apa yang ia tonton di TVnya, hanya apa yang ia baca di bukunya....

The Post Modern Impulse

>> Wednesday, May 6, 2009

Philosohpy Education: Bab 1 - Bab 2 - Bab 3 - Bab 4 - Bab 5 - Bab 6 - Bab 7

Bab ini secara khusus membahas tentang postmodernisme, apa penyebab munculnya dan hal-hal apa saja yang terkait di dalamnya. Ini adalah bab ke lima dari buku Philosophy Education oleh George R. Knight.

Hati dari modernisme adalah keinginan untuk memahami dunia melalui akal budi. Asumsi dasar dari para modernis awalnya adalah dunia merupakan tempat yang masuk akal dan realitas yang ada hanya dapat dipahami oleh pikiran manusia. Modernisme juga memandang pengetahuan adalah hal yang baik secara alamiah.

Postmodernisme adalah bagian besar dari penolakan terhadap bagaimana modernisme melihat sesuatu. Dari permukaan, dapatlah dilihat bahwa Postmodernisme bukan merupakan wawasan yang memiliki kesatuan, namun Postmodernisme memiliki kesatuan dalam hal penolakannya terhadap modernisme. Sebagian orang percaya bahwa Postmodernisme mewakili sebuah periode sejarah yang orang hadapi, sedangkan lainnya memandang bahwa Postmodernisme adalah perpanjangan dari beebrapa konsep dasar modernisme itu sendiri.

Postmodernisme bukanlah sebuah produk dari para filsuf, tetapi lebih banyak berasal dari berbagai rentang bidang dari seni, kesusastraan hingga arsitektur. Menurut Friedrich Nietzsche, yang mencetuskan dasar Postmodernisme, tidak ada dasar untuk meletakkan kepercayaan. Kebenaran sudah mati dan orang tidak memiliki pilihan selain menciptakan dunianya sendiri. Tiga gerakan filsafat yang mempengaruhi Postmodernisme adalah pragmatisme, eksistensialisme dan pikiran-pikiran Marxis. Perlu dikenali bahwa gerakan-gerakan ini mewakili penolakan atas behaviorisme, posistivisme dan analisis filsafat. Di samping itu teori-teori Postmodernisme sangat mendukung analisis filsafat tertentu yang berhubungan dengan bahasa dan pemahaman atas makna bahasa.

Landasan bagi semua filsafat pendidikan Postmodernisme melingkupi hal-hal berikut:
1. Adalah tidak mungkin utnuk menentukan kebenaran obyektif
2. Bahasa tidak menolong kita bersentuhan dengan realitas
3. Bahasa dan makna dikonstruksi secara sosial
4. cerita
5. pengetahuan adalah kekuatan
6. Sekolah telah berperan secara trasional sebagai agen kekuasaan untuk kontrol sosial dengan memanipulasi penegtahuan
7. Pentingnya pemahaman atas pluralitas dari perspektif yang berbeda.

Sekolah tidaklah menjadi agen penyimpan dan penerus masa lalu, seperti yang disarankan filsafat tradisional, tetapi sebagai agen perubahan. Tujuan kurikulum dari pandangan Postmodernisme adalah rekonstruksi pengetahuan sebagai sebuah dasar untuk merekonstruksi budaya yang lebih besar dan kekuatan hubungannya. Sebuha konsensus umum bagi para teoritis Postmodernisme mengatakan, pendidikan di masa datang tidak berdasar pada kurikulm dan metode masa lalu. Mereka menyarankan bahwa siswa dan guru harus belajar untuk membuat pengetahuannya sendiri.

John Zahorik menunjukkan pengajaran teori konstruktivisme didasarkan pada tiga proposisi:
1. Pengetahuan dikonstruksi oleh manusia
2. Pengetahuan bersifaat dugaan dan dapat salah/keliru
3. Pengetahuan bertumbuh melalui penelaahan
Poin ketiga memunculkan dua isu yang berhubungan dengan banyak perhatian para teoris Postmodernisme. yang pertama adalah pentingnya bahasa dalam semua aspek dan yang kedua adalah penuhnya potensi kurikulum postmodern merupakan ide penelaahan.

Pendidikan Postmodernisme secara umum memandang guru sebagai aktivis sosial yang keluar untuk mengubah status quo dengan menolong siswa mengambil tanggung jawab pribadi dan sosial untuk masa depannya. Guru haruslah menjadi seseorang ayng dapat merespon dalam konteks yang selalu berubah-ubah. Jadi, pelatihan guru harus menghasilkan 'guru pemikir' dan bukan teknisi.

What is Your Hope for Our National Education?

>> Saturday, May 2, 2009

Hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Salam pendidikan bagi para pendidik, regulator pendidikan, pengamat pendidikan, para siswa dan oarng tuanya serta seluruh stake holder dalam pendidikan nasional.

Banyak pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan oleh bangsa ini atas visi dan program pendidikannya. "Mencerdaskan kehidupan bangsa", demikian kata UUD 1945. Apakah visi ini sudah terwujud? apakah bangsa kita dikategorikan sebagai bangsa yang cerdas di antara bangsa-bangsa di dunia ini? Apakah pendidikan telah berlaku secara nasional? Apakah pendidikan kita telah bermutu? Apakah negara lain banyak mengirimkan generasi mudanya belajar di negeri kita? Apakah para pendidik di negeri ini terjamin profesionalisme dan kesejahteraanya? Apakah fasilitas pendidikan mencukupi? Apakah kurikulum nasional telah mampu menjawab kebutuhan masa datang? Apakah sumbangsih lulusan pendidikan kita bagi dunia? Apakah pemerintah telah secara efektif menjalankan perannya untuk mewujudkan visi pendidikan nasional? dan sejuta pekerjaan rumah lainnnya...

Apapun jawabannya, saya yakin tidak cukup waktu bagi saya untuk menuliskannya di blog ini.

Apa harapan Anda atas pendidikan di Indonesia? Apa kontribusi Anda? Sesederhana apapun akan sangat berharga, tuliskan dengan meng-klik link hijau di bawah ini (write comment here!).

Modern Philosophy

>> Friday, May 1, 2009

Philosohpy Education: Bab 1 - Bab 2 - Bab 3 - Bab 4 - Bab 5 - Bab 6 - Bab 7

Setelah melihat perkembangan filsafat tradisional di Bab Tiga buku "Philosohpy Education" karangan George R. Knight, berikut ini akan dipaparkan perkembangan filsafat di era modern.

Filsafat tradisional sanagt memperhatikan aspek metafisik, yaitu isu realitas. Filsafat modern tidaklah demikian. Hal ini dipicu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan diikuti oleh terobosan revolusi industri. Oleh karena itu, banyak orang di abad ke 19 dan 20 menolak realitas absolut yang statis. Dari sisi kemanusiaan, kelihatan bagi banyak orang bahwa kebenaran, juga pengetahuan manusia atas kebenaran menjadi relatif dan tidak terdapat ketentuan yang universal.

Kesimpulan ini memimpin filsafat modern menghindari isu realitas dan berfokus pada relativitas kebenaran dan nilai dari sudut pandang kelompok-kelompok sosial (pragmatisme) dan individu (eksistensialisme). Pada tahapan metafisik, pragmatisme lebih mengarahkan epistemology sebagai pusat persoalan filsafat dan eksistensialisme berfokus pada aksiologi.

PRAGMATISME
Pragmatisme adalah kontribusi Amerika pada sejarah pemikiran filsafat. Hal ini menjadi menonjol pada 100 tahun terakhir dan diasosiasikan dengan mana-nama seperti charles s. Pierce, William James dan John Dewey. Pragmatisme (disebut juga eksperimentalisme, dan instrumentalisme) adalah reaksi filosofis pada perubahan dunia. William James mendefinisikan pragmatisme sebagai sebuah sikap memalingkan diri dari hal yang utama, prinsip-prinsip, kategori,kebutuhan yang seharusnya dan mengarahkan diri pada hasil akhir, buah-buah, konsekuensi dan fakta-fakta.

Beberapa pragmatis menyangkal bahwa filsafat mereka memiliki sebuah metafisika. Mereka menyatakan bahwa jika ada keteraturan realitas seperti filsafat traditional, orang tidak memiliki jalan untuk mengetahuinya. DAri sudut pandang mereka, pikiran dan zat bukanlah dua hal yang terpisah dan substansi yang berdiri sendiri. Orang mengetahui zathanya jika mereka mengalaminya dan mencerminkan pengalamannya di pikiran mereka. Realitas bukanlah sebuah hal yang abstrak. Tetapi adalah sebuah pengalaman transaksional yang secara tetap mengalami perubahan. Maka itu, realitas tidaklah tetap tetapi berada dalam sebuah kondisi perubahan terus menerus selama pengalaman kemanusiaan semakin meluas. Apa yang nyata hari ini bisa menjadi tidak nyata di masa datang.

Pragmatisme pada dasarnya adalah suatu pelaku epistemologi. Pengetahuan berakar pada pengalaman. Individu tidak dapat secara langsung menerima pengetahuan, mereka membuatnya saat mereka berhubungan dengan lingkungan. Menurut Dewey, proses pemikiran reflektif dapat dilihat dalam lima tahap:
1. Individu menjumpai masalah atau situati yang mengganggu yang secara sementara menghalangi kemajuan mereka.
2. Intelektualisasi dari apa yang pada awalnya sebuah respon emosional untuk menrintangi aktifitas.
3. Penyimpanan solusi-solusi yang memungkinkan
4. Latihan mempertimbangkan solusi-solusi di tahap tiga dengan menduga kemungkinan konsekuensi yang terjadi bila dilakukan.
5. Mencoba hipotesa yang paling masuk akal dengan melihat konsekuensi yang telah diduga memang terjadi.
Bila seseorang tidak dapat membuktikan atau menjalankan hipotesanya, maka orang tersebut harus kembali lagi setidaknya ke tahap empat dan mencari kebenaran bagi hipotesa lainnya.

Sampai di sini, sangatlah penting untuk mengenal bahwa pengetahuan dalam perspektif pragmatisme harus dibedakan dengan kepercayaan. Kepercayaan adalah hal yang pribadi sedangkan pengetahuan selalu menjadi hal yang umum.

Nilai-nilai dalam pragmatisme sangatlah relatif dan tidak ada prinsip absolut yang mana kita dapat bersandar. Sebagaimana kebudayaan berubah demikian juga nilai-nilai. Apa yang secara etika baik adalah yang 'bekerja'. Harus di catat, sama seperti ujian pada epistemologi harus dilakukan oleh publik secara alamiah, demikian juga ujian terhadap etika berdasarkan pada apa yang baik dalam masyarakat dan tidak pada apa yang baik pada individu. Konsep keindahan bergantung pada apa yang seseorang rasakan ketika mereka mendapatkan pengalaman estetika.

Dalam pendidikan, pragmatisme menganggap siswa adalah individu yang 'mengalami' yang berkemampuan untuk menyelesaikan masalah. Menurut mereka, pengalaman dalam sekolah adalah bagian dari kehidupan dari pada sebuah persiapan kehidupan. Guru dapat dipandang sebagai rekan siswa dalam pengalaman kependidikan, sebgaimana seluruh kelas mereka menghadapi dunia yang terus berubah. Namun demikian guru adalah 'petualang' yang lebih berpengalaman dan karenanya dapat dipandanga sebagai pemandu atau pengarah proyek. siswa dan minatnya diletakkan sebagai pusat pendidikan, mata pelajaran sebaiknya ditentukan dengan pandangan untuk memenuhi kebutuhan siswa. Menurut Dewey, kurikulum seharusnya tidak dipisahkan menjadi wilayah-wilayah pokok yang terbatas dan tidak alamiah. Metode yang terbaik adalah bagaimana memberikan siswa suatu kebebasan memilih yang besar untuk mendapatkan situasi pengalaman belajar yang bermakna bagi mereka. Field Trip dan metode 'project' adalah teknik favorit para pragmatis.

Lagi menurut Dewey, anak-anak ahrus secara bertahap berpindah dari pembelajaran yang berdasar pada pengalaman langsung kepada metode pengalaman pembelajaran. tujuan sekolah adalah bukan untuk meminta siswa menghafalkan isi, tetapi meminta mereka belajar cara belajar, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri pada dunia yang berubah secara konsta di masa kini dan masa datang. Dari sudut pandang ini, dapatlah di katakan bahwa kurikulum sekolah pragmatik lebih memperhatikan proses dari pada isi.

Sudut pandang politik pragmatisme adalah demokrasi. Mereka melihat sekolah sebagai lingkungan ideal untuk kehidupan dan pembelajaran demokratis, dimana setiap orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dalam mempersiapkan partisipasi yang lebih besar dalam masyarakat yang lebih luas.

EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme tidak diragukan lagi sangat memperhatikan emosi individu dari pada sisi intelektual. Walter Kaufmann mengidentifikasi eksistensialisme sebagai:
1. Penolakan terhadap penggolongan bentuk pemikiran apapun.
2. Penyangkalan terhadap kecukupan sistem filsafat dan kerangka kepercayaan
3. Menandai ketidakpuasan atas filsafat tradisional sebagai kepalsuan, akademis dan jauh dari kehidupan.
Individualisme adalah pilar utama eksistensialisme. Eksistensialism tidak mencari tujuan dari alam semesta, hanya individu yang memiliki tujuan. Eksistensialisme tidak mengkomunikasikan pada pendidik seperangkat aturan untuk dikuasai atau sebuah program yang dilembagakan. Melainkan ia menyediakansebuah semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan. Mereka juga tidak merumuskan pemikiran mereka dalam istilah-istilah metafisik, epistemologi dan aksiologi.

Keberadaan individu merupakan pusat utama pandangan eksistensialisme atas realitas. Keberadaan mendahului esensi atau hakikat. Seseorang ada dahulu baru kemudian ia dapat mendefinisikan ke-apa-annya dan esensinya. Tindakan dalam keseharian adalah proses untuk mendefinisika esensi pribadi. Saat individu menjalani kehidupan, ia membuat pilihan-pilihan dan mengembangkan kesukaan dan ketidaksukaan. Melalui kegiatan inilah seseorang akan merealisasi apa yang ia pilih akan menjadi. Bagi mereka kehidupan tidak harus memenuhi unsur intelektual, bahkan boleh dikatakan absurd.

Orang memiliki keinginan ntuk mempercayai makna eksternal dan sebagai hasilnya, individu memilih untuk mempercayai apa yang mereka mau percaya. Jika keberadaan mendahului esensi, maka muncullah seorang individu dan kemudian datanglah gagasan yang diciptakan oleh individu itu.

Individu masuk ke dalam kehidupan tanpa persetujuan sang individu dan setiap mereka bebas untuk menjadi apapun yang mereka inginkan. Individu tidaklah memutuskan atau menetapkan sesuatu. Karena kemerdekaan ini, setiap orang bertanggungjawab atas semua pilihan dan tindakannya. SEtiap orang memiliki pengalaman sendiri untujk membuat keputusan pribadi yang berwewenang. Dalam wilayah etika, tidak ada hal yang absolut dan tidak ada orang yang dapat menyatakan kelakuan yang baik dengan alamiah. Adalah penting untuk bertindak tanpa memperhatikan konsekuensinya. Tidak bertindak adalah menjadi tidak bertanggung jawab.

DAlam hubungannya dengan pendidikan eksistensialisme tidak banyak menyinggung wilayah ini. Mereka menyatakan apa yang telah berjalan saat ini dalam pendidikan adalah sangat berbahaya, karena sekolah mempersiapkan siswa untuk konsumerisme dan membuat mereka menjadi roda penggerak dalam mesin teknologi industri dan birokrasi modern. Sebagi ganti menolong orang mengeluarkan individualitas dan kreatifitasnya, banyak pendidikan mencurangi dan merusak atribut manusia yang hakiki ini.

Van Cleve Morris menyatakan pendidikan eksistensialis berfokus pada menolong individu menjadi penuh dalam perealisiasian hal-hal berikut:
1. Sebagai Agen Pemilih (Choosing Agent); tidak dapat menghindar dari memilih jalan hidupnya sendiri
2. Sebagai Agen Kebebasan (Free Agent); sangat bebas untuk menetapkan tujuan hidupnya
3. Sebagai Agen yang Bertanggung jawab (Responsible Agent); bertanggung jawab secara pribadi atas pilihan-pilihan bebasnya sebagaimana tercermin di dalam bagaimana ia menjalani hidupanya

Guru menjadi seseorang yang berkeinginan untuk menolong siswa menjelajahi jawaban-jawaban yang mungkin. Ia akan memeperhatikan keunikan individu dari setiap siswa. Ia memperlakukan siswa sebagai individu yang dapat dikenalinya dari pada menjadi sesuatu yang harus di arahkan dan diisi oleh pengetahuan. guru disebut sebagai fasilitator. dalam perannya ini guru akan menghormati emosi dan aspek-aspek irasional individu dan akan berusaha keras untuk memimpin siswa kepada pemahaman diri mereka yang lebih baik. Kurikulum dalam sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan, karena konsep kebenaran eksistensialisme selalu berkembang dan berubah. Eksistensialisme sejalan dan sepakat dengan dasar-dasar pendidikan tradisional, seperti sains, ilmu sosial, harus dipelajari. Metode pengajaran yang digunakan sangatlah bervariasi. Mereka menentak keseragaman materi, kurikulum dan pengajaran dan menyatakan bahwa seharusnya terdapat banyak pilihan terbuka bagi siswa yang ingin belajar. Metode berpusat pada konsep 'ketidakpaksaan' dan metode itu dapat menolong siswa untuk menemukan dan menjadi diri sendiri.