WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

Say No! To Local School!

>> Saturday, January 10, 2009

Pria ini adalah teman sekolah saya sejak SD, bahkan mungkin TK. Hingga SMP kami berada di satu sekolah yang sama. Sebuah sekolah swasta yang dulunya populer di Bogor. Secara akademis ia tidak menunjukkan hasil yang menonjol, bahkan cenderung digolongkan kepada kelompok siswa yang 'nakal'. Di jenjang SMA dan perguruan tunggi, kami berpisah. Saya memilih sekolah negeri dan PTS di Bogor, sedangkan dia pergi ke luar negeri: Singapura, Australia dan AS.

Beberapa tahun kemudian saya mendengar bahwa dia telah menjadi pengelola restaurant milik orang tuanya yang cukup maju di Bogor. Kami sempat bertemu di beebrapa kesempatan. Namun pertemuan kami di akhir tahun lalu menorehkan beberapa poin penting mengenai sisi-sisi pendidikan.

Ia memiliki tiga orang anak, anak pertamanya akan menginjakkan kaki di bangku SD. Beberapa bulan sebelumnya Ia sempat menanyakan informasi seputar sebuah sekolah nasioal plus yang cukup terkenal, karena ia tertark untuk mendaftarkan anaknya ke sana. Dalam pertemuan sian itu, ia menegaskan kembali keinginannya. Ia menilai sekolah di Indonesia ini tidak ada yang bagus, tidak mengajarkan cara berpikir kritis, memecahkan masalah dan menelurkan gagasan-gagasan segar dari para pelajarnya. Sekolah lokal cenderung mencatat, menghafal dan terlalu santai. Ia membandingkan dengan apa yang dialaminya ketika bersekolah di luar negeri. Setiap anak dihargai pribadi dan pekerjaannya. Semua dituntut untuk bekerja keras bila ingin mendapatkan hasil yang terbaik dengan serangkaian penelitian, studi pustaka dan pembuatan paper yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan , ia menambahkan ia dituntut untuk bekerja selama ia bersekolah. Puncaknya ia mengerjakan skripsi di dapur sebuah restauran.

Ia adalah anak orang kaya di Bogor, namun di sana, katanya, ia tidak lebih dari seorang jongos. Namun ia menyatakan apa yang dia alami amatlah berharga dalam usaha yang ditekuninya sekarang ini. Orang tuanya mendidik amat keras dalam hal uang dan pendidikan, tambahnya. Sekolah di negeri ini hanya berfokus pada nilai, tidak pada kualitas manusia yang ingin dibentuknya, maka itu tidak heran kita kalah dengan negeri lain.

Ia juga bercerita tentang bagaimana ia mendidik anaknya. Ia tidak ingin anaknya mendapat sesuatu dengan mudah. Ia mendapatkan permintaan dari anaknya untuk pergi ke Disneyland di Hongkong. Ia tidak segera mengiyakan, namun memberi syarat yang menantang pada anaknya, agar ia dilatih sejak dini untuk bekerja keras. Ia juga berusaha mengenali kemampuan anak-anaknya. Meurutnya, anaknya yang pertama ini cukup pintar dan mau bekerja keras. Maka sejak usia dini ia memasukkannya ke sekolah internasional di Bogor yang memiliki guru ekspatriat. Menurutnya, guru-guru ekspatriat memiliki metode mengajar yang berbeda dengan guru-guru lokal. Anak-anak menjadi lebih percaya diri dan mempu menunjukkan potensinya. Tidak seperti sekolah lokal. Guru selalu berusaha memtikan percaya diri anak dengan membuat pelajarannya susah dan ditakuti oleh siswa. Oleh karena itulah hingga saat ini ia tetap berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyekolahkan anaknya di sekolah lokal, apalagi almamaternya dulu.

Konon menurut pengamatannya, tidak ada alumni dari sekolah almamaternya ini yang menjadi 'orang', kebanyakan semua menjadi 'orang susah' atau 'jongos'. Ia tidak mau hal ini terjadi pada anaknya. Berbeda dengan almamaternya di luar negeri, hampir semua teman-temannya sekarang ada yang memiliki perusahaan, presdir, GM atau setidaknya manager dari perusahaan multinasional. Katanya, hanya dia saja yang paling apes mengelola restauran orang tuanya dan masih berkutat pada jeruk 10 kg yang raib, karyawan yang bandel, dll.

Dari pertemuan dengannya, saya merenungkan sebuah pertanyaan. Jika para orang tua di indonesia ini memiliki uang yang berlebih, akankah mereka tetap menyekolahkan anaknya di sekolah negeri atau setidaknya sekolah di dalam negeri? jika tidak, mengapa?

1 write(s) COMMENT(S) here!:

Queen Sophia February 9, 2012 at 8:19 AM  

Hmm..if i were parents and have money, i would put my children in a school who has you, Ms. Meicky, me, and my other mentors as their teachers hehe :)
Kalau memungkinkan, memang mau saja menyekolahkan anak-anak di luar negeri, tetapi tidak harus semua jenjang. Satu jenjang saja cukup sepanjang anak-anak merasakan sistem hidup (sekolah, budaya, environment, shopping) yang berbeda dari yang biasanya mereka jalani di Indonesia sehingga mereka punya perspektif yang lebih seimbang tentang dunia, punya ruang lingkup yang lebih besar, punya banyak teman dari berbagai latar belakang sehingga pikirannya terbuka (open minded), dll.
Kalau tidak punya uang, di sekolah saya sudah cukup juga koq Pak hehe karena teman-teman expat bilang cari sekolah seperti sekolah saya di luar negeri juga susah. Mereka saja tidak pernah menemukan sekolah seperti ini. Menurut mereka, ini sudah bagus banget...katanya.
Kemudian, sekolah-sekolah nasional yang dulu tempat kita belajar kan akhirnya menghasilkan alumni2 seperti kita, yang notabene produk lokal(PD banget haha)..nah, saya cukup percaya diri bahwa setidaknya masih ada lah sekolah di negeri kita ini yang bagus :)
Setidaknya saya bisa bilang bahwa saya yang hanya produk lokal ini bisa mengajar anak-anak expat (bukan anak Indonesia) Bhs. Inggris di sekolah internasional...
Saya belum seberpengalaman Bapak sih :) tetapi saya melihat bahwa pendidikan karakter itu seharusnya punya porsi yang sangat besar, lebih dari porsi akademik karena kalau karakternya mau dibentuk, mau diapakan juga pasti jadi "orang". Juga, perlu ada orang-orang yang mau menginvestasikan kehidupan kepada orang lain. Saya sadar banget saya bisa sampai seperti ini karena saya punya orang-orang yang mau invest dalam kehidupan saya :) I wrote about them here (tidak sebagus tulisan bapak sih hehe dan saya pasti dimarahi Ms. Meicky karena pakai bahasa campur-campur hehe)
http://www.when-god-and-i-are-dancing.blogspot.com/2011/11/mereka-yang-saya-sebut-mentor.html

and http://when-god-and-i-are-dancing.blogspot.com/2012/01/pendidikan-di-indonesia.html