WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

THE FIRST EDUCATOR_PART THREE

>> Sunday, February 28, 2010

Ini adalah bagian terakhir tulisan saya tentang Pendidik Utama...

__________

Orangtua yang Berfungsi
Kegagalan pendidikan anak bukan hanya diakibatkan karena ketiadaan atau ketidakhadiran orangtua, tetapi juga karena adanya orangtua ‘mandul’ di dalam keluarga. Orangtua memang hadir secara fisik dan berada di dekat anak, tetapi mereka tidak berfungsi menjalankan tugas pendidikan pada anak-anaknya.

Orangtua memang berada di dekat anak saat di rumah, tetapi baik anak maupun orangtua melakukan aktifitasnya masing-masing. Sang anak bermain games, sang ayah sibuk dengan laptop-nya dan sang ibu tidak bisa lepas dari Blackberry-nya. Orangtua memang duduk satu meja di restoran, tetapi hampir tidak ada pembicaraan berkualitas di meja makan. Masing-masing sibuk dengan makanannya, handphone-nya atau majalahnya. Orangtua memang hadir secara fisik, tetapi tidak berfungsi.

Memang, tidak sedikit anak-anak yang lahir tanpa orangtua atau anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya, berhasil dalam hidupnya dan unggul dalam kepribadiannya. Hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor, salah satunya adalah adanya karunia khusus Tuhan atas hidup anak itu. Namun, secara umum sebagian besar anak-anak lahir dari orangtua yang lengkap dan mereka dibesarkan dengan ayah dan ibu yang sama sejak mereka lahir.

Orangtua tidak berfungsi dalam tugas-tugas pendidikan, karena mereka cenderung belajar dari kesalahan masa lalu, Thomas Gordon, seorang psikolog Amerika, dengan tepat menggambarkannya:

Para orangtua masa kini hampir selalu percaya pada metode yang sama dalam membesarkan anak-anak dan menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga, metode yang telah digunakan oleh orangtua mereka, oleh kakek dan nenek mereka, oleh orangtua dari kakek nenek mereka. (Gordon:1975)

Orangtua perlu meningkatkan kemampuannya dan pemahamannya mengenai pendidikan anak secara konsisten. Menjadi orangtua memang secara alamiah terjadi ketika seseorang memiliki anak, tetapi menjadi orangtua yang berfungsi membutuhkan usaha.

Orangtua yang berfungsi adalah orangtua yang setidaknya melakukan dua hal. Pertama, ia adalah yang mengerti betul mengelola pernikahannya, yaitu hubungannya dengan pasangannya. Kedua, ia adalah orangtua yang terus menerus belajar dan mempraktekkan apa yang ia telah pelajari mengenai pendidikan anak.

Orangtua Pemelihara Pernikahan
Orangtua adalah otoritas di dalam keluarga dan anak adalah wujud kasih suami isteri dan objek kasih orangtua. David Code menyatakan pesan yang jelas isi bukunya melalui judulnya: To Raise Happy Kids, Put Your Marriage First (Untuk Membesarkan Anak yang Bahagia, Utamakanlah Pernikahan Anda). Anak tidak boleh menjadi pusat dalam keluarga.

Keberadaan suami dan isteri mendahului keberadaan anak. Hubungan suami isteri adalah sumber kehidupan anak. Tanpa hubungan yang kuat antara suami isteri, bagaimanapun kerasnya orangtua mendidik anak, anak-anak tidak akan bertumbuh secara maksimal dan sehat.

Suami isteri yang tidak harmonis akan dengan mudah dilihat oleh anak. Walau mereka tidak dapat mengatakannya, namun mereka mampu menerjemahkannya sebagai: ayah dan ibuku tidak sayang padaku lagi. Ya, anak-anak akan tergoncang jiwanya melihat orang tuanya yang tidak sejalan. Saat suami memarahi isteri, atau saat isteri mengacuhkan perkataan suami, anak-anak akan menjadi bingung dan mereka akan berusaha keras memahami dan memaklumi kejadian itu. Tetapi pada dasarnya mereka mulai mengurangi kepercayaan, hormat dan cinta mereka pada orang tua.

Berdamai dengan dengan pasangan sebelum meminta anak melakukan sesuatu adalah hal yang bijak yang orangtua dapat lakukan. Melakukanlah terlebih dahulu pada pasangan hal-hal yang ingin anak lakukan juga merupakan hal yang baik untuk dipraktekkan. Orangtua adalah mata air bagi anak. Anak adalah seperti sungai. Jika mata airnya kotor, kotor pula sungai yang mengaliri airnya, tapi bila mata airnya bersih, jernih pula air yang melalui sungai itu.

Bayangkan sebuah payung dengan tudung bocor atau tangkai yang patah, percumalah siapapun yang berteduh di bawah payung itu. Anak-anak akan diserang oleh hujan dan terik panas tantangan dunia ini bila suami isteri tidak sepakat, sehati dan intim. Oleh karena itu, dengan mengevaluasi secara terus menerus dan memastikan hubungan antara suami isteri telah kokoh, Orangtua dapat mulai mendidik anak dengan penuh integritas dan percaya diri.

Orangtua Pembelajar
Orangtua yang berhenti belajar adalah orangtua yang ‘mandul’, tidak efektif. Orangtua kerap disalahkan atas keabnormalan perilaku anak, tetapi orangtua tidak pernah belajar dari kesalahan, seperti yang ditandaskan Thomas Gordon:
Orangtua disalahkan, tetapi tidak dilatih...(Gordon:1975)

Ya, orangtua perlu dilatih. Orangtua bukanlah pribadi yang maha tahu, maha mampu atau maha segalanya, sehingga ia tidak pernah belajar menjadi orangtua yang berfungsi. Berapa jumlah waktu yang orangtua sediakan untuk belajar ‘menjadi orangtua’ tiap harinya? Hampir tidak ada. Hal ini sangat memprihatinkan.

Pembelajaran dapat dimulai dari diskusi bersama pasangan. Diskusi mengenai pandangan masing-masing dalam mendidik anak sangatlah bernilai. Diskusi ini akan bermuara pada kesatuan dan kesepakatan pandangan dalam mendidik anak. Pandangan akan bertambah kaya dengan berkonsultasi dengan rohaniwan, pakar pendidikan anak atau lainnya.

Setelah kesepakatan dicapai, orangtua perlu membuat cetak biru pendidikan anaknya. Hal ini amat jarang dilakukan orangtua pada umumnya. Cobalah bertanya pada pasangan, teman dekat, tetangga atau saudara yang telah menikah, berapa banyak di antara mereka yang memiliki tujuan, visi dan misi, rencana atas pendidikan anak-anak mereka. Sebagian besar dari mereka membutuhkan waktu lama untuk menjawabnya dan tidak sedikit yang menjawab “Hmm, apa ya?”

Seorang ayah atau suami yang menjabat sebagai manajer di perusahaan tentunya tahu benar bahwa tanpa perencanaan yang matang, analisa potensi yang jeli dan pemahaman yang tajam akan konsumen, perusahaan dapat bangkrut dalam waktu singkat. Untuk pekerjaan atau profesi di perusahaan yang bukan milik sendiri, seorang ayah dapat membuat rencana atas perusahaan itu; tidakkah untuk keluarganya sendiri ia perlu melakukan hal yang sama?

Seberapa banyak waktu dalam setahun yang digunakan orangtua untuk duduk bersama pasangannya berdiskusi dan bahkan berdoa mengenai rencana pendidikan anak mereka di tahun itu. Seberapa banyak waktu dalam sebulan yang digunakan orangtua untuk mengadakan evaluasi atau refleksi dari perkembangan anak-anak mereka. Seberapa banyak waktu dalam seminggu yang orangtua sediakan untuk belajar menjadi orangtua yang lebih baik, yang lebih berfungsi. Seberapa banyak waktu dalam sehari yang orangtua sediakan untuk berada bersama-sama anaknya.

Saya mengusulkan, setidaknya orangtua perlu menyediakan waktu untuk mempelajari ketiga area berikut:
1. Pondasi Menjadi Orang Tua (Parenting Foundation), yang meliputi tujuan pernikahan, tujuan pendidikan anak, ilmu komunikasi dan nilai-nilai berkeluarga
2. Pengelolaan Sumber Daya Keluarga (Resources Management), yang meliputi pengelolaan waktu, pengelolaan keuangan, dan pengelolaan keahlian dan potensi
3. Strategi Perawatan dan Pengembangan Diri Anak (Child Nurturing and Development Strategies), bagian yang satu ini sangatlah luas, namun bagian ini dapat difokuskan kepada dua hal yaitu tentang perawatan tumbuh kembang anak dan pengembangan pola pikir, mental dan karakter anak.

Dengan menguasai ketiga area di atas bukan berarti orangtua telah menjadi orangtua yang sempurna, karena memang tidak ada orangtua yang sempurna. Berikut pernyataan Steve Chalke, seorang praktisi pelatih orangtua:

Namun, sebenarnya keluarga bahagia yang sempurna benar-benar tidak ada… bahkan tidak ada jaminan bahwa keberhasilan pada satu anak di suatu waktu akan berhasil di waktu lain pada anak yang sama atau anak lainnya. Menjadi orangtua lebih seperti berimprovisasi dalam musik, tidak seperti matematika. Ada prinsip-prinsip umum yang sangat penting, tetapi sebagian besar adalah masalah bakat dan gaya individu…
Menjadi orangtua sempurna tidak hanya di luar kemampuan Anda, tetapi di luar kemampuan semua orang. Secara sederhana, untuk menjadi orangtua yang sempurna, Anda haruslah orang sempurna dan tidak seorang pun yang seperti itu di dunia ini. (Chalke:2009)


Dengan memahami bahwa tidak ada orangtua yang sempurna, orangtua di manapun dapat dengan penuh percaya diri terus menerus belajar hanya untuk menjadi orangtua yang lebih baik dari hari sebelumnya. Inilah makna sesungguhnya dari pendidikan dalam keluarga: orangtua yang belajar dan anak yang terdidik dalam keluarga.
Semakin dini orangtua menerima anak apa adanya dan menjadi teladan bagi mereka, semakin banyaklah kesempatan orangtua untuk menemukan, membentuk dan mengembangkan jati diri atau karakter anak. Saat anak harus terjun ke dunia luar, baik itu di sekolah atau di lingkungan sekitar dan saat anak bertumbuh dewasa, ia menjadi anak panah yang siap melesat menuju sasaran yang Tuhan telah tetapkan, karena mereka telah dididik dengan benar oleh pahlawan mereka, orangtua.

Referensi:
• Chalke, Steve. How To Succeed as a Parent: Panduan Praktis Mengasuh Anak dengan Sukses. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2009.
• Drost, SJ. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: Penerbit Grasindo, 1999.
• Drost, SJ. Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orangtua? Jakarta: Penerbit Grasindo, 2000.
• Gordon, Thomas. P.E.T. Parent Effectiveness Training. New York: A Plume Book, 1975.
• Harefa, Andrias. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2000.
• Harefa, Andrias. Pembelajaran di Era Serba Otonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
• Knight, George H. Philosophy Education. Michigan: Andrews University Press, 1998.
• Wolterstoff, Nicholas P. Educating For Life. Michigan: Baker Publishing Group, 2002.
• www.tamansiswa.org
• www.detik.com
• www.ycab.org
• www.google.co.id/trends
• catatan-guru.blogspot.com

Children Literature: A Dream...

>> Monday, February 22, 2010

Sabtu kemarin, saya terpaku di depan layar notebook, tidak tahu lagi apa yang harus saya ketik untuk melanjutkan penyelesaian makalah saya bertemakan ‘Membaca pada anak-anak’. Saya membutuhkan referensi lebih banyak mengenai topik yang saya coba tulis.

Tepat di sebelah kiri saya berdiri satu-satunya rak buku di rumah saya. Saya menoleh dan mencoba memperhatikan satu demi satu buku yang tersusun di rak itu. Pandangan saya tertuju pada buku ‘Membuka Masa Depan Anak-anak Kita’, sebuah kumpulan essay mengenai pendidikan terbitan Kanisius. Saya telah lama memiliki buku itu. Kira-kira sepuluh tahun lalu saya membelinya dan membacanya hingga habis dalam waktu yang cukup singkat. Isinya sangat berbobot, karena para penulis adalah pakar pada bidangnya masing-masing. Saya tidak pernah membacanya lagi sejak saat itu.

Saya mulai melihat-lihat lagi daftar isi buku itu. Mata saya langsung tertuju pada judul esai Murti Bunanta berjudul ‘Perjuangan untuk Bacaan Anak yang Layak’. Beliau adalah seorang doktor yang berkonsentrasi pada isu sastra anak. Saya mulai membuka halaman yang terkait. Entah mengapa tulisan ibu Murti yang sepuluh tahun lalu saya baca, saat itu seperti membelah isi kepala saya dan membanjiri dengan jawaban segala pertanyaan yang ada di benak saya selama ini. Bahkan tidak berhenti sampai di sana, hati saya merasa antara terkoyak, tersulut dan ingin meledak saat membaca tiap baris tulisannya.

Apa yang ibu Murti tuliskan sepuluh tahun lalu, itulah yang saya rasakan saat ini. Saya sangat bisa memahami kerisauan sang penulis mengenai kondisi bahan bacaan atau ia menyebutnya sastra anak di Indonesia. Bukan hanya sastra anak secara sempit berupa buku bacaan anak, tetapi secara menyeluruh, mulai dari penulis naskah anak, proses produksi  hingga kritikus sastra anak.

Perhatikan beberapa petikan dari tulisannya ini yang menunjukkan kerisauannya:
-    Gerakan meningkatkan dan memelihara kebiasaan dan minat membaca masyarakat belum dikonsep dengan baik oleh pemerintah yang terdahulu maupun pemerintah yang sekarang yang sedang mengatur negara ini. Kalau tumbuh minat membaca pada bangsa Indonesia, itu karena dia tumbuh sendiri melalui pengalaman dan kesadaran pribadi.
-    Saya tidak sepaham dengan pendapat yang menyatakn bahwa seorang pengarang cerita anak harus mempertimbangkan tingkat intelektualitas dan daya imajinasi anak-anak sebagai pembacanya.
-    …tema-tema (sastra anak) yang ditulis masih diutamakan untuk kepentingan ‘mendidik’ saja (dalam arti sempit), kepentingan financial, dan kepentingan ideologis.
-    …perpustakaan sekolah, apalagi perpustakaan umum, bukanlah akses bagi anak untuk mendapatkan dan membaca cerita. Paling banyak adalah yang membeli buku sendiri, termasuk pula bagi mereka yang jarang-jarang dibelikan buku.
-    Penelitian saya menunujukkan bahwa waktu luang atau libur kebanyakan digunakan untuk pergi ke mal dari pada ke toko buku atau ke perpustakaan. Orang tua belum menjadi idola sebagai pembaca buku sastra. Ibu membaca buku masak dan majalah, sedangkan ayah membaca koran.
-    Jadi, tidaklah heran kalau sejak 2 April 1966 sampai dengan 13 Februari 2000, saya dapat mengumpulkan 40 artikel tentang komik, tetapi tidak satu pun artikel mengenai ilustrasi (untuk sastra anak).


Mengapa saya tertarik untuk menulis makalah tentang membaca pada anak-anak, karena saya bekerja dalam lingkungan yang justru kaya akan karya sastra anak, tetapi semuanya adalah produk impor. Setelah kurang lebih 5 tahun saya bergulat dengan sastra anak, saya menyadari bahwa masyarakat Indonesia telah tertinggal jauh dalam hal minat dan kebiasaan membaca. Saya memiliki impian yang boleh dikatakan kebetulan hampir sama dengan apa yang tertulis dalam esai ibu Murti:
“Saya berandai-andai. Setiap hari, di semua saluran televise dan radio di Indonesia ada cerita-cerita yang dibacakan dan dibahas. Cerita yang dipentaskan oleh teater anak dan sinetron diambil dari buku sastra anak. Penghargaan untuk penulisan dan penelitian sastra anak diselenggarakan oleh banyak lembaga yang bergengsi untk menghargai pengarang. Media masa banyak yang membuat resensi buku yang kritis. Universitas pendidikan menyelenggarakan kuliah sastra anak untuk calon guru yang diberikan oleh pengajar yang berkualitas. Ada jurnal ilmiah dan seminar akademis yang cukup. Ada lomba untuk meningkatkan gairah membaca anak didik. Ada pelatihan untuk para pengarang. Ada cukup dana untuk membeli buku-buku lokal yang bermutu dan menerjemahkan buku asing berkualitas yang dipilih oleh tim ahli di bidang sastra anak untuk mengimbangi buku-buku yang ada di pasaran yang kurang layak dikonsumsi.”

Saya sampai berdoa, dari mana saya bisa memulai? Sekali lagi, sang penulis memberikan jawaban: dari mana saja. Yang penting, memulainya.

THE FIRST EDUCATOR_PART TWO

>> Sunday, February 21, 2010

Ini adalah bagian kedua tulisan saya dengan judul Pendidik Utama.

__________

Batu Penjuru Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan yang dijalankan oleh orangtua haruslah bersumber dari pengertian yang benar. Pendidikan yang educere atau membawa keluar adalah pendidikan yang menerima anak apa adanya dan yang memberi teladan. Pengingkaran akan dua hal ini akan berdampak buruk pada diri anak saat dewasa.

Pater Drost menyatakan bahwa kebanyakan orangtua tidak menerima anak apa adanya. Anak telah dipaksakan untuk seperti yang orangtua mau. Harus begini dan begitu, dileskan ini dan itu. Orangtua terlambat menyadari bahwa anak harus diterima apa adanya.

Masalah-masalah dalam pendidikan anak dimulai dengan kenyataan bahwa orang tua pada umumnya tidak menerima kenyataan dari anaknya sendiri… jadi orang tua itu tidak menerima anak mereka sebagaimana adanya. Anak dipaksa menjadi manusia rekaan orang tua. (Drost:1999)

Tuhan telah menjadikan pribadi anak yang demikian adanya, karena itu anak harus diterima apa adanya oleh orangtua. Anak adalah pemberian Tuhan. Setelah anak diterima apa adanya, barulah dimulai proses pendidikan. Orangtua harus memfasilitasi dan mendidik anak bukan seperti yang ia mau, tetapi seperti yang Tuhan mau. Tentang bagaimana mengetahui apa yang Tuhan mau bagi anak, perlu disampaikan dalam tulisan tersendiri atau dengan merujuk pada buku-buku yang sesuai.

Hal yang kedua adalah menjadi teladan. Orangtua yang menabur teladan yang baik pada anak-anaknya akan menuai anak-anak yang berbahagia. Orangtua yang membuang sampah pada tempatnya, tanpa harus berbicara, memberi pesan kepada anaknya: “Nak, beginilah kamu harus menjaga kebersihan.” Orang tua yang mengaku merusak barang pecah belah di toko swalayan memberi pesan kepada anaknya: “Nak, kejujuran itu penting.” Orangtua yang meminta maaf pada orang yang dirugikan olehnya, memberi pesan kepada anaknya: “Hormatilah hak orang lain dan peliharalah hubungan baik.” Tanpa perlu kata-kata, anak merekam semua itu dalam memorinya dan ia akan meniru apa yang telah mengesankan hatinya dari teladan yang dilihatnya setiap hari.

Kebalikannya, bila anak melihat orangtua yang senantiasa saling bertengkar satu sama lain, maka anak mendapat pesan: “Perasaanmu tidak sepenting rasa berharga kami.” Bila orangtua menggosipi tetangganya dan bermuka manis di depan mereka, mengirimkan pesan pada anak: “Nak, menjadi munafik adalah hal yang biasa.” Orangtua yang terlalu sibuk mencari uang dan tidak memiliki waktu berkualitas bersama anak, mengirim pesan pada anaknya: “Uang lebih penting dari kamu, kehadiran saya dapat diganti oleh uang.” Rekaman video kehidupan ini tersimpan baik dalam pikiran anak-anak, di mana suatu saat nanti ia akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih buruk dari yang ia alami.

Menjadi teladan adalah yang tersulit. Bila anak berbuat kesalahan atau kegagalan, marilah dengan besar hati, orang tua mengaku: “Ini terjadi karena saya tidak menjadi teladan yang terbaik.” Bila anak cenderung nakal, bersikap tidak sopan, berkarakter buruk, malas, atau lainnya: “Ini terjadi karena saya tidak tekun memberi contoh dengan tekun.” Orangtua adalah teladan pertama dan yang paling berpengaruh. Oleh karena itu, orang tua perlu berusaha keras menjadi teladan terbaik bagi anaknya, bahkan hingga orangtua dapat menjadi cerminan pribadi Tuhan bagi anak-anaknya.

Jika orangtua gagal menerima anak apa adanya dan gagal menjadi teladan yang terbaik bagi anaknya, orangtua sedang menambahkan jumlah kerusakan generasi penerus bangsa. Telah banyak korban berjatuhan akibat orangtua yang secara sengaja ataupun tidak menjadi perusak diri dan masa depan anak. Perhatikan data berikut ini:

1. Kidia mencatat bahwa pada tahun 2004, hanya terdapat 15% acara yang aman untuk anak-anak. Padahal anak-anak menghabiskan waktu 30-35 jam minggu atau 4-5 jam per hari untuk menonton TV.
2. Lyto, sebuah penerbit game online di Indonesia menyatakan bahwa penggunanya telah melebihi angka enam juta orang pada tahun 2009. Dari keterangan siswa-siswa saya, seorang anak dapat menghabiskan waktu rata-rata 3 jam untuk bermain dengan mengeluarkan uang Rp 4000 per jamnya.
3. Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB), sebuah LSM yang bergerak dalam bidang pencegahan penggunaan narkoba, melakukan penelitian pada tahun 2007 di enam kota di Indonesia. Usia rata-rata pengguna narkoba ternyata adalah 14 tahun! Dan alasan terbesar mengapa mereka mengunakannya hanya karena untuk coba-coba (72%), sisanya karena frustrasi dalam masalah keluarga dan hubungan.
4. Google, sebuah mesin pencari tersohor di dunia maya menyatakan data yang mencengangkan pada tahun 2009. Indonesia adalah Negara peringkat keempat terbesar di dunia pencari konten seksual atau pornografi. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa terbanyak yang digunakan dalam pencarian situs-situs porno.
5. Komnas Perlindungan Anak menyatakan hasil yang mengejutkan dalam penelitiannya tentang seks bebas di 33 provinsi pada tahun 2008. Sebanyak 63% remaja wanita SMP sudah tidak perawan, bahkan sebanyak 21% telah mengaku melakukan aborsi. Bahkan WHO menyatakan telah terjadi setidaknya dua juta kasus aborsi per tahun di Indonesia!
Serangan-serangan televisi, permainan elektronik, narkoba, pornografi dan seks bebas akan mudah mempengaruhi dan merasuki anak-anak, bila orangtua tidak menyadari dan mengambil komitmen untuk menerima anak mereka apa adanya dan menjadi teladan bagi mereka. Generasi muda yang hancur selalu dengan mudah diketahui akar persoalannya, yaitu orangtua tidak menerima anak apa adanya dan tidak menjadi teladan terbaik bagi anaknya.

Di dalam proses pendidikan, orangtua dapat berperan sebagai pelatih dan pengajar anaknya. Di sinilah pengajaran dan pelatihan mendapat bentuk sebagai bagian integral dari pendidikan. Di irisan ini pulalah, orangtua berinteraksi dengan guru. Mengingat keterbatasan orangtua dalam mengajar dan melatih anaknya, guru dapat menjadi mitra orangtua dalam ‘mendidik’ anak, yaitu dalam memfasilitasi aplikasi dan refleksi proses pendidikan orangtuanya dan dalam mengajar dan melatih anak-anak dalam pengetahuan dan keterampilan.

Setelah membuat komitmen untuk menerima anak apa adanya dan menjadi teladan bagi mereka, inilah saatnya orangtua untuk mulai berfungsi dalam mendidik anak. Saya memperhatikan beberapa orangtua saat di pusat perbelanjaan. Mereka menemani anaknya bermain di arena bermain, makan bersama di restoran capat saji atau sekedar berkeliling sambil menuntun anak mereka. Apakah hal ini telah menunjukkan perhatian orangtua pada pendidikan anak? Saya pikir mungkin juga demikian, tetapi pendidikan anak yang sebenarnya tidak hanya melulu berada di dekat anak.

Berada di dekat anak adalah hal yang baik dan penting. Namun, apa yang orangtua katakan, lakukan dan teladankan saat bersama anak, itu jauh lebih penting.

Awaken The Nasionalism

>> Wednesday, February 17, 2010

Pagi tadi saya mendapatkan kehormatan sebagai inspektur upacara pada upacara bendera bulanan di sekolah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya menjadi seorang inspektur upacara.Sungguh suatu pengalaman menarik.

Dulu, saat upacara berlangsung saya berdiri di barisan peserta upacara. Dengan hikmat saya mengikuti jalannya upacara. selain karena takut dihukum guru bila tidak tertib, saya mengikuti upacara juga karena suatu kesadaran yang penuh bahwa saya adalah seorang warga negara Indonesia yang memiliki nasionalisme. Saya juga melihat rekan-rekan saya menunjukkan kesadaran dan semangat yang sama saat mengikuti upacara bendera.

Namun, saya cukup prihatin dengan generasi saat ini. Apakah mereka memiliki rasa nasionalisme yang sama dengan para pendahulu mereka? Deddy Mizwar, dalam perannya sebagai Nagabonar dalam Nagabonar jadi 2, telah menunjukkan cermin kepada kita. Nasionalisme para generasi penerus kemerdekaan sangat berbeda jauh dengan para pejuang kemerdekaan.

Keprihatinan bertambah dengan para pemimpin di bangsa ini yang tidak memberikan contoh sebagai pemimpin dan bapak-bapak bangsa. Mereka sibuk dengan istilah-istilah kursi, posisi, jabatan, uang dan kekayaan dari pada rakyat, pengorbanan, peduli atau pemberdayaan. Berbagai contoh praktek korupsi, politik kotor atau sekedar ketiadaan kesantunan dalam berbicara di depan umum telah menjadi contoh yang buruk bagi generasi penerus. Bangsa ini memang telah merdeka dari penjajahan asing, tetapi sekarang tengah digerogoti oleh bangsanya sendiri oleh karena keegoisan mereka.

Sejak ditiadakannya pelajaran Pendidikan Pancasila dan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan, ada perubahan atmosfir nasionalisme, terlebih sejak era reformasi. entah mengapa era reformasi malah cenderung menadirkan cita rasa nasionalime dalam pendidikan di sekolah. Terlebih lagi pada sekolah-sekolah swasta dan nasional plus, wawasan kebangsaan telah bergeser kepada wawasan sebagai warga negara global, yang malah cenderung kebarat-baratan.

Pemerintah dan masyarakat perlu mengambil sikap dan tindakan untuk mengembalikan pendidikan kewarganegaraan yang memiliki cita rasa nasionalisme yang kental. Ini adalah tugas berat para pendidik. Siapa yang mau turun tangan?

Meet The Reading Bug-gers...

>> Monday, February 15, 2010

Sambil menyeruput jus alpukat, saya duduk menunggu tamu terhormat. Agak sedikit gugup, karena tidak bisa membayangkan perbincangan seperti apa yang akan terjadi setelah saya bertemu mereka. Tidak lama, sebuah pesan singkat masuk dan menyatakan bahwa mereka telah tiba di lokasi. Saya pun semakin tidak sabar.

Perbincangan selama dua jam terasa kurang. Sebenarnya masih banyak yang dapat dibicarakan, tapi waktu memang terbatas. Saya sangat terkesan dengan tim dari Reading Bug yang memulai karyanya di bangsa ini sejak 2008 lalu. Hampir semuanya adalah ibu yang telah memiliki anak. dalam kesibukan dalam ruamah tangga dan karirnya, mereka masih menyempatkan diri untuk berbagi pada anak-anak bangsa ini. Saya telah bertemu dengan orang-orang hebat di negeri ini yang serius untuk berpikir mengenai peningkatan SDM Indonesia. Ini adalah sebuah kehormatan bagi saya.

Pertemuan sabtu lalu mencatatkan beberapa hal penting:
1. Membaca mudah ditularkan kepada anak-anak, khususnya usia di bawah 12 tahun.
2. Membacakan buku sulit ditularkan pada orangtua dan guru.
3. Orangtua cenderung berkata tidak ada waktu saat diminta untuk membacakan buku pada anak. Hal ini sebenarnya adalah bentuk halus dari keegoisan orangtua.
4. Tidak ada buku yang terlalu 'berat' bagi anak untuk dibacakan, yang ada hanyalah guru atau orangtua yang terlalu 'berat' untuk mencoba membacakan.
5. Membacakan buku pada anak adalah hal yang penting dan bernilai yang dapat orang tua lakukan untuk perkembangan anak baik dari sisi pengetahun, sosial maupun kepribadian anak.
6. Untuk 'menyelamatkan' anak Indonesia dari kekurangan pembaca, perlu dibentuk lembaga-lembaga dan komunitas-komunitas sebagai katalisator atau pemicu kebiasaan membaca.
7. Kepala Sekolah berperan penting dalam meningkatkan kebiasaan membaca para siswanya.
8. Jumlah buku karangan penulis Indonesia yang bermutu masih berjumlah sedikit, ini mengakibatkan buku impor masih menjadi pilihan utama.
9. Read Aloud (membaca lantang) adalah salah satu cara yang paling efektif untuk membentuk independent reader (pembaca mandiri).
10. Pekerjaan Rumah yang harus dilakukan orang atau kelompok yang memahami pentingnya membaca ini masih besar dan perlu bersinergi untuk membuat strategi yang lebih efektif.

THE FIRST EDUCATOR_PART ONE

>> Sunday, February 14, 2010

Ini adalah essay saya tentang Pendidikan Keluarga yang saya kirim ke Lomba penulisan tentang pendidikan di SDH Daan Mogot, Jakarta. Silahkan menikmati bagian pertama tulisan ini...
__________

Pendidik utama ialah orangtua dan mereka mendidik anak muda lewat proses yang dinamakan pendidikan dan semua pendidikan adalah proses informal, tidak ada pendidikan formal. (Drost:2000)

Sebagian besar masyarakat masih mengasosiasikan pendidikan dengan sekolah atau guru. Hal ini tidaklah salah, tetapi mengapa pendidikan tidak lebih dulu diasosiasikan dengan keluarga? Pendidikan atau education dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin educere, yang secara bebas bermakna membawa keluar. Pendidikan dapat berarti membawa keluar jati diri atau karakter yang Tuhan telah tetapkan secara istimewa pada diri anak. Pengertian ini menjadi kontras dengan apa yang sekolah dan khususnya guru lakukan di dalam kelas. Guru cenderung melakukan yang sebaliknya dengan apa yang disebut educere atau membawa keluar. Di ruang-ruang kelas, tugas utama guru adalah ‘membawa masuk’ ilmu pengetahuan dan keterampilan ke dalam diri anak.

Belajar dari Sejarah
Sepanjang sejarah, sekolah tidak pernah diperuntukkan terutama sebagai lembaga pendidikan. Sekolah adalah lembaga pengajaran dan pelatihan terbaik yang pernah ada. Perhatikanlah sekelumit sejarah sekolah berikut.

Plato, yang disebut sebagai pendiri sekolah pertama dengan Akademos-nya, menempatkan matematika, humanity (kemanusiaan) dan kesusasteraan sebagai pusat kurikulumnya (Knight: 1998). Sedangkan muridnya, Aristoteles, yang mendirikan sekolah Lyceum, menempatkan lebih banyak bidang ilmu dalam kurikulumnya, khususnya bidang sains dan matematika (Knight: 1998). Di Timur, Konfusius menempatkan kebijaksanaan dan aturan ketatalaksanaan sebagai pusat kurikulumnya (Sathern: 1997). Sekolah formal menemukan bentuk seperti yang sekarang ini dimulai kira-kira sejak abad ke 13 di Eropa oleh kaum skolastik (Harefa: 2001). Sekolah mulai memiliki standar kelas, kurikulum, pengajar dan fasilitas.

Di Indonesia sendiri, khususnya di Jawa, Padepokan, Pawiyatan dan Paguron telah dikenal sebagai tempat belajar para siswa pada waktu itu. Adapun kurikulum inti yang diajarkan lebih banyak kepada keterampilan dalam tugas hidup sehari-hari, seperti mencuci piring, menghidangkan makanan dan melayani guru bagi siswi dan keterampilan yang lebih sentral dalam kehidupan waktu itu bagi para siswa, mulai dari mencari kayu bakar, asisten guru, hingga bertapa/semedi. Selain itu materi pelajaran dalam pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan dan bersifat umum meliputi antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan, kanuragan, kaprajuritan, pertanian, titi mongso, pananggalan, adat istiadat, tata krama dan perbintangan (Dwiarso: 2008).

Sekarang, sekolah formal Indonesia menerjemahkan kurikulumnya ke dalam sejumlah mata pelajaran. Sekolah Dasar setidaknya memiliki 5 mata pelajaran, SMP 10 mata pelajaran dan SMA 14 mata pelajaran. Dari sekian banyak mata pelaajran itu, saya bisa kelompokan menjadi lima bidang pelajaran: bahasa, ilmu eksakta (sains), ilmu sosial, Agama & Kewarganegaraan, dan Seni & Teknologi. Semua mata pelajaran di sekolah adalah bidang ilmu dan keterampilan yang hanya menyentuh ranah kognitif dan psikomotorik.

Dari riwayat sekolah ini, kita dapat melihat bahwa sekolah selalu membimbing siswanya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan tertentu. Sekolah selalu dimaksudkan sebagai lembaga pengajaran dan pelatihan untuk memperlengkapi siswanya agar dapat bereksistensi secara sosial dan menjadi profesional dalam dunia usaha, karir dan kerja mereka nanti.

Pendidikan, Terjadi dalam Sekolah atau Keluarga?
Adapun sekolah terus menerus berusaha untuk masuk dalam ranah afektif ditengarai karena keprihatinan atas mutu siswa dan lulusan yang kurang bermoral dan berakhlak mulia. Pelaksanaan berbagai program dan pelajaran karakter atau budi pekerti oleh sekolah sebenarnya kurang tepat dan sudah terbukti kurang efektif. Anak yang taat, disiplin dan sopan hampir tidak pernah datang dari pengajaran di ruang kelas. Demikian juga dengan inisiatif, kerendahan hati atau keberanian.

Guru dan lingkungan sekolah dapat menjadi sumber inspirasi pembentukan karakter anak. Namun, seberapa banyak guru yang memiliki kemampuan untuk mendidik anak dengan baik di saat ia harus mengajar? Guru cenderung telah dipenjara oleh kurikulum dan rutinitasnya dalam sekolah.

Karakter atau budi pekerti tidak dapat dipelajari secara formal seperti mata pelajaran sekolah pada umumnya. Karakter atau budi pekerti hanya diperoleh melalui jalur pendidikan, dan bukan pengajaran. Dengan kata lain, anak akan beroleh pendidikan di dalam keluarga. Sedangkan di sekolah, anak-anak lebih banyak mempraktekkan dan merefleksikan hasil didikan orangtua mereka itu.

Seperti yang dikatakan oleh Pater Drost, sekolah sebenarnya tidak bisa menjadi lembaga pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan tidak pernah menempuh proses yang formal di ruang-ruang kelas dengan mata pelajaran tertentu dan dengan bentuk ujian tertentu. Pendidikan selalu mengambil tempat yang Andrias Harefa menamainya sebagai Universitas atau Sekolah Besar Kehidupan (Harefa:2000).

Sekolah dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan hanya karena ia bermitra dengan orangtua. Orangtua memberikan pada guru dan sekolah sebagian dari tanggung jawabnya sementara anak berada di sekolah. Bahkan kalimat ini pun kurang tepat, karena orangtua selalu menjadi pendidik anak kapan dan di mana pun. Sekolah tidak pernah menjadi penanggung jawab utama pendidikan anak. Orangtualah penanggung jawab utamanya.

Nicholas P. Wolterstoff, professor filsafat dari Calvin College menyatakan:

Guru-guru memang mempunyai hak terkait pendidikan anak – menurut saya terutama hak untuk menerapkan kompetensi profesional mereka dalam mengajar. Tetapi guru tidak mempunyai hak apapun untuk menentukan ciri-ciri pendidikan anak. Orangtualah yang mempunyai hak dan tanggung jawab itu. (Wolterstoff:2007)

Pernyataan Wolterstoff ini adalah penegasan, bahwa orangtualah kepala dari lembaga pendidikan anak dan keluarga adalah lembaga utama pendidikan anak, bukan sekolah. Oleh karena itu, perlu usaha besar untuk mengembalikan asosiasi dan peran pendidikan kepada keluarga dan orangtua di dalam masyarakat.

Kini, kita dapat sepakat bahwa pendidikan adalah hak dan tanggungjawab orangtua. Pendidikan dimaksudkan untuk menemukan, membentuk dan mengembangkan jati diri atau karakter anak.

Start With Pigs!

>> Monday, February 8, 2010

Saya pikir acara bakal batal. Ini gara-gara hujan! Sampai pk.16.00, waktu yang telah ditentukan untuk kumpul, belum ada satu orang anak pun yang datang. Saya mulai pesimis. Sambil membaca majalah pendidikan dan ngemil buah manggis, saya mencoba bersabar, siapa tahu sebentar lagi ada yang datang. Lima belas menit sudah berlalu, saya beranjak dari kursi saya dan menuju kamar. Isteri dan anak saya masih tertidur lelap. Tiba-tiba, saya mendengar suara kendaraan sedang parkir di depan rumah! Saya segera membangunkan isteri saya, :Bangun mam, mama Gendis datang!" Segera isteri saya bangun dan mencoba membangunkan anak saya. Saya sendiri seperti orang bingung, keluar masuk kamar. Gugup...

Saya dan isteri telah merencanakan hal ini dari bulan lalu. Kami ingin membuka rumah kami bagi anak-anak tetangga untuk datang dan dibacakan buku. Ya, kami membuat sebuah klum membaca balita. Anak-anak yang kami undang masih berusia kira-kira tiga tahun, seumur dengan anak kami. Saya membagikan keinginan saya untuk menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca pada anak-anak. Saya memahami bahwa orangtua di bangsa ini dan termasuk di lingkungan tempat saya tinggal mungkin sedang 'sibuk' dengan urusannya, sehingga mereka belum memiliki waktu untuk membacakan buku pada anak-anaknya. Padahal kegiatan yang satu ini sangatlah penting bagi tumbuh kembang anak dan merupakan investasi terbaik bagi orang tua pada anaknya, agar anaknya dapat memiliki kepribadian yang kuat, pengetahuan yang luas dan pikiran yang kreatif. Oleh karenanya saya mencoba membantu.

Ibu Kristin dan suaminya memang sangat perhatian pada anak-anak mereka, jadi tidak kebetulan kalau mereka datang lebih awal. Ia tidak hanya membawa anaknya Gendis, tetapi juga kakaknya, Dio untuk bergabung. Saya sangat senang. Dlam keadaan yang masih linglung, karena baru bangun tidur, saya meminta isteri saya untuk berkeliling, memanggil anak-anak lainnya. Setelah perjuangan menembus hujan rintik, berkumpullah lima orang anak usia tiga tahun (termasuk anak saya) dan satu anak usia enam tahun untuk mengikuti kegiatan membaca. Hadir juga di sana oma regi, 'oma' semua anak di lingkungan kami dan ibu Kristin beserta suami.

Dalam ruang tamu kami yang sebenarnya tidak terlalu nyaman, saya berusaha menarik perhatian mereka pada buku. Kali pertama ini saya menyiapkan buku bergambar (picture book) berjudul The Three Little Pigs. Saya juga telah menyiapkan sehelai rumput (straw) dan batu bata (brick). Awalnya saya melihat kebingungan di mata anak-anak itu. Mungkin mereka berpikir, mengapa tiba-tiba mereka diantar menerobos hujan ke rumah yang kecil ini.

Saya memulai dengan menunjukkan rumput yang saya bawa dan mulai menanyakan beberapa hal tentang rumput, kayu, bata, babi dan hal-hal lainnya. Kemudian saya mulai mengambil buku menunjukkan gambar sampulnya, bertanya dan bercerita sedikit tentang gambar pada sampul buku itu. Tak lama, saya mulai membacakan (Reading Aloud) kisah di buku itu. Anak-anak yang tadinya duduk diam di karpet, di akhir cerita mereka sudah berdiri dengan hidung hampir menyentuh buku yang saya pegang. Mereka bertepuk tangan, gembira menyaksikan sang srigala direbus oleh ketiga ekor babi.

Saya pun gembira, pertemuan 30 menit itu telah menjadi awal yang baru bagi saya. Saya sangat berharap ini dapat menjadi efek bola salju yang dapat membawa dampak bagi masa depan anak-anak ini dan lingkungan sekitar.

Saya tidak sabar untuk bertemu mereka hari Sabtu ini. Hmmm, buku apa kira-kira yang saya akan bacakan ya? Apakah anak-anak yang datang akan bertambah? Apakah mreka semakin antusias? We'll see about that...

C665HZTTGS9Y

Are You A Reader?

>> Tuesday, February 2, 2010

Sejak ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg, materi cetakan telah berkembang pesat saat ini. materi cetakan berupa buku, majalah, koran dan lainnya telah menjadi barang-barang yang mudah ditemui dimana-mana, namun seberapa besar pemanfaatannya?

Fakta menyatakan bahwa membaca adalah jantung dari seluruh pembelajaran dalam kehidupan. Hampir tidak ada pengetahuan diperoleh tanpa kegiatan yang satu ini. tanpa membaca seseorang tidak akan memperoleh pengetahuan, tanpa pengetahuan ia tidak banyak memiliki pilihan, tanpa pilihan-pilihan, ia tidak dapat membuat keputusan yang bijak. Untuk manfaat yang besar ini, seberapa banyak waktu dan dana yang telah seseorang investasikan untuk membaca?

akses menuju buku adalah salah satu kendala, khususnya di Indonesia. Walau bangsa ini tercatat 90% lebih telah melek huruf, namun sebagian besar mengalami kendala dalam melek buku.

Apakah Anda seorang pembaca?