WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

Children Literature: A Dream...

>> Monday, February 22, 2010

Sabtu kemarin, saya terpaku di depan layar notebook, tidak tahu lagi apa yang harus saya ketik untuk melanjutkan penyelesaian makalah saya bertemakan ‘Membaca pada anak-anak’. Saya membutuhkan referensi lebih banyak mengenai topik yang saya coba tulis.

Tepat di sebelah kiri saya berdiri satu-satunya rak buku di rumah saya. Saya menoleh dan mencoba memperhatikan satu demi satu buku yang tersusun di rak itu. Pandangan saya tertuju pada buku ‘Membuka Masa Depan Anak-anak Kita’, sebuah kumpulan essay mengenai pendidikan terbitan Kanisius. Saya telah lama memiliki buku itu. Kira-kira sepuluh tahun lalu saya membelinya dan membacanya hingga habis dalam waktu yang cukup singkat. Isinya sangat berbobot, karena para penulis adalah pakar pada bidangnya masing-masing. Saya tidak pernah membacanya lagi sejak saat itu.

Saya mulai melihat-lihat lagi daftar isi buku itu. Mata saya langsung tertuju pada judul esai Murti Bunanta berjudul ‘Perjuangan untuk Bacaan Anak yang Layak’. Beliau adalah seorang doktor yang berkonsentrasi pada isu sastra anak. Saya mulai membuka halaman yang terkait. Entah mengapa tulisan ibu Murti yang sepuluh tahun lalu saya baca, saat itu seperti membelah isi kepala saya dan membanjiri dengan jawaban segala pertanyaan yang ada di benak saya selama ini. Bahkan tidak berhenti sampai di sana, hati saya merasa antara terkoyak, tersulut dan ingin meledak saat membaca tiap baris tulisannya.

Apa yang ibu Murti tuliskan sepuluh tahun lalu, itulah yang saya rasakan saat ini. Saya sangat bisa memahami kerisauan sang penulis mengenai kondisi bahan bacaan atau ia menyebutnya sastra anak di Indonesia. Bukan hanya sastra anak secara sempit berupa buku bacaan anak, tetapi secara menyeluruh, mulai dari penulis naskah anak, proses produksi  hingga kritikus sastra anak.

Perhatikan beberapa petikan dari tulisannya ini yang menunjukkan kerisauannya:
-    Gerakan meningkatkan dan memelihara kebiasaan dan minat membaca masyarakat belum dikonsep dengan baik oleh pemerintah yang terdahulu maupun pemerintah yang sekarang yang sedang mengatur negara ini. Kalau tumbuh minat membaca pada bangsa Indonesia, itu karena dia tumbuh sendiri melalui pengalaman dan kesadaran pribadi.
-    Saya tidak sepaham dengan pendapat yang menyatakn bahwa seorang pengarang cerita anak harus mempertimbangkan tingkat intelektualitas dan daya imajinasi anak-anak sebagai pembacanya.
-    …tema-tema (sastra anak) yang ditulis masih diutamakan untuk kepentingan ‘mendidik’ saja (dalam arti sempit), kepentingan financial, dan kepentingan ideologis.
-    …perpustakaan sekolah, apalagi perpustakaan umum, bukanlah akses bagi anak untuk mendapatkan dan membaca cerita. Paling banyak adalah yang membeli buku sendiri, termasuk pula bagi mereka yang jarang-jarang dibelikan buku.
-    Penelitian saya menunujukkan bahwa waktu luang atau libur kebanyakan digunakan untuk pergi ke mal dari pada ke toko buku atau ke perpustakaan. Orang tua belum menjadi idola sebagai pembaca buku sastra. Ibu membaca buku masak dan majalah, sedangkan ayah membaca koran.
-    Jadi, tidaklah heran kalau sejak 2 April 1966 sampai dengan 13 Februari 2000, saya dapat mengumpulkan 40 artikel tentang komik, tetapi tidak satu pun artikel mengenai ilustrasi (untuk sastra anak).


Mengapa saya tertarik untuk menulis makalah tentang membaca pada anak-anak, karena saya bekerja dalam lingkungan yang justru kaya akan karya sastra anak, tetapi semuanya adalah produk impor. Setelah kurang lebih 5 tahun saya bergulat dengan sastra anak, saya menyadari bahwa masyarakat Indonesia telah tertinggal jauh dalam hal minat dan kebiasaan membaca. Saya memiliki impian yang boleh dikatakan kebetulan hampir sama dengan apa yang tertulis dalam esai ibu Murti:
“Saya berandai-andai. Setiap hari, di semua saluran televise dan radio di Indonesia ada cerita-cerita yang dibacakan dan dibahas. Cerita yang dipentaskan oleh teater anak dan sinetron diambil dari buku sastra anak. Penghargaan untuk penulisan dan penelitian sastra anak diselenggarakan oleh banyak lembaga yang bergengsi untk menghargai pengarang. Media masa banyak yang membuat resensi buku yang kritis. Universitas pendidikan menyelenggarakan kuliah sastra anak untuk calon guru yang diberikan oleh pengajar yang berkualitas. Ada jurnal ilmiah dan seminar akademis yang cukup. Ada lomba untuk meningkatkan gairah membaca anak didik. Ada pelatihan untuk para pengarang. Ada cukup dana untuk membeli buku-buku lokal yang bermutu dan menerjemahkan buku asing berkualitas yang dipilih oleh tim ahli di bidang sastra anak untuk mengimbangi buku-buku yang ada di pasaran yang kurang layak dikonsumsi.”

Saya sampai berdoa, dari mana saya bisa memulai? Sekali lagi, sang penulis memberikan jawaban: dari mana saja. Yang penting, memulainya.

0 write(s) COMMENT(S) here!: