WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

After the Cease Fire...

>> Tuesday, January 27, 2009

Artikel berikut ini cukup menarik...

Di sebuah ruang kelas, seorang guru perempuan, Iman Umar Ilahin, tengah memberikan pelajaran geografi. Bu guru muda itu mengajukan pertanyaan kepada murid-muridnya. ”Di sebelah timur wilayah Palestina itu negara apa?” tanyanya.

Siswi-siswi yang tahu segera mengacungkan jari tangannya. ”Sebelah timur wilayah Palestina adalah Jordania,” jawab Chalidia, siswi berkaca mata.

”Sebelah utara wilayah Palestina itu negara apa?” lanjut Bu Guru Iman.

Mereka kembali berebut dahulu mengacungkan tangan. ”Sebelah utara wilayah Palestina adalah negara Lebanon,” jawab salah seorang siswi yang duduk di sebelah Chalidia.

”Sebelah selatan wilayah Palestina itu negara apa?” tanya guru itu lagi. ”Di sebelah selatan Palestina itu Mesir,” jawab siswi yang duduk dua meja di depan Chalidia.

Bu guru ingin memberi pemahaman tentang geografi. Pelajaran geografis dipandang sangat penting bagi warga Palestina karena menjadi sarana pemahaman mereka akan wilayah negerinya yang terancam eksistensinya oleh Israel. Di wilayah itulah, nantinya, berdiri Negara Palestina.

Guru itu tidak pernah menyebut negara Israel di depan murid-muridnya. Ini bagian dari cerminan sikap mereka terhadap Israel. Mereka tidak mengakui keberadaan Israel, yang dianggap sebagai penjajah, sebagai perebut tanah nenek moyang mereka.

”Israel menghancurkan rumah kami. Apa salah kami para siswa. Apa salah kami anak-anak sekolah. Mengapa gedung sekolah kami juga dihancurkan? Bukankah kami tidak bersalah?” kata Rimra Sultan (17), kelas 11 SMA.

”Alhamdulillah, keluarga kami semua selamat. Namun, ada tetangga kami yang menjadi korban, ada kawan kami yang menjadi korban. Meski demikian, kami tidak takut. Kami tidak takut perang demi kemerdekaan negara kami,” kata anak ketiga dari 11 bersaudara itu dengan semangat. [http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/29/06131973/Apa.Salah.Kami..Para.Pelajar]

Guru adalah teladan bagi siswanya. Kita bisa melihat betapa besar pengaruh seorang duru pada murid-muridnya. Jauh di balik pelajaran geografi yang disampaikan di atas misalnya, sang guru telah berhasil secara tidak langsung menanamkan nilai-nilai kebencian pada musuh mereka dan membenarkan tindakan itu. Dengan pembenaran sikap seperti itu, murid-murid tentunya akan terinspirasi dan meneladani apa yang disampaikan gurunya. Ditambah lagi dengan situasi dan kondisi yang mereka lihat sendiri secara langsung.

Realitas terkadang memang pahit. Namun hukum universal tetap berjalan: siapa yang memendam kepahitan, dia yang akan menuai bencana; siapa yang memberi pengampunan dia yang akan menerima kelegaan.

Saya sangat tidak setuju dengan invasi Israel, hal itu telah menimbulkan banyak persoalan baru dan kecaman dunia. Namun saya lebih tidak setuju seseorang yang menyimpan kepahitan. Butuh jiwa yang besar, pandangan yang menembus realitas dan kasih yang sejati untuk bisa mengampuni.

Gung Xi Fat Choi!

Gung xi fat choi!

Kemarin adalah hari tahun baru Imlek. Alih-alih saya mendapat angpau atau makan-makan, saya malah harus berangkat ke Bogor tanpa perencanaan. Kakak saya sakit.

Dugaannya sih tumor/kanker di payudaranya. Sudah berlangsung tujuh bulan sejak di ketahui ada benjolan. Sudah tiga minggu ini tidak bisa jalan. Saya baru tahu kemarin pagi, maka itu langsung memutuskan untuk pergi ke kampung halaman. Dia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Takut katanya. Dia hanya melakukan pengobatan alternatif dan pengobatan lain menurut kepercayaannya.

Saya sendiri jadi susah hati, karena diantara anggota keluarga yang lain, saya cenderung lebih dekat dengannya. Hal ini menambahkan beban pikiran saya. Hari ini saya tidak konsentrasi untuk mengerjakan Lesson Plan (2 minggu belum beres!), mengurusi sponsor untuk acara Book Week dan mengajar. Sangat tidak menyenangkan...

Mengapa manusia harus takut? apakah sekolah mampu mengajarkan suatu antidote agar manusia tidak takut lagi? Di suasana Imlek, atau Tahun Baru Cina, ternyata ketakutan bukanlah sesuatu yang baru. Ketakutan telah menjadi konsumsi semua manusia, walau mereka tidak menyukainya. Dan ini terjadi dari tahun ke tahun, dari masa ke masa.

Kata sebuah penelitian yang sumbernya saya tidak bisa saya kutip, katanya dua besar ketakutan yang paling menghinggapi manusia adalah:
1. Takut mati
2. Takut tertolak (tidak diterima)

Anda pilih mana?

Pull the Ear Off...

>> Tuesday, January 20, 2009

Sekali lagi, sebuah kasus kekerasan dalam sekolah terjadi di Probolinggo. Seorang guru komputer tidak tetap dengan ceroboh menjewer telinga siswanya sampai nyaris putus (http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/20/08241224/Telinga.Rofi.Nyaris.Putus.Dijewer.Gurunya). Parahnya sang guru merasa tidak bersalah dengan melengos begitu saja setelah menjewer anak tersebut.

Otoritas. Guru memang memiliki otoritas di sekolah. Namun perlu digaris bawahi bahwah otoritas paling absolut atas seorang siswa adalah orang tuanya. Orang tua memang telah meneyrahkan pendidikan (pengajaran) anaknya ke sekolah. Namun demikian, tanggung jawab harus tetap dikembalikan kepada siswa atas segala perilaku maupun pembelajaran dalam proses pendidikan. Adapun guru adalah mitra orangtua yang merupakan pribadi dimana orang tua mempercayakan anaknya untuk diajar. Namun sekali-kali tidak dengan pengertian, bahwa guru mengambil alih peranan orangtua di wilayah sekolah. Guru hanyalah sebagai pengajar bagi sang anak, dengan otoritas yang lebih terbatas dari orang tua. Seorang guru tidak dapat memaksakan nilai-nilai hidupnya kepada siswa, karena itu adalah bagian dari peranan orang tua.

Jadi, melakukan keekrasan adalah salah. Apalagi dilakukan kepada anak orang. ANak sendiri saja mendidiknya tidak boleh dengan kekerasan. Jadi ada apa dibalik jiwa sang guru itu?

The High Achievers Continues...

>> Monday, January 19, 2009

Ternyata, apa yang saya tulis dalam posting sebelumnya terjadi juga di wilayah SMP. Sekolah kami berada di peringkat 35 dari 153 sekolah. Peringkat satunya adalah sekolah yang sama sekali belum pernah saya dengar, demikian juga dengan lima besarnya, kecuali SMP Al Azhar. Hmmm... ternyata sekolah di Bekasi ini diam-diam memiliki siswa-siswa yang terbaik (menurut ukuran nilai UN)...

A Great Historic Achievement...

>> Saturday, January 17, 2009

Berita mengejutkan datang dari teman saya, ini tentang hasil UN 2008 lalu. Seluruh siswa kami memang tidak ada yang gagal. Semua lulus denagn nilai yang baik dan kami bersyukur atasnya. Hanya saja, apa yang tentang teman saya katakan ini sangat mengejutkan dan membuat hati saya bercampur antara tidak percaya, kesal, kagum dan penasaran...

Merujuk kepada website puspendik ( http://www.puspendik.com/ebtanas/hasil2008/peringkat08/index.htm), sekolah kami berada dalam peringkat 30 dari 53 sekolah se-Kabupaten Bekasi untuk program IPA, sedangkan program IPS, kami berada di peringkat 34. Hal ini tidak menjadi persoalan bagi kami, mengingat berapa pun peringkat yang kami peroleh, semua itu berdasarkan kejujuran dan kerja keras dari para siswa dalam mengerjakan soal dan integritas sekolah yang terjamin dalam penyelenggaraannya. Karena dengan tegas sekolah kami selalu mengedepankan integritas dalam mencapai hasil belajar bagi siswa-siswa kami.

Sekolah kami mungkin bukan yang terbaik di Kabupaten Bekasi, mengingat belum ada lembaga survey untuk me-rating sekolah kami. Namun saya kaget dengan lima besar yang berada di kabupaten Bekasi. Karena sepanjang pengamatan saya hanya ada beberapa sekolah yang 'layak' menyandang lima besar tersebut. Bahkan yang membuat saya heran adalah peringkat satunya merupakan enam besar sekolah bernilai UN tertinggi secara nasional (untuk program IPS)! Mengalahkan sebagian besar sekolah-sekolah terbaik di negeri ini, seperti BPK Penabur, Regina Pacis, SMAN 78, SMAN 80, Kanisius, dll. Terus terang saya sangat kagum dengan pencapaian nilai UN di sekolah tersebut, yang notabene berada di pelosok Kabupaten Bekasi. Sepertinya saya harus belajar banyak dari sekolah tersebut, khususnya tentang bagaimana mereka mempersiapkan siswa-siswanya dalam menghadapi UN. Pertanyaan besar saya, siapa orang-orang besar atau alumni dari sekolah tersebut yang telah menunjukkan kualitas yang sejalan dengan hasil UN itu?

Jika usaha sekolah tersebut merupakan upaya sistematis dan oleh karena input dan mutu siswa yang memang sangat baik, haruslah tentunya Kabupaten Bekasi berbangga, karena di Bekasi ada salah satu sekolah terbaik di negeri ini. Karena untuk mencapai enam besar, setidaknya nilai rata-rata hasil UN untuk program IPS di sekolah itu sebagian besar diatas 90. Tentunya saya telah kehilangan berita bersejarah ini... Satu kali nanti saya sanat ingin melihat secara langsung sekolah ini dan proses pembelajarannya.

What a heavy days!!!

>> Thursday, January 15, 2009

Hari-hari ini cukup berat... tidak heran saya tidak bisa menulis dengan tertib hari-hari ini.

Tumpukan pekerjaan seperti menyelesaikan lesson plan, merencanakan aktifitas kelas dan evaluasi, mempersiapkan kegiatan pekan buku, mempersiapkan reading aloud dan building background. Semua itu harus dilaksanakan di minggu ini juga! Bayangkan! It's very heavy load...

sesampai saya di rumah, saya sudah kehabisan senyum dan kearmahan. Tidak heran istri saya terus bertanya-tanya kenapa saya terlihat sendu beberapa hari ini. Besok saya harus lembur, mengingat jajji yang sudah saya buat bersama rekan-rekan untuk menghabiskan hari sabtu besok mengadakan rapat perencanaan pengajaran untuk satu semester...

God please help me...

And They Live Happilly Ever After...

>> Tuesday, January 13, 2009

Beberapa teman kantor saya menihkah di liburan natal/tahun baru kemarin... hal ini pernah kami diskusikan dengan beberapa rekan dan menjadikannya sebuah joke ringan...

bilamana kita bertemu dengan seseorang dan berkesempatan menanyakan tanggal pernihkahan mereka dan mereka menyatakan bahwa mereka menikah di bulan desember/januari atau juni/juli, kemungkinan orang tersebut atau pasangannya berprofesi sebagai guru...

well, setidaknya ada tiga dari lima teman saya menikah liburan kemarin adalah pasangan guru. Mereka menikah dengan penuh keberanian di tengah krisis yang melanda dunia... Satu pasang, menikah jauh di kampung halaman dan harus menyediakan sejumlah dana untuk memotong 14 ekor babi demi sahihnya pernikahan mereka secara adat. Ada juga yang menyempatkan diri ber-honey moon di Bali. Tuhan itu baik...

Kiranya mereka dapat hidup bahagia selamanya...

Say No! To Local School!

>> Saturday, January 10, 2009

Pria ini adalah teman sekolah saya sejak SD, bahkan mungkin TK. Hingga SMP kami berada di satu sekolah yang sama. Sebuah sekolah swasta yang dulunya populer di Bogor. Secara akademis ia tidak menunjukkan hasil yang menonjol, bahkan cenderung digolongkan kepada kelompok siswa yang 'nakal'. Di jenjang SMA dan perguruan tunggi, kami berpisah. Saya memilih sekolah negeri dan PTS di Bogor, sedangkan dia pergi ke luar negeri: Singapura, Australia dan AS.

Beberapa tahun kemudian saya mendengar bahwa dia telah menjadi pengelola restaurant milik orang tuanya yang cukup maju di Bogor. Kami sempat bertemu di beebrapa kesempatan. Namun pertemuan kami di akhir tahun lalu menorehkan beberapa poin penting mengenai sisi-sisi pendidikan.

Ia memiliki tiga orang anak, anak pertamanya akan menginjakkan kaki di bangku SD. Beberapa bulan sebelumnya Ia sempat menanyakan informasi seputar sebuah sekolah nasioal plus yang cukup terkenal, karena ia tertark untuk mendaftarkan anaknya ke sana. Dalam pertemuan sian itu, ia menegaskan kembali keinginannya. Ia menilai sekolah di Indonesia ini tidak ada yang bagus, tidak mengajarkan cara berpikir kritis, memecahkan masalah dan menelurkan gagasan-gagasan segar dari para pelajarnya. Sekolah lokal cenderung mencatat, menghafal dan terlalu santai. Ia membandingkan dengan apa yang dialaminya ketika bersekolah di luar negeri. Setiap anak dihargai pribadi dan pekerjaannya. Semua dituntut untuk bekerja keras bila ingin mendapatkan hasil yang terbaik dengan serangkaian penelitian, studi pustaka dan pembuatan paper yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan , ia menambahkan ia dituntut untuk bekerja selama ia bersekolah. Puncaknya ia mengerjakan skripsi di dapur sebuah restauran.

Ia adalah anak orang kaya di Bogor, namun di sana, katanya, ia tidak lebih dari seorang jongos. Namun ia menyatakan apa yang dia alami amatlah berharga dalam usaha yang ditekuninya sekarang ini. Orang tuanya mendidik amat keras dalam hal uang dan pendidikan, tambahnya. Sekolah di negeri ini hanya berfokus pada nilai, tidak pada kualitas manusia yang ingin dibentuknya, maka itu tidak heran kita kalah dengan negeri lain.

Ia juga bercerita tentang bagaimana ia mendidik anaknya. Ia tidak ingin anaknya mendapat sesuatu dengan mudah. Ia mendapatkan permintaan dari anaknya untuk pergi ke Disneyland di Hongkong. Ia tidak segera mengiyakan, namun memberi syarat yang menantang pada anaknya, agar ia dilatih sejak dini untuk bekerja keras. Ia juga berusaha mengenali kemampuan anak-anaknya. Meurutnya, anaknya yang pertama ini cukup pintar dan mau bekerja keras. Maka sejak usia dini ia memasukkannya ke sekolah internasional di Bogor yang memiliki guru ekspatriat. Menurutnya, guru-guru ekspatriat memiliki metode mengajar yang berbeda dengan guru-guru lokal. Anak-anak menjadi lebih percaya diri dan mempu menunjukkan potensinya. Tidak seperti sekolah lokal. Guru selalu berusaha memtikan percaya diri anak dengan membuat pelajarannya susah dan ditakuti oleh siswa. Oleh karena itulah hingga saat ini ia tetap berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyekolahkan anaknya di sekolah lokal, apalagi almamaternya dulu.

Konon menurut pengamatannya, tidak ada alumni dari sekolah almamaternya ini yang menjadi 'orang', kebanyakan semua menjadi 'orang susah' atau 'jongos'. Ia tidak mau hal ini terjadi pada anaknya. Berbeda dengan almamaternya di luar negeri, hampir semua teman-temannya sekarang ada yang memiliki perusahaan, presdir, GM atau setidaknya manager dari perusahaan multinasional. Katanya, hanya dia saja yang paling apes mengelola restauran orang tuanya dan masih berkutat pada jeruk 10 kg yang raib, karyawan yang bandel, dll.

Dari pertemuan dengannya, saya merenungkan sebuah pertanyaan. Jika para orang tua di indonesia ini memiliki uang yang berlebih, akankah mereka tetap menyekolahkan anaknya di sekolah negeri atau setidaknya sekolah di dalam negeri? jika tidak, mengapa?

Finally, Her Father Come...

>> Thursday, January 8, 2009

Akhirnya bisa nulis lagi... sebenarnya banyak topik yang mau ditulis setelah mengoleksi sejumlah 'pelajaran' selama liburan ini... ga tahu harus mulai dari mana...

Mulai dari buku yang sedang saya baca? atau perilaku ortu saat pembagian ortu desember lalu? atau unek-unek teman lama saya tentang pendidikan di Indonesia? hmmm... kita mulai dari kisah pembagian rapor kemarin aja dulu ya...

Well, satu hal yang masih saya ingat adalah tentang seorang bapak datang bersama istrinya (ini adalah hal yang baik) untuk mengambil rapor anak gadisnya. bebrapa minggu sebelumnya sang bapak datang ke sekolah untuk mengeluhkan dengan keras mengenai tulisan sang guru matematika yang menyatakan bahwa anaknya mengalami kesulitan dalam mempelajari pelajaran itu. singkatnya orang tuanya protes mengapa anaknya tidak bisa menguasai pelajaran itu, padahal ia sudah membayar mahal kepada sekolah supaya anaknya bisa menguasai matematika. orang tuanya juga tidak terima bahwa anaknya harus les lagi di tempat lain. Ia juga menyatakan kekuatirannya bahwa anaknya tidak dapat lulus UN dan tidak dapat mengikuti perkuliahan degan baik nantinya.

Sisi lain dari cerita ini ternyata sang ibu menyatakan tidak memiliki masalah dengan kondisi anaknya dan dapat menerima kelemahan anaknya ini. Saat ditelepon pun sang ibu sangat kooperatif dan maklum. Sang bapak yang hampir tidak pernah mengawasi dan mengikuti pembelajaran anaknya kaget melihat laporan hasil terakhir anaknya itu. Padahal pihak sekolah setiap semester selalu melampirkan laporan pembelajaran siswa dengan komentar yang senada mengenai kemampuan anak ini.

Orang tua adalah penanggung jawab utama pendidikan anak, adapun sekolah ada bersifat mitra. Adalah sebuah kesalahan untuk mengeluh pada sekolah bilamana anak mengalami kelemahan tertentu. Ini dikarenakan sistem sekolah formal yang lebih menekankan pada sisi kognitif dan keterampilan. Sedangkan sebuah kelemahan siswa adalah karena faktor kedisiplinan, sejarah pendidikan di rumah dan ketekunan. Peran orang tua sangatlah besar demi keberhasilan siswa di sekolah. Bila siswa tidak mencapai nilai yang diharapkan ini bukan berarti akhir dari segalanya. Karena nilai adalah potret sesaat, sedangkan pembelajaran adalah proses terus menerus. 'Nilai-nilai' adalah terlebih penting dari pada nilai...