WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

The School of Life

>> Wednesday, April 29, 2009

Sebelum acara tutup peti kakak saya, anak bungsunya berjanji di hadapan jenasah, bahwa ia akan dengan sunguh-sungguh mengembangkan usaha restorannya. Ia ingin agar suatu saat nanti ia dapat membiayai orang-orang yang mengalami penyakit kanker. Penyakit yang telah mengambil nyawa ibunya.

---

Terry Fox adalah seorang remaja yang sangat enerjik. Sejak remaja hingga masa kuliahnya di Universitas Simon Fraser di Vancouver ia sangat menyenagi olahraga basket dan menjadi anggota tim di sana. Namun kesenangannya ini tidak bertahan lama karena diketahuinya penyakit kanker tulang yang menyerang kaki kanannya. Kala itu tidak ada pilihan lain selain amputasi. Maka dengan penuh kesedihan, Terry harus kehilangan kaki kanannya di akhir dekade 1970an.

Beruntung Terry memiliki keluarga yang senantiasa menyemangatinya saat ia telah putus asa atas hidupnya. Dalam refleksi pribadinya, ia mendapat gagasan untuk melakukan sebuah Marathon of Hope melintasi Kanada sejauh 5000 mil. Ia ingin menunjukkan harapan dan semangatnya kepada dunia. Walau mengalami banyak tantangan, ia memulai maratonnya itu pada 12 April 1980 dari St John, Newfoundland. Dengan kaki kanan palsunya ia, mulai berlari dan masyarakat mulai menunjukkan perhatiannya pada usaha Terry ini. Namun sayang, ia tidak dapat menyelesaikan mimpinya, ia meninggal di usia 22 tahun setelah berlari 5.373 km.

Cerita ini dikutip dari Kompas.com
---

Sekolah kehidupan tidak pernah berhenti mengajar. Kurikulumnya tak terakreditasi, uang sekolahnya pun gratis. Ia tidak memiliki meja dan kursi, dan tidak memiliki berbagai fasilitas mahal. Namun ia menghasilkan banyak hal mulia.

Salah satu fungsi keluarga dan sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi kehidupan itu sendiri. Memperkaya setiap siswa dengan prinsip-prinsip dan keterampilan hidup. Menumbuhkan dan membiakkan moral yang agung demi kesejahteraan umat manusia dan kelestarian alam.

Sekolah kehidupan mengajar lebih banyak, mendidik lebih kuat dan melatih kita dengan keras. Siapapun yang lulus dalam ujian sekolah ini, akan menang atas tantangan-tantangan kehidupannya. Barangsiapa bijak, baiklah ia mengambil pelajaran atas kepedihan dan kesusahan hidup ini. Karena nilai yang dihasilkannya tak dapat dibeli dengan uang...

Another Obituary (for this year) ...

>> Tuesday, April 28, 2009

Good people leave an inheritance to their grandchildren, but the wealth of sinners is stored away for a righteous person. [GWT version]
...

A good life gets passed on to the grandchildren; ill-gotten wealth ends up with good people. [TM version]
...
A good [man] leaves an inheritance to his children's children, But the wealth of the sinner is stored up for the righteous. [NKJ version]
...
Orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya, tetapi kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar.


Demikianlah pepatah bijak Nabi Sulaiman. Orang yang baik pasti meninggalkan warisan bagi anak cucunya (versi bhs. Inggris: bagi cucunya) . Riwayat kebaikan seseorang yang telah meninggal berbicara lantang dan nyaring kepada orang-orang yang masih hidup. Kebaikan itu juga merupakan warisan yang mencukupi kebutuhan para cucunya kelak. Hanya di akhir hidup seseorang kita mulai berpikir tentang apa yang baik yang telah ia wariskan kepada kita.

Farewell my sister, Yulia Wijaya... you are always in my heart and your goodness remains in my mind. I believe we meet again in eternity...

Dad, read me Cinderella...!

>> Friday, April 24, 2009

"Pa, mau baca buku tebel...!" demikian pinta anak saya selagi saya baru meletakkan bokong saya di tempat duduk untuk membaca koran. "Aduh... nanti ya, papa mau baca koran dulu, kamu main lego aja dulu ya," "Ga mau, mau baca buku tebel..!" Saya yakin tidak akan menang dalam perdebatan ini, jadi saya meletakkan koran saya dan melayani keinginannya.

Hal seperti ini terjadi umumnya saat saya ingin melakukan apa yang saya sukai. Saat saya ingin membaca koran, saat saya merebahkan diri di kasur, dsb. Dan saya tidak pernah bisa menang berdebat dengannya. Keinginan membacanya sangat kuat. Setiap hari ada tiga jenis buku yang dia baca, pertama 'buku tebel' tadi (yang sebenernya adalah buku kamus visual), buku cerita anak (cinderella, snow white, dan sejenisnya) dan buku bimbingan saat teduh untuk anak (bacaan rohani). Setiap hari dia membaca (tentu saja lebih banyak dibacakan) ketiga jenis buku itu.

Hal ini berawal dari kebiasaan saya membaca. Saya memang suka membaca. Kami, orang tuanya juga membelikan beberapa buku bergambar (pictures book) untuk mendorong dia membaca sejak dini. Saat ia masih bayi hingga usia setahun, tidak jarang saya membaca buku di depannya. Dikarenakan juga dengan kondisi rumah yang tidak besar, maka aktifitas saya dalam dengan mudah dilihat oleh anak saya. Ia melihat setiap hari orang tuanya ini memegang buku dan menatapinya dalam waktu lama. Kami juga tidak memiliki TV, sehingga hiburan visual satu-satunya hanyalah buku.

Kami sangat kagum saat anak kami berusia kira-kira satu setengah tahun. Ia dapat membuka halaman-halaman buku dengan rapi dan 'membacanya'. Kami pun senang, setiap buku dan majalah yang terdapat gambar-gambar dengan warna menonjol dan bervariasi selalu kami sodorkan padanya. Ia pun dengan gembira melihat halaman demi halaman buku itu. Sejak saat itu, kami selalu menemaninya membaca. And she likes it very much! Saat membaca adalah saat yang paling ia tunggu-tunggu...

Hingga saat ini, saat usianya menjelang tiga tahun kami tidak berhenti untuk menemaninya membaca. Terkadang, kami menemukan ia suka membaca sendirian. Mengambil buku di rak, membacanya satu persatu, mengembalikannya ke rak dan mengambil buku berikutnya, dan begitu seterusnya hingga is merasa cukup. Seringkali, ketika ia 'membaca' sendiri ia mengucap ulang apa yang kami ceritakan tentang gambar-gambar itu sendirian.

Suatu kali saya pulang kerja hingga pk. 19.00, dua belas jam meninggalkan rumah. Yang saya inginkan saat itu adalah makan dan beristirahat serta meminta pengertian istri untuk saya dibiarkan sendiri membac koran. Namun sekali lagi suara itu datang... "Pa, bacain cinderalla!"

Dari hal ini kami menarik pelajaran, bagaimana membuat anak suka membaca buku:
1. Jadi model sejak anak masih bayi. Tnjukkan aktifitas membaca Anda dihadapan anak secara konsisten sesering mungkin.
2. Jangan perkenalkan TV sebelum ia 'kerajingan' membaca. TV selalu mencuri perhatian anak, membunuh keinginan memacanya dan membinaskan masa depannya yang lebih baik.
3. Segera temani dia membaca saat dia pertama kali menunjukkan ketertarikannya pada buku.
4. Belikan dan tunjukkan buku-buku atau majalah dengan gambar-gambar aneka warna, baik yang realistis atau kartun. Awali dengan majalah-majalah yang tidak terpakai lagi, karena ada kemungkinan ia akan merusak buku Anda.
5. Selalu berinisiatif mengajak anak membaca sebagai alternatif waktu bermain bersama anak. Lakukan ini secara konsisten setiap hari, walau waktunya pendek.
6. Walau di dalam buku cerita terdapat tulisan alur ceritanya, usahakan untuk kreatif dengan menceritakan gambarnya saja. Anak tidak terlalu perduli alur cerita, tetapi kebersamaan dengan orang tuanya dan bagaimana Anda dapat menceritakannya denagn menarik.
7. Jangan menolak permintaannya untuk membaca saat ia sudah kerajingan hingga ia bisa benarbenar membaca sendiri.

Selamat Mencoba.

Traditional Philosophy

>> Thursday, April 23, 2009

Philosohpy Education: Bab 1 - Bab 2 - Bab 3 - Bab 4 - Bab 5 - Bab 6 - Bab 7

Pada Bab Satu dan Dua, telah dibahas mengenai konsep-konsep dasar filsafat dan kaitannya dengan pendidikan. Pada bab yang ketiga ini akan ditelaah lebih jauh mengenai salah satu kelompok filsafat, yaitu filsafat tradisional.

Dalam dunia pendidikan, terdapat hubungan langsung antara kepercayaan dasar seseorang dan bagaimana mereka memandang komponen-komponen pendidikannya, seperti hakikat siswa, peran guru, penekanan terbaik pada kurikulum, metode mengajar yang paling efisien dan fungsi sosial sekolah. Dalam Bab ini kelompok-kelompok filsafat akan diberi nama/label tertentu demi terwakilinya pemikiran-pemikiran dibalik label tersebut. Perbedaan yang terdapat dalam setiap kelompok filsafat ini lebih mudah dikenali dengan pemberian label. Pelabelan ini juga menyadarkan para pendidik bahwa praktek-pratek dalam pendidikan dibangun dan berasal dari filsafat tertentu. Bab ini akan mengungkapkan filsafat tradisional, idealisme, realisme dan neo-skolastikisme.

Idealisme
Idealisme menekankan pada realita gagasan/idea, pemikiran dan pikiran. Idealisme diformulasi pada abad keempat sebelum masehi oleh Plato. Ia mendefinisikan kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi. Karena dunia ini terbukti selalu berubah, maka kebenaran tidak dapat ditemukan dalam dunia yang tidak sempurna dan sementara ini. Plato percaya bahwa terdapat kebenaran universal dimana semua orang dapat menyepakatinya. Idealisme percaya bahwa dunia yang dapat diindera oleh tubuh kita dan dunia pikiran adalah dunia yang nyata.

Mengetahui realitas bukanlah pengalaman melihat, mendengar atau menyentuh, tetapi memegang gagasan atas sesuatu dan menyimpannya dalam pikiran. Kebenaran berada dalam wilayah gagasan/idea. Beberapa idealis memdalilkan bahwa ada suatu Pikiran Absolut atau Pribadi Absolut yang secara terus menerus memikirkan gaagsa-gagasan ini.

Kehidupan etis para idealis didapat dengan memlihara keharmonisan dengan alam semesta. Peran para individu adalah untuk menjadi seperti Pribadi yang Absolut itu.

Dalam hubungannya dengan pendidikan, para pembelajar dipandang sebagai pribadi mikroskopik yang berada dalam proses menjadi seperti Pribadi Absolut. Mereka harus berjuang pada kesempurnaan, karena pribadi ideal adalah sempurna. Peran guru adalah untuk meneruskan pengetahuan akan realitas dan menjadi contoh atas etika yang ideal. Penekanan kurikulum idealisme terletak pada studi humanisme, seperti sejarah, literatur, matematika dan bahasa. Perpustakaan menjadi pusat kegiatan pendidikan dan ruang-ruang kelas adalah perpanjangan pengoperasian perpustakaan. Metode mengajar yang terbaik adalah dengan ceramah secara verbal. Pada akhirnya secara sosial sekolah berfungsi sebagai penyimpan warisan dan penerus pengetahuan dari masa lalu. Ia bukan agen perubahan, tetapi penyokong 'status quo'.

Realisme
Dalam hal tertentu, realisme adalah sebuah reaksi menentang idealisme. Aristoteles adalah pendefinisi terbaik dari realisme. Menurutnya, suatu bentuk dapat hadir tanpa zat/materi tertentu, tetapi tidak akan ada zat/materi tanpa bentuk.

Realitas utama menurut para realis, realita bukan terdapat pada wilayah pikiran. Alam semesta ini dibuat dengan materi bergerak, sehingga dunia fisik dimana orang berdiam inilah yang menjadikannya realita.

Epistemologi dari realisme adalah pendekatan umum pada dunia yang mendasarkan metodenya pada persepsi yang berhubungan dengan panca indera. Kebenaran dipandang sebagai fakta yang dapat diamati. Panca indera adalah alat untuk memperoleh pengetahuan.

Hukum alam adalah dasar etika realisme, karena alam memiliki hukum moral. Bentuk seni terbaik menurut relis mencerminkan kelogisan dan keteraturan alam semesta.

Dalam pendidikan realisme memandang para siswa sebagai organisme fungsional yang dapat mengetahui keteraturan alam melalui pengalaman sensoris. Mereka adalah subyek dari hukum alam, maka itu mereka tidak bebas dalam pilihan-pilihan mereka. Guru berperan untuk memberikan informasi yang akurat mengenai realitas pada siswa dengan cara yang paling cepat dan efisien. Ilmu-ilmu alam menjadi pusat dalam kurikulum realis, selain itu matematika dan bahasa juga memiliki posisi yang sama. Pengalam belajar haruslah diatur sedemikian rupa kepada hal yang lebih luas untuk dapat memanfaatkan panca indera. Demonstrai adalah metode favorit dalam kelas, semikian juga dengan studi lapangan, dan penggunaan audio-visual. Sekolah berperan sebagai 'transmitter' pengetahuan yang telah ditetapkan oleh mereka yang telah memiliki konsep hukum alam dan pengalaman keilmuan, serta fungsinya dalam alam semesta. Sekolah ini berfokus melestarikan dan melindungi warisan pengetahuan ini.

Neo-Skolastikisme
Neo-skolastikisme adalah sebuah gerakan intelektual yang berkembang di Eropa Barat antara tahun 1050 -1350. Para pelajar skolastik tidak tertarik untuk mencari kebenaran baru, mereka lebih tertarik pada pembuktian kebenaran yang telah ada melalui proses-proses rasional. Jadi skolastikisme dapat dilihat sebagai usaha untuk merasionalisasi teologi dengan tujuan mendukung iman oleh pemikiran (reason).

Thomas aquinas adalah tokoh utama dalam masa ini. Pendekatan dasarnya adalah seseorang seharusnya memperoleh pengetahuan sebanyak mungkin melalui penggunaan pemikiran/akal budi(reason) manusia dan mempercayakannya pada iman wilayah-wilayah yang melampaui pemahaman manusia.

Pada pemikiran pendidikan abad ke-20, Neo-skolastikisme terbagi menjadi dua cabang pendidikan, yaitu cabang religius dan cabang sekuler. Cabang religius membangun struktur filsafat pendidikan Katolik Roma.

Terdapat dua akar pemikiran Neo-skolastikisme, yang pertama berakar pada Aristoteles yang meletakkan dasar realisme. Yang kedua berakar pada aquinas yang mensintesa filsafat Aristoteles dengan Kekristenan. Bagi Aristoteles pertanyaan terpenting yang dapat ditanyakan seseorang adalah mengenai tujuan mereka; dan karena manusia diberikan kemampuan untuk berpikir, maka tujuan utama manusia adalah untuk menggunakan kemampuannya itu. Menurutnya alam semesta ini memiliki rancangan dan keteraturan dan setiap akibat memiliki penyebab. Rancangan, Keteraturan dan Penyebab ini saling berhubungan di dunia dan dia menyatakan adanya Penyebab Pertama dan Penggerak yang Tidak Bergerak. Aquinas menyamakan hal itu dengan Tuhan orang kristen.

Metafisika dari Neo-skolastikisme merupakan dua sisi mata uang. Di satu sisi adlah dunia lamiah yang terbuka pada pemikiran, di sisi lain adalah wilayah supranatural yang dipahami melalui intuisi, pewahyuan dan iman.

Kebenaran didapat dari intuisi dan pernyataan sintetis. Intuisi dianggap lebih tinggi tingkatnya dari pada pernyataan sintetis. Cabang Sekuler Neo-skolastikisme menyatakan, kebenaran dapat diketahui melalui akal budi dan intuisi. Sedangkan cabang religius dari filsafat ini menambahkan pewahyuan supranatural sebagai sebuah sumber pengetahuan yang dapat meletakkan manusia yang terbatas untuk berhubungan dengan pikiran Tuhan. Kedua cabang ini sangat menekankan akal budi dan bentuk deduktif dari logika Aristoteles.

Kehidupan moral bagi Neo-skolastikisme adalah kehidupan yang harmonis dengan akal budi (reason). Manusia pada dasarnya adalah mahluk rasional dan perilaku yang baik dikontrol oleh rasionalitas. Dikarenakan Neo-skolastikisme terlalu menekankan pada rasio, maka dampaknya pada bentuk-bentuk seni tidaklah menonjol.

Dalam dunia pendidikan Neo-skolastikisme percaya bahwa siswa adalah mahluk rasional (berakal budi)yang memiliki potensi alamiah untuk memperoleh Kebenaran dan pengetahuan. Guru dipandang sebagai pengajar mental dengan kemampuan untuk mengembangkan pemikiran, daya ingat dan kekuatan kehendak dalam diri siswa. Cabang religius Neo-skolastikisme menganggap guru juga sebaagi pemimpin spiritual dan pegajar disiplin mental. Sedangkan cabang sekuler menyatakan bahwa karena manusia adalah mahluk rasional, maka kurikulum harus memprioritaskan penumbuhan aspek-aspek rasional mereka. Siswa harus dilatih untuk berpikir dan pendidikan berfokus pada penajaman intelektual, sehingga orang-orang dapat mampu memahami sang Kenebaran Absolut. Semua hal yang berhubungan dengan pengembangan logika menjadi pusat kurikulum Neo-skolastikisme, demikian juga dengan matematika dan bahasa, khususnya bahasa Latin dan Yunani. Cabang religius menambahkan studi sistematis mengenai dogma dan doktrin juga pentin gdalam kurikulum. Metode pengajarannya kebanyakan berfokus pada pelatihan kekuatan intelektual. Dalam aspek sosial, sekolah Neo-skolastikisme berfungsi sama dengan kedua filsafat tradisional lainnya.

UN On The Fall...

>> Tuesday, April 21, 2009

"Ayo diisi jawabannya! Kenapa dibiarkan kosong?" Demikian tanya seorang pengawas setelah melihat lembar jawab siswanya sebagian besar kosong, padahal waktu hanya tersisa 5 menit lagi. "Kata bapak guru mah, katanya kosongin ajah" jawab siswa itu dengan polos.

Seusai mengumpulkan lembara jawab dan soal UN, para pengawas ini pergi ke ruang pengawas untuk menyerahkannya pada petugas di sekolah setempat. Setelah basa basi, menyeruput minuman dan menikmati beberapa buah snack, para pengawas ini pun meminta ijin untuk pulang pada kepala sekolah bersangkutan. Ruang-ruang kelas di sekolah tersebut memilki jendela di sisi ruangnya, dimana orang yang lewat dapat dengan mudah melihat ke dalam kelas. Ketika para pengawas ini pulang melewati sebuah ruang kelas, betapa kagetnya mereka melihat apa yang terjadi di ruang tersebut.

Amplop soal ujian berserakan di meja dengan lembar jawab yang berada di depan mata guru-guru yang sedang sibuk melakukan sesuatu atasnya. Para pengawas ini dengan segera menduga bahwa para guru ini sedang sibuk mengisikan lembar jawab siswa-siswanya. Dari gerak-gerik mereka, semakin jelas bahwa dengan pensil 2B ditangan mereka, bahwa mereka setidaknya sedang membulat penuhkan lembar jawab siswa. Suatu perbuatan yang amat tercela dan curang! (lihat tulisan saya yang lain: Great Historic Achievement)

Kejadian di atas terjadi pada masa UN tahun lalu. Sungguh sangat memalukan, merobek rasa keadilan dan penjerumusan siswa dalam jurang dusta. Guru. Mereka yang melakukannya!

Harapan muncul saat pemerintah mengumkan akan mengubah beberapa aturan dan prosedur penyelenggaraan UN tahun ini. Mereka akan menyiapkan tim pemantau independen yang lebih baik dengan budget sebesar Rp 83 miliar dari aks negara. Mereka juga akan membuat lebih dari dua jenis soal yang berbeda di tiap daerah. Pemerintah juga menjanjikan tidak adanya kebocoran dalam pelaksanaan UN kali ini. Namun realitanya, tidak berjalan sebagai mana mestinya. Dana milyaran itu seperti hangus terbakar.

Sepulang teman-teman saya mengawas UN, modus yang sama kembali terjadi di sekolah dimana mereka mendapat penugasan. Siswa tidak mengisi semua lembar jawab. Pengawas independen hanyak duduk diam di sudut ruangan. Artikel dari Kompas.com hari ini pun memaparkan tentang apa yang ditemukan oleh tim pengawas dari Universitas Sriwijaya di Palembang. Mereka menemukan para siswa datang jam 5 pagi dengan harapan gurunya akan memberikan kunci jawaban(klik di sini). Lebih jauh lagi, KAMG (Komunitas Air Mata Guru) di Medan, menemukan kunci jawaban dalam bentuk sms dan lima lembar kertas kecil (klik di sini).

Para siswa yang telah belajar di sekoah selama tiga tahun dihadapkan dengan ujian akhir dari pemerintah. Kelulusan bukan berasal dari sekolah dimana mereka selama ini belajar. Melainkan dari pemerintah yang menerapkan nilai standar kelulusan 5,25. Orang tua siswa ketar-ketir menghadapi hal ini. Mereka berupaya dengan berbagai cara agar anaknya tidak gagal dalam UN. Pemerintah berhasi lmenjebak orang tua dan sekolah untuk sekedar mendapat 'nilai'. Dengan diadakannya kelas tambahan untuk persiapan UN dan penuhnya bangku-bangku di tempat-tempat kursus untuk persiapan menghadapi UN pertanda bahwa ini bukan sekedar evaluasi biasa. Tetapi ujian yang menentukan hidup mati masa depan siswa. Sayang pemerintah tidak bisa melihat ini dari kacamata mereka.

Jika pemerintah berkilah mengenai adanya sisi baik dalam penyelenggaraan UN ini, bukti di lapangan telah jelas, UN tidak berlangsung dengan valid! Banyak terjadi kecurangan yang 'terpaksa' dilakukan oleh pihak sekolah demi mendapatkan tingkat kelulusan yang baik. Banyak terjadi kecurangn ayng 'terpaksa' dilakukan oleh pihak orang tua demi anaknya lulus walau harus menyediakan dana tambahan.

UN On The Go...

>> Monday, April 20, 2009

Hari ini adalah hari pertama penyelenggaraan UN bagi siswa SMA. Satu hal menarik dari penyelenggaraan UN kali ini adalah tentang pengawasan UN.

Pemrintah memperketat pengawasan UN dengan menambah atau meningkatkan mutu pengawas tambahan non-guru. Pengawas independen ini bertugas untuk mengawasi dengan lebih ketat penyelenggaraan UN sehingga tidak terjadi kecurangan oleh siswa atau guru pengawas, salah satunya adalah tentang penggunaan HP. Pembiayaan pemantau atau pengawas independen untuk UN SD, SMP dan SMA ini menggunakan dana pemerintah sebesar Rp 83 miliar. Semua ini dilakukan demi keberlangsungan UN yang berintegritas.

Namun di lapangan saya menemukan kasus menarik. Beberapa teman saya yang menjadi pengawas di sekolah lain mendapat surat sakti mengenai apa yang harus ditandatangani dan dilakukan oleh para pengawas di ruang kelas. Namun salah satu butir pernyataan yang terdapat di surat itu tertulis kurang lebih seperti demikian: "Bilamana terjadi masalah dalam pelaksanaan UN di dalam kelas, para pengawas harap tidak membawa persoalan ini ke pihak luar."

Salah satu teman saya bertanya pada kepala sekolah bersangkutan mengapa ada peryataan seperti itu dan mengapa ada surat 'perjanjian' seperti ini. Karena selama tiga kali ia menjadi pengawas UN di sekolah lain, tidak pernah ia mendapat surat seperti ini dan dengan pernyatan seperti yang tertera di atas itu. Sang kepala sekolah menegaskan bahwa pernyataan itu adalah demi kenyamanan penyelenggaraan UN ini saja, diharapkan masalah-masalah yang muncul selama UN ini dapat diselesaikan bersama, dan tidak untuk konsumsi umum...

Philosophic Issues in Education

>> Friday, April 17, 2009

Philosohpy Education: Bab 1 - Bab 2 - Bab 3 - Bab 4 - Bab 5 - Bab 6 - Bab 7

Berikut ini adalah lanjutan rangkuman, buku Phylosophy Education oleh George R. Knight. Bab kedua ini berjudul "Philosophic Issues in Education". Berikut ini adalah ulasannya...

Filsafat Pendidikan tidak dibedakan dengan filsafat pada umumnya. Sebelum kita memahami struktur filsafat pendidikan, sangatlah penting untuk mempelajari garis besar filsafat. Oleh karena itu kita perlu mempelajari kategori-kategori yang terdapat dalam metafisika, epistemologi dan aksiologi.

Metafisik adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat atau natur realitas (kenyataan). Metafisik berasal dari bahasa Yunani yang secara literal berarti diluar (beyond) fisik. Kebanyakan teori sains sangat berhubungan dengan teori realitas. Terdapat empat bagian metafisik yaitu:
1. Aspek kosmologi, yaitu studi tentang asal muasal, alam dan perkembangan alam semsta sebaagi sistem yang teratur.
2. Aspek teologi, yaitu teori religius yang berhubungan dengan konsep Ke-Tuhan-an.
3. Aspek antropologi, yaitu studi yang berhubungan dengan manusia.
4. Aspek ontologi, yaitu studi tentang hakikat ke-ada-an.; atau studi yang menentukan apa yang kita maksudkan ketika sesuatau itu ada.

Metafisik adalah isu sentral dalam dunia pendidikan karena semua program sekolah harus berdasar pada fakta dan realita dari pada impian, ilusi atau imajinasi. Setiap pendidik harus memiliki konsep yang sama tentang hakikat manusia, kepribadian dan kebutuhan sosialnya, dan pribadi idealnya.

Epistemologi adalah cabang filasafat lain yang mengkaji tentang hakikat, sumber dan keabsahan dari pengetahuan. Beberapa dimensi dari pengetahuan ini adalah:
1. Apakah realitas dapat diketahui?
2. Apakah kebenaran realtif atau absolut?
3. Apakah pengetahuan itu subyektif atau obyektif?
4. Apakah kebenaran itu terpisah dari pengalaman manusia?

Dari dimensi-dimensi pengetahuan itu, maka dapat diketahui beberapa sumber pengetahuan, diantaranya:
1. Indera. Empirisisme adalah pandangan bahwa pengetahuan didapat melalui indera.
2. Pewahyuan. Pengetahuan yang diwahyukan menjadi pengetahuan yang primer dalam bidang keagamaan.
3. Otoritas. Pengetahuan yang otoritatif dapat diterima sebagai kebenaran karena datang dati para ahli atau telah dibakukan dalam suatu tradisi.
4. Akal Budi. Pandangan bahwa berpikir, berlogika adalah faktor utama dalam pengetahuan yang dikenal dengan rasionalisme.
5. Intuisi. Ini adalah pemahaman lansung atas pengethuan yang tidak berasal dari pemikiran yang sadar.

Sejarah menunjukkan bahwa kepercayaan atas satu hal tertentu yang diterima sebagai kebenaran, menjadi suatu hal yang salah di kemudian hari. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kepercayaan yang satu adalah benar sedangkan yang lain salah? Para filsuf telah mempercayai tiga ujian kebenaran ini: teori koresponden, koherensi dan pragmatis.
1. teori koresponden adalah sebuah ujian yang menggunakan kesepakatan dengan fakta sebagai dasar pendapat.
2. teori koherensi percaya pada konsistensi atau harmoni pendapat semua orang.
3. Teori pragmatis melihat ujian pada kebenaran dalam akibat penggunaan, kinerja atau tingkat kepuasannya.

Dilema dalam metafisik dan epistemologi ini adalah tidak mungkin untk membuat pernyataan tentang realitas tanpa memiliki sebuah teori kebenaran pada awlnya; dan sebaliknya, sebuah tero tentang kebenaran tidak dapat dikembangkan tanpa pertama-tama memiliki teori tentang realitas. Posisi yang dapat diterima mengenai persoalan ini adalah sebuah 'pilihan iman' yang dibuat oleh pada individu dan hal ini memerlukan sebuah komitment atas jalan hidup. Jadi kesimpulannya, semua orang hidup oleh iman dalam kepercayaan dasar yang mereka telah pilih.

Aksiologi adalah cabang filsafa yang mencari jawaban atas pertanyaan 'Apa yang bernilai?'. Terdapat sebuah penekanan yang jelas dalam nilai-nilai, sebuah penekanan antara apa yang orang katakan bernilai bagi mereka dan apa yang mereka lakukan dalam kehidupan kesehariannya. Isu yang paling krusial bagi para pendidik adalah membedakan apa yang orang-orang seharusnya pilih dari pada mendefinisikan dan menjelaskan pilihan-pilihan mereka yang mereka lakukan atau katakan itu. Aksiologi beridiri di dasar utama dalam proses pendidikan dan aspek terbesar dalam pendidikan adalah pengembangan pilihan-pilihan (preferensi). Dua Cabang utama dari aksiologi adalah Etika dan Estetika.

Etika adalah studi tentang nilai-nilai moral dan pelaksanaannya. Teori etika memperhatikan penyediaan nilai-nilai yang benar sebagai dasar bagi tindakan yang benar. Masyarakat dunia telah membuat kemajuan-kemajuan teknologi yang luar biasa, tetapi belum memajukan secara signifikan konsep-konsep moral dan etika.
Sangatlah tidak mungkin untuk melarikan diri dari pengajaran konsep-konsep etika di sekolah. Namun persoalannya adalah masyarakat membedakan dasar-dasar etikanya dan merasa sangat kuat dalam membiarkan anak-anak mereka 'diindoktrinasi' oleh sebuah nilai-nilai moral yang asing bagi kepercayaan fundamental mereka.

Estetika adalah wilayah nilai yang mencari prinsip-prinsip yang berlaku pada penciptaan dan penghayatan keindahan dan seni. Karena etetika sangat berhubungan dengan imajinasi dan kreatifitas, maka ia cenderung sangat pribadi dan subyektif. Penilaian estetik adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan tidak dapat terhindarkan. Pengalaman estetik memimpin kepada pengindraan yang tinggi atas persepsi, kemampuan untuk memahami makna yang baru, pengembangan perasaan dan perluasan sensitifitas. Hal ini membutuhkan pemahaman intelektual dan bahkan bekerja melampaui wilayah afektif dengan fokusnya pada perasaan dan emosi.
Sekolah dan agen-agen pendidikan lainnya juga memiliki tanggung jawab untuk menolong para sisaw melihat dimensi estetik dalam lingkungan pendidikan seperti dalam area arsitektur, lapangan sekolah, kerapihan pribadi dan kerapihan menulis di buku. Setiap individu perlu mengingat bahwa kepercayaan estetik berhubungan langsung dengan aspek lainnya dalam filsafat yang mereka anut.

Studi aksiologi selalu menjadi penting, tetapi ia memiliki hubungan yang istimewa bagi para pendidik di jaman ini. Abad yang terakhir ini telah memperlihatkan perubahan yang besar atas struktur nilai dan sekarang kita hidup di dalam waktu ketika posisi aksiologi kemanusiaan dapat digambarkan dengan kata-kata degenerasi dan berubah total.

The Battle Begins!

Senin, tgl 20 April ini, siswa SMA kelas 12 akan memulai pertempurannya di ruang-ruang kelas. Seluruh kemampuannya selam 3 tahun bersekolah (tepatnya 4 bulan di kelas persiapan UN) akan diuji oleh soal-soal Ujian Akhir Nasional.

Kemarin mereka mengadakan doa bersama untuk keberhasilan mereka menghadapi UN nanti. Persipan jasmani, jiwani dan rohani telah mereka lakukan. Dalam dua hari ke depan mereka memilki waktu yang cukup untuk terus menmpa diri dan/atau sekedar beristirahat sejenak...

Menjelang UN ini banyak siswa dan sekolah mengadakan ibadah atau doa bersama demi kelangsungan dan keberhasilan hajatan ini. Baca artikel Kompas: Ujian Nasional yang bikin nervous...

Selamat berjuang anak-anakku. Kiranya Tuhan menyertaimu...

Character Building: School or Family Role?

>> Thursday, April 16, 2009

Seorang tetangga kami menjadi guru agama dan guru karakter (character building) di sebuah sekolah. Sekolah ini memiliki misi membangun karakter siswa-siswanya. Sore itu, ia bertandang ke rumah tetangga kami juga yang lain.

Setelah ngoborl sana-sini, pembicaraan tiba ke topik mendidik anak. Tetangga saya yang dikunjungi ini bertanya, "kenapa sih anak-anak di sekolahmu itu karakter dan perilakunya ga bagus?"

"Lihat tuh sih X (seorang anak SD), kelakuannya kok kayak begitu? Kok sekolahnya ga ngajarin karakternya supaya bagus sih?"
Isteri saya yang juga berada di sana, bersegera menyela, "Sekolah ga bisa disalahkan bu. Kelakuan anak-anak itu tergantung keluarga dan orang tuanya."

Benar kata isteri saya. Sebaik apapun sekolah mengajarkan karakter, tidaklah akan sebaik keluarga (orang tua) bila mereka mendidik anaknya. Walaupun sekolah memiliki visi, misi, dan program yang bagus untuk mendidik karakter siswanya, tidaklah akan seefektif orang tua bila mereka melakukannya. Mengapa demikian?

Pendidikan karakter tidak bisa disamakan dengan pengajaran matematika atau sejarah atau mata pelajaran lainnya. Pendidikan karakter bukanlah mentransfer ilmu, tetapi teladan. ia tidak memberikan pengajaran tetapi contoh hidup. Ia tidak perlu pekerjaan rumah, tapi pembiasaan diri. Ia tidak ada ulangan, tetapi ujian hidup.

Adapun sekolah yang mengajarkan Character Building di jam sekolah, hal ini tidak berarti karakter yang diajarkan terbentuk dalam diri siswa. Pengajaran CB hanya akan sampai pada tataran pengetahuan dan pemahaman. Apalagi jika diajarkan pada siswa yang menjelang dan sudah remaja. Pengajaran ini semakin tidak efektif bila hanya berupa ceramah dan aktifitas biasa. Dikarenakan hakikat karakter bersumber pada pembiasaan dan pemodelan, maka waktu menjadi kata kunci untuk melihat tumbuhnya karakter itu.

Pembiasaan berarti pelatihan secara terus menerus dan terstruktur terhadap satu karakter yang diharapkan tumbuh. Sedangkan Pemodelan dimaksudkan sebagai bukti dan sarana impartasi/inspirasi bagi siswa tentang contoh nyata karakter yang diharapkan, sehingga memberikan arah bagi siswa.

Dua hal ini sangat efektif dilakukan oleh orang tua, mengingat siswa sepenuhnya bergantung dan percaya pada orang tua di masa anak-anaknya. Semakin belia usia anak, semakin efektif orang tua melatih dan membetuk karakter anak.

Jika sekolah memiliki misi khusus untuk mengajarkan CB pada siswa, akan terlebih efektif bila sekolah dapat melakukan program-program yang lebih dinamis dan korporat. Dinamis berarti bukan berupa metode ceramah, melainkan kegiatan-kegiatan yang berorientasi tantangan atau problem solving untuk memunculkan karakter yang diharapkan. SEcara Korporat dimaksudkan sebagai pemberi energi pada teman sebaya untuk memiliki kualitas karakter yang diharapkan.

Media vs Family

>> Wednesday, April 15, 2009

Sebuah penelitian di Amerika yang dipublikasikan pada tahun 1966 oleh Canergie Council on children menyatakan bahwa: pada usia 18 tahun rata-rata anak Amerika telah menghabiskan waktu lebih banyak menonton televisi dari pada sekolah atau keluarganya.

Teknologi media, khususnya TV, internet, Handphone dan permainan elektronik telah berkembang sangat pesat di masa kini. Saya percaya bila Lembaga tersebut mengadakan penelitian yang sama, besaran angkanya akan meningkat semakin tajam.

Josh McDowell, dalam bukunya Father Connection menyatakan bahwa para ayah di Amerika hanya memiliki waktu efektif bersama anak sebanyak 33 detik setiap harinya! Hal ini menggambarkan betapa waktu efektif bersama keluarga telah hilang dan digantikan oleh hal yang lain.

Agen pendidikan tidaklah hanya sekolah, melainkan juga keluarga, media, teman sebaya dan lembaga keagamaan. Dari semuanya itu. Keluarga dan media mengambil peran yang lebih besar, demikian dinyatakan oleh George R. Knight. Namun dengan melihat hasil penelitian di atas, media adalah yang terdekat dalam kehidupan anak-anak.

Hal ini sungguh mencemaskan, karena fungsi kontrol atas media tidak dapat dilakukan oleh siapa pun selain diri sendiri. TV, internet, Handphone, dll tidak dapat membatasi penggunanya. Baik hal yang baik maupun yang buruk akan ditampilkan bagi kesenangan dan kenyamanan penggunanya. Sayangnya anak-anak belum secara baik dapat membatasi mana hal yang baik bagi dirinya. Media berhasil merebut waktu anak-anak karena daya tariknya. Medialah yang mendidik anak-anak generasi ini.

Keluarga, khususnya orang tua perlu mengambil langkah tegas untuk merebut kembali anak-anak dari media. Media telah mencuri waktu mereka, membunuh hubungan dalam keluarga, dan membinasakan masa depan mereka yang seharusnya. Anak-anak harus didik hingga mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk mengatakan tidak pada hal-hal yang merusak diri mereka.

"If you(parents) don't teach your children others will and when you see they are not what you want to be, you are already too late"

I Will Take You To School Honey...

>> Tuesday, April 14, 2009

Foto ini diambil dari kompas.com hasil jepretan Lis Dhaniati.

Seorang ayah yang cacat mengantar anaknya untuk pergi sekolah di Bandung. di dalam keterbatasannya sebagai penyandang cacat, hatinya tidaklah seperti kakinya. Ia mengirim pesan kepada anknya: Nak, engkau sangat berharga. Ayah ingin kamu menjadi orang yang lebih baik dari ayah. Ayah akan lakukan apa saja demi keberhasilan sekolahmu...

Jika Anda seorang ayah, apakah Anda mengantar anak Anda ke sekolah? atau Anda menyerahkannya pada pembantu atau isteri Anda? Seberapa peduli Anda kepada anak Anda?

Pesan dari foto yang kuat untuk mengingatkan dan mengajar kita tentang kasih oarng tua pada anak...

The Nature of Philosphy and Education

Philosohpy Education: Bab 1 - Bab 2 - Bab 3 - Bab 4 - Bab 5 - Bab 6 - Bab 7

Phylosophy Education adalah sebuah buku yang ditulis oleh George R. Knighth, seorang sejarawan dan pendidik. Buku ini menjadi pegangan yang baik bagi mahasiswa FKIP, guru, dosen dan semua orang yang bergelut dalam dunia pendidikan.


Saya mencoba membuat suatu rangkuman dari pokok-pokok bahasannya. Semoga bermanfaat bagi referensi Anda. Berikut ini adalah rangkuman dari bab pertamanya, Hakikat Filsafat dan Pendidikan...

"Mindlessness" atau ketiadaanakal adalah kata pertama yang muncul di awal paragraf bab ini. Kata ini dimaksudkan pada pendidikan di AS yang tidak memperhatikan aspek tujuan atau alasan pendidikan dilangsungkan dan hanya menekankan pada aspek pelaksanaan praktis saja. Para pendidik di sana dianggap telah terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menciptakan teknik-teknik, metode dan strategi mengajar/belajar tercanggih dan mengalpakan pentingnya menrumuskan arah dah tujuan pendidikan itu sendiri.

Kebutuhan untuk menghasilkan tenaga-tenaga pendidik profesional yang dapat berfokus pada pemikiran tentang tujuan, memikirkan tentang apa yang mereka sedang kerjakan dan mengapa mereka melakukannya menjadi sangat penting dan mendesak. Saat tujuan dan arah telah berada dalam kepala mereka, secara independen mereka dapat menilai sendiri metodologi apa yang akan membantu menggapai tujuan pembelajaran.

Studi filsafat pendidikan ini bertujuan:
1. menolong pendidik untuk lebih 'familiar' dengan masalah-masalah dasar pendidikan;
2. memampukan mereka untuk mengevaluasi lebih baik saran-saran untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pendidikan
3. mendampingi mereka dalam memperjelas tujuan kehidupan dan pendidikan
4. membimbing mereka dalam mengembangkan sudut pandang yang konsisten dan program yang berhubungan secara nyata dengan konteks dunia yang lebih luas.

Penulis membagi filsafat menjadi tiga aspek: sebuah aktifitas, sekumpulan sikap dan sebentuk isi. Aktifitas atau kegiatan dalam filsafat terbagi menjadi enam tahap, yaitu examining (pemahaman), analyzing (analisa), synthesizing (sintesa), speculating (pengumpulan data), prescripting (perumusan pernyataan) dan evaluating (evaluasi). Seorang yang berpikir secara filsafat biasanya memiliki sikap self-awareness (kesadaran diri), comprehensiveness (keutuhan), penetration (penggalian yang mendalam) dan flexibility (keluwesan). Terdapat tiga kategori bidang bahasan filsafat, yaitu metafisik, kajian tentang realitas; epistemology, kajian tentang kebenaran dan pengetahuan; dan aksiology, kajian tentang nilai.

Pembelajaran, pendidikan, persekolahan dan pelatihan adalah empat hal yang berbeda yang coba diuraikan oleh penulis. Pembelajaran (learning) adalah sebuah proses seumur hidup yang memampukan seseorang untuk menghasilkan atau menampilkan perilaku perubahan atau pembahauran manusia.

Penulis menegaskan bahwa pendidikan (education) adalah sebuah sub atau bagian dari pembelajaran. Pendidikan dibedakan dengan pembelajaran dalam: usaha sadar sang pelajar atau oleh orang lain untuk mengontrol, membimbing, mengarahkan, mempengaruhi atau mengelola suatu situasi pembelajaran dengan tujuan untuk memenuhi tujuan pembelajaran.

Pelatihan (training) tidak lebih dari dasar pengembangan pemahaman. Pelatihan dapat dilakukan pada hewan, namun pendidikan hanya untuk manusia. Namun dalam pendidikan bisa saja terdapat aspek pelatihan.

Sedangkan Persekolahan (schooling) adalah pendidikan yang dibuat secara formal dengan mempertemukan guru dan murid dalam waktu dan tempat tertentu. Hal inilah yang membedakannya dengan pendidikan dan pelatihan yang tidak terbatas pada tempat dan waktu.

Hal menarik yang dikupas diakhir bab ini adalah bahwa sekolah bukanlah satu-satunya agen pembelajaran, pendidikan dan pelatihan. Keluarga, Media, teman sebaya dan gereja(institusi keagamaan lainnya) juga berbagi tangung jawab dalam hal ini. Bahkan, sekolah merupakan minoritas dibanding dengan keluarga dan media dalam proses pendidikan anak.

Learn from the Environment: A Reply

Artikel Didaktika di koran Kompas kemarin (13/04/2009) berjudul "Belajar Melalui Lingkungan" cukup menarik. Ide dan penulisannya sederhana namun cukup membuka wawasan pembaca.

Isinya kurang lebih menggambarakan apa yang guru, orang tua dan murid bisa lakukan untuk mempelajari bahasa inggris dengan pemanfaatan lingkungan terdekatnya. Siswa dianjurkan untuk dapat memanfaatkan teknologi (seperti TV, radio, internet, HP, dll) yang menggunakan bahasa inggris, dengan demikian diasumsikan ketika bahasa inggris digunakan dalam keseharian yang kontekstual dengan kehidupan sang siswa, maka siswa mendapat kesempatan belajar.

Semangat dari tulisan ini sangat baik, walau aplikasi praktisnya sangat sulit diterapkan. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian pada fungsi kontrol, fungsi koreksi dan pemahaman tingkat usia atas gagasan tulisan tersebut. Asumsi sang penulis dengan pemanfaatan lingkungan kontekstual adalah hal yang baik, namun hal ini tidak akan efektif bagi siswa berkemampuan bahasa inggris menengah ke bawah, tingkat usia yang lebih dewasa dan bukan pembelajar mandiri. Mereka akan cenderung menggunkan bahasa ibu yang lebih nyaman untuk mengekspresikan diri dan berkomunikasi.

Pemanfaatan lingkungan akan menjadi efektif bilamana mereka memiliki komunitas yang mendukung, komitmen yang kuat untuk menggunakan bahasa asing tersebut atau kondisi gaya hidup sang pelajar yang mendukung.

Komunitas yang mendukung adalah orang-orang terdekat dari siswa yang memberikan respon positif atas digunakannya bahasa itu, khususnya sekolah dan keluarga.

Komitmen untuk berbahasa memang pertama harus diputuskan secara individu, namun karena esensi bahasa adalah untuk berkomunikasi, maka diperlukan komitmen korporat untuk menggunakan bahasa itu bersama-sama.

Kondisi gaya hidup pedalaman, pedesaan, pinggiran kota, perkotaan dan ibu kota sangatlah bervariasi. Karenanya hal pemanfaatan lingkungan yang banyak ditekankan pada media elektronik hanya akan menguntungkan mereka yang memilikinya.

Pembelajaran bahasa dengan pemanfaatan lingkungan akan sangat berguna bagi mereka yang beruntung memiliki sarana-sarana yang mendukung, memiliki komitmen individu yang tinggi dan komunitas yang kondusif.

Alternatif bagi siswa pemula atau berfasilitas terbatas untuk belajar bahasa aing akan kembali lagi ke ruang kelas dan tempat tinggalnya.

The Origin of Formal School

>> Monday, April 13, 2009

Pada mulanya tidak ada pendidikan formal, hanya ada keluarga dan komunitas. Anak-anak belajar dari orang tuanya dan lingkungan sekitarnya. Setiap anak percaya pada apa yang dikatakan dan dimodelkan orang tuanya, sekiranya ada keraguan mereka tidak bisa berbuat banyak karena dunia pengetahuan belum terstruktur dengan baik. Pengetahuan masih terbatas pada kepercayaan-kepercayaan agamawi, mitologi dan hal-hal metafisika lainnya. Mereka 'terpaksa' percaya pada semua hal itu, karena demikianlah adanya dunia dan peradaban pada saat itu. Kepercayaan kepada ketuhanan dan sistem kehidupan bermasyarakat diturunkan dari generasi ke generasi bulat-bulat. Itulah batas pendidikan termulia, selain dari keterampilan-keterampilan bertahan hidup yang juga diturunkan dari masa ke masa. Keluarga menjadi pusat belajar utama bagi anak-anak.

Hingga tiba pada jaman kebudayaan yang dianggap lebih maju, yaitu Babylonia, Mesir Kuno, Cina dan Yunani Kuno. Di sana mulai berpendar pusat-pusat belajar lain selain keluarga, khususnya untuk mendalami pengetahuan tertentu. Diluar itu, keluarga tetap memegang peranan besar dalam mendidik anak untuk kepercayaan hidup dan keterampilan dasar kehidupan.

Di Babylonia, para siswa banyak belajar tentang astronomi. Di Mesir Kuno, mereka banyak belajar mengenai matematika, arsitektur, dan seni. Di Cina, para siswa dididik teologia, pengolahan sutera, ilmu pemerintahan dan seni. Di Yunani, akademos ciptaan Plato di percaya menajdi sekolah formal pertama, yang ditandingi oleh Lyceum-nya Aristoteles. Di sini mereka banyak belajar mengenai filsafat, ilmu pemerintahan, biologi, kimia, dan lain-lain. Bidang ilmu yang dipelajari meledak menjadi berbagai cabang sejak jaman Aristoteles. Semua ini adalah cikal bakal sekolah formal di jaman sekarang. Peran keluarga di era ini tetap sama seperti sebelumnya, namun di masa remaja, anak-anak cenderung mulai membentuk jalan hidup sendiri sesuai pengetahuan dan 'sekolah' yang mereka ikuti.

Inilah sejarah singkat asal muasal sekolah hingga jaman sebelum masehi...

After Easter Holiday

Waktu libur seminggu habis sudah. Banyak pekerjaan rumah (baca:sekolah) menanti, terutama mempersiapkan siswa kelas 12 yang minggu depan akan bertempur secara individu dengan soal-soal di ajang Ujian Akhir Nasional. Minggu ini ada dua kali kesempatan saya bertatap muka dengan mereka. Saya berharap dapat memberikan yang terbaik.

Salah satu aktifitas saya selama libur seminggu kemarin adalah melahap tiga buku 'ringan', biografi singkat tokoh-tokoh pemikir dunia: plato, aristoteles dan konfusius. Ketiganya menginspirasi saya dalam banyak hal dan semakin memperkaya wawasan saya dalam mengkonstruksi gagasan saya tentang pendidikan. Dua buku lain yang saya baca ulang di akhir pekan adalah buku kategori 'menengah': Walking inthe classroom with God-nya Harro Von Brummelen dan Pendidikan di Era Otonomi-nya Andrias Harefa. Dua buku terakhir ini menajamkan kembali pemikiran saya tentang apa yang bisa saya lakukan berikutnya untuk merumuskan pemikiran saya tentang pendidikan.

Rencana saya semakin lengkap dengan datangnya teman lama saya yang agak 'sinting'. Ia memberikan saya beberapa poin yang harus saya perbaiki dari diri saya dan apa yang harus saya lakukan. Selama dua jam lebih kami berdiskusi (tepatnya saya lebih banyak mendengar) tentang pekerjaannya, filsafat, teologi dan berita-berita terhangat seputar itu. Apa yang disampaikannya membuat saya berpikir bahwa saya perlu lebih banyak belajar. Perlu lebih keras mendisiplin diri untuk banyak membaca dan menulis. Thanks bro...

Say No to Golput!

>> Wednesday, April 8, 2009

Besok adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hajatan setiap lima tahun ini dimeriahkan dengan sekitar 11.000 caleg atau calon legislatif di periode ini. Di luar segala kekurangan dan kelemahan pelaksanaan pemilu kali ini, saya mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk datang ke TPS masing-masing pada jam yang telah ditentukan untuk mengeksekusi pilihan Anda.

Say No to Golput!

A Reflection in April...

>> Tuesday, April 7, 2009

Baru saja saya pulang dari pemakaman seorang anak dari mantan atasan saya. Di sana hadir orang-orang 'besar' yang saya kenal. Saya sendiri merasa diri kecil di antara mereka. Dekat dengan saya berdiri seorang dosen sarjana dan pasca sarjana universitas terkenal di negeri ini. Tidak jauh di depan saya seorang Pembantu Rektor, para kepala sekolah, pemimpin departemen di yayasan dan orang-orang hebat lainnya; dimana saya ingin meminta waktu mereka untuk berbincang-bincang tentang isu-isu pendidikan. Namun waktunya tidak tepat.

Sepulang dari pemakaman, saya menuju ke kelas saya untuk menyelesaikan pemeriksaan hasil ujian siswa. Sebelumnya, saya menyempatkan diri membuka Facebook saya, dan di sana tercantum seorang penulis dan pembicara terkemuka di bangsa ini memposting sebuah surat yang berisikan kerendahatiannya untuk mendiskusikan satu dua hal mengenai pembelajaran di luar sekolah dengan saya. Kembali saya merasa kecil...

Saya teringat kira-kira 10 tahun lalu saat saya berkomitmen bersama rekan-rekan untuk menjadi berkat, dampak bagi bangsa ini. Di tengah-tengah orang-orang tadi saya menjadi bertanya, akankah kesempatan dan kehormatan itu ada buat saya. Dunia pendidikan ini terlalu luas, saya perlu terus menerus mencari tahu pada Sang Kuasa, di bagian mana saya harus berdiri. Sementara saya terus bergelut dengan pekerjaan saya sebagai guru. Saya pikir masa-masa ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan untuk mempersiapkan saya kepada sesuatu yang lebih besar. Saya harus menyerap lebih banyak dan bekerja lebih giat.

Kiranya Tuhan menyertai saya...

Behind The Scene

>> Saturday, April 4, 2009

Satu e-mail masuk ke inbox saya dari seorang teman. Isisnya tentang perkembangan lanjutan kasus meninggalnya mahasiswa Indonesia di Singapura (lihat "Kill the Dream = Kill the Man?"). Diduga kematiannya berlatarkan motif penguasaan teknologi dan ekonomi. Ia telah menemukan suatu perkembangan teknologi baru dalam skripsinya, yaitu penggunaan gambar visual 3D yang bisa tayang di udara. Suatu teknologi tercanggih bagi dunia ini.

Kebenaran e-mail ini perlu di cek and ricek. Namun bila ini benar, adalah suatu kerugian besar bagi dunia dan bangsa ini karena seorang muda cerdas telah dibunuh tidak hanya jiwanya tetapi juga gagasan dan perjuangannya.

Pihak keluarga sangat mempertanyakan kesigapan pemerintah atas kasus ini, baik itu KBRI di Singapura, DPR dan instantsi pemerintah terkait. Saya sendiri heran, mengapa kasus ini seolah-olah lenyap bagai asap, bahkan di media cetak sekalipun. Sang dosen pembimbing pun diam, demikian juga dengan pers Singapura. Sepertinya memang ada kejanggalan dalam hal ini.

Saya sendiri menjadi heran. Ternyata dunia pendidikan bisa memakan korban nyawa di saat sang pelajar justru sedang berkarya bagi kemajuan peradaban. Apakah ini berarti ungkapan Soekarno untuk menaruh cita-cita setinggi bintang di langit menjadi usang? Sangat mengerikan. Sungguh sangat mengerikan. Bila tidak ada tindakan tegas dan komprehensif untuk mengungkapkan kasus ini, maka dunia pendidikan dan pemerintahan di Singapura telah tercoreng integritasnya.

Marriage Education...

Seorang teman saya bertengkar dengan isterinya, lalu isterinya menelepon teman saya yang lain untuk meminta bantuan, karena suaminya ini berkeinginan meninggalkan dirinya dan hendak bunuh diri. Teman saya yang di telepon hanya bisa menguatkan isteri temannya ini dan memintanya tetap berdoa.

Teman saya yang bermasalah dengan isterinya ini bukan dari latar belakang yang berada. Hidupnya sulit, anaknya sempat terkena kecelakaan beberapa tahun lalu dan masih dalam perawatan sampai hari ini. Ketidakcukupan menjadi penyebab sekunder pertengkaran itu. Untungnya ia berada dalam suatu komunitas persahabatan yang kuat dengan beberapa teman saya, sehingga dengan segera ia dapat 'ditangani'. Jika ia tidak tergabung dalam komunitas ini, dan masih hidup seperti dulu, mungkin hal yang buruk akan terjadi.

Sejumlah keributan, pertengkaran, perselisihan, ketidaksepahaman antara suami isteri memang hal yang normal terjadi. Menyatukan dua manusia yang berbeda adalah hal yang membutuhkan proses dan rumit. Hal ini tidak mudah. Sayangnya untuk hal yang amat penting ini, sebagian keluarga dan hampir semua sekolah di bangsa ini tidak mempersiapkan generasi mudanya untuk menghadapi kehidupan dalam pernikahan.

Pendidikan yang terjadi hanyalah untuk mempersiapkan individu yang kuat dan super, tapi tidak siap untuk membangun dan menjalani kehidupan bersama yang komunal, apalagi di lingkungan perkotaan.

Hal ini penting untuk disadari semua orang mengingat bangsa yang kuat tergantung pada keluarga yang kuat. Perhatian terhadap hal ini akan meningkatkan kualitas SDM bangsa. Perhatian pada keluarga dimulai dari bagaimana mempersiapkan para calon-calon pasutri dengan matang. Persiapan yang baik akan menghasilkan hasil yang baik.

Sekolah juga dapat mengambil peran dalam hal ini. Sejak dini anak-anak dapat diperkenalkan, diajar dan dilatih untuk bertanggungjawab terhadap sesama. Sedangkan bagi siswa yang lebih dewasa mereka dapat diperkenalkan dan diajar mengenai seluk beluk kehidupan berumahtangga dan isu-isu parenting. Sekolah yang menekankan pada hal ini akan menjadi aset masyarakat dan bangsa yang bernilai tinggi. Karena melaluinya, keluarga-keluarga yang kuat akan dibangun.

'Bangsa yang kuat bergantung pada kekuatan elemen dasarnya: keluarga'

Two Weeks Before The Final Exam...

>> Friday, April 3, 2009

Minggu depan sekolah kami meliburkan siswa dan guru untuk menghormati hari raya paskah, dan kebetulan juga bertepatan dengan libur pemilu. tepat dua minggu setelahnya para siswa SMA menghadapi UN selama satu minggu.

Saya melihat bahwa hari-hari ini mereka tampak berusaha membahagiakan diri dengan mentertawakan setiap soal-soal Try-Out yang diberikan. Sebagian dari mereka belajar cukup serius dan merelakan waktu bermain mereka hilang. Namun sebagian lagi yang tidak tahan dengan tekanan ini tetap menyediakan waktu untuk bersenang-senang.

Sebagai guru, kami tidak punya pilihan selain terus mendorong mereka untuk terus belajar dengan keras. Hari-hari kerja para guru pembimbing pun bertambah panjang untuk memberikan pemantapan atau drilling. Bahkan beberapa rekan guru saya merelakan waktu liburnya minggu depan untuk tetap datang ke sekolah melakukan pemantapan dengan siswanya.

Semua kesibukan dan pengorbanan ini dilakukan demi sebuah nilai rata-rata UN di atas 5,50 seluruh siswa, guru dan sekolah di Nusantara ini sedang disibukkan dengan perhelatan akbar tahunan ini. Angka-angka yang muncul diharapkan lebih baik dari tahun sebelumnya, demikian kata pemerintah.

Pemerintah mengharapkan rata-rata nilai UN yang lebih baik, sekolah dan guru mengharapkan tingkat kelulusan yang lebih baik, orang tua mengharapkan kecerdasan yang lebih baik, siswa mengharapkan... "yang penting gue lulus!" atas kegiatan akbar ini. Saya berharap pemerintah, sekolah, guru dan siswa tidak berfokus pada kelulusan atau ketidaklulusan, nilai rata-rata yang lebih baik atau buruk tapi pada mutu siswa yang dapat bersaing di lingkup regional maupun global.

Another Bed Talk

>> Wednesday, April 1, 2009

Semalam saya dan istri terlibat pembicaraan mengenai kesannya terhadapa gurunya.

Ia berkisah tentang satu orang guru yang berkesan padanya dibanding sekian puluh guru yang pernah mengajarnya dari TK. Seorang ibu guru ini sangat menyentuh hatinya. Apa yang dikatakannya dan dilakukannya sangat berdampak bagi hidup istri saya. Ia sangat menghargai istri saya saat di bangku SD dulu. Pernah satu kali, sang ibu guru meminta anak-anak untuk menghentikan waktu belajarnya sejenak untuk berdoa bagi seorang anak yang kedua orang tuanya mau bercerai. Semua anak dengan sungguh-sungguh berdoa bersama. perhatiannya tidak putus sampai di sana.

Saat SMA, isteri saya bertemu dia kembali di sekolah. Ia menutup pembicaraan singkat itu dengan berpesan untuk menjaga diri baik-baik. Beberapa hari kemudian istri saya terkena kecelakaan. Dari lima orang yang berada di mobil, satu orang meninggal, sisanya luka-luka, sedangkan istri saya hanya lecet. Ia teringat akan sang ibu guru, mungkinkah ini karena doanya?

Saat istri saya dewasa, pernah ia berjumpa di sebuah toko buku. Ia menyebut nama istri saya dan menepuk punggungnya. Ia masih ingat. ia mengeluarkan uang Rp 25.000 sebelum ia pergi untuk istri saya membeli buku. Bukunya masih tersimpan sampai sekarang di rak buku kami.

Siswa tidak akan ingat apa yang guru ajarkan, hanya apa yang guru teladankan...

WELCOME...!

Sejak kemarin blog ini mulai dibuka untuk umum, saya berharap bisa memperkaya pemikiran-pemikiran di bangsa ini mengenai dunia pendidikan. SELAMAT DATANG... WELCOME... untuk para pengunjung, saya sangat senang menerima anda sekalian dan selamat membaca...

sepanjang hari ini, saya banyak mengunjungi blog-blog bertemakan pendidikan. Ternyata telah banyak bertaburan blog-blog bermutu dengan ranah yang sama. Saya merasa kecil ketika memabca tulisan-tulisan mereka, namun juga tertantang untuk menulis lebih baik dan lebih banyak lagi. Mengajar dan menuils memang dua aktifitas yang berbeda, namun memiliki esensi yang sama: mentransfer gagasan pada orang lain.